Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean Atas Impor yang Merupakan Pemasukan Barang yang Digunakan untuk Kegiatan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak
Menimbang :
Mengingat :
Menetapkan :
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
(1) | Impor BKP terutang PPN atau PPN dan PPnBM. |
(2) | Impor BKP yang merupakan pemasukan barang yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak, tidak dikenakan PPN atau PPN dan PPnBM atas impor BKP. |
(3) | Impor BKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk impor sementara. |
(4) | Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap dikenakan PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Wajib Pajak harus memiliki SKJLN sebelum melakukan impor untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). |
(2) | Untuk memiliki SKJLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, atas setiap impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). |
(3) | Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat informasi:
|
(4) | Wajib Pajak harus bertanggung jawab terhadap kebenaran informasi yang diisi atau disampaikan dalam permohonan penerbitan SKJLN. |
(5) | Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), melalui laman milik Direktorat Jenderal Pajak. |
(6) | Dalam hal laman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia atau tidak dapat diakses, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak. |
(7) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditandatangani oleh:
|
Wajib Pajak diberikan SKJLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dalam hal memenuhi ketentuan sebagai berikut:
yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(1) | Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), Direktorat Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar:
|
(2) | Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6), Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar:
|
(3) | SKJLN yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a memuat Kode Verifikasi SKJLN. |
(1) | Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak berhak memperoleh SKJLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan pembatalan SKJLN. |
(2) | Atas pembatalan SKJLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak wajib membayar PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang atas impor BKP dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Saat terutangnya PPN atau PPN dan PPnBM yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan pada saat impor BKP. |
(4) | Kewajiban pembayaran PPN atau PPN dan PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan surat keterangan pembatalan SKJLN. |
(5) | Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
(1) | Dalam hal kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) tidak dipenuhi, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak untuk menagih sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung sejak saat impor BKP sampai dengan tanggal pembayaran PPN atau PPN dan PPnBM terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |