Monthly Review

Tantangan Fiskal di Tahun Politik

Wednesday, 17 January 2018

Tantangan Fiskal di Tahun Politik

Selalu ada optimisme ketika menatap tahun yang baru. Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 merupakan contoh riil dari himpunan optimisme penyelenggara negara pasca lepas dari beban fiskal yang berat pada tahun-tahun sebelumnya. Berat, karena realisasi anggaran yang diharapkan kerap tak sesuai dengan kenyataan.

Apa yang terjadi pada tahun 2017 mungkin bisa memberikan gambaran paling aktual bahwa mengelola fiskal tidaklah mudah di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi. Banyak pencapaian yang patut diapresiasi, tetapi tidak sedikit pula yang perlu dikritisi.

Dari sisi makro, berbagai indikator ekonomi menunjukkan tren positif.

 

Pertumbuhan ekonomi terjaga di kisaran 5%, inflasi berhasil ditekan di bawah 4%, ekspor-impor tumbuh dua digit untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir, pun demikian dengan investasi yang tumbuh di atas 7% untuk kali pertama dalam kurun yang sama. Sayangnya, konsumsi rumah tangga melandai dan belanja pemerintah belum cukup mampu mengompensasi pelemahan. Apabila melihat tingkat penyerapan anggaran, belanja pemerintah pada tahun 2017 sebenarnya tergolong cukup baik jika dibandingkan dengan capaian tahun-tahun sebelumnya. Terutama dari sisi belanja modal yang diklaim mencatatkan penyerapan anggaran tertinggi dalam tiga tahun terakhir (92,8%). Hal ini sejalan dengan kebijakan agresif pemerintah terkait pembangunan infrastruktur.

Dari sisi penerimaan negara secara total mencatatkan realisasi 95,4% dari target APBN-P 2017. Pencapaian yang cukup baik jika dibandingkan dengan tingkat realisasi beberapa tahun terakhir. Namun, ada sejumlah catatan yang harus menjadi perhatian, terutama terkait shortfall penerimaan pajak meski sudah dibantu dengan tax amnesty.

Pajak sebagai kontributor terbesar bagi penerimaan negara menjadi pos paling kritikal untuk dicermati. Di tengah kondisi ekonomi yang relatif stabil, setoran pajak tahun 2017 hanya meningkat 4% dari perolehan tahun lalu. Pencapaian tersebut jauh di bawah pertumbuhan alamiah yang seharusnya, yang dihitung dari pertumbuhan ekonomi plus inflasi.

Harus diakui bahwa sebagian pos penerimaan pajak membukukan catatan positif: PPN & PPnBM tumbuh 16,62% dan PPh migas melonjak 38,4%. Kita patut bersyukur atas berkah kenaikan hargaharga komoditas, terutama harga minyak yang mampu kembali menggairahkan kinerja ekspor dan impor serta sumbangannya terhadap pajak. Di sisi lain, konsumsi rumah tangga meski melemah ternyata masih cukup kuat menyumbang PPN.

Namun yang amat disayangkan, PPh non-migas yang punya bobot sumbangan lebih dari 50% justru minus 5,27%. Euforia tax amnesty yang memudar disinyalir menjadi penyebab rendahnya setoran PPh non-migas tahun 2017. Program amnesti pajak yang hanya berlangsung di tiga bulan pertama 2017 dinilai tidak sebanding perannya dibandingkan dengan implementasi program serupa di enam bulan terakhir 2016 yang penuh euforia pengampunan.

Coba saja hilangkan sumbangsih penerimaan yang berasal dari program amnesti pajak (uang tebusan dan PPh revaluasi aset), seharusnya penerimaan pajak tahun 2017 dapat tumbuh hampir 16%. Itu pembelaan pemerintah, yang merujuk pada basis penerimaan pajak tahun 2016 yang cukup tinggi berkat tax amnesty. Sebuah perspektif yang diputar dan terkesan mundur jika dibandingkan dengan optimisme awal pemerintah, bahwa salah satu tujuan tax amnesty adalah meningkatkan basis dan penerimaan pajak.

Kendati demikian, neraca fiskal terjaga dengan baik pada tahun 2017. Defisit anggaran yang sempat diproyeksi mencapai 2,92% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berhasil dijaga di kisaran 2,57% pada akhir tahun. Efisiensi belanja pegawai dan belanja barang yang dilakukan pemerintah sedikitnya cukup mengurangi efek dari shortfall penerimaan. Realisasi belanja negara pada tahun 2017 tercatat sebesar Rp2.001,6 triliun atau 93% dari target yang ditetapkan dalam APBN-P 2017.

Bonus Harga Minyak

Optimisme muncul di tahun 2018 jika melihat tren peningkatan harga-harga komoditas dan permintaan global. Terutama harga minyak yang pada tahun lalu memberikan windfall profit ke kas negara dalam bentuk setoran PPh migas yang melonjak.

Aktivitas ekonomi yang diprediksi akan lebih baik diyakini akan memberikan ruang dan peran fiskal yang lebih besar, baik dari sisi belanja maupun penerimaan negara. Berbekal optimisme tersebut, target penerimaan negara dan alokasi anggaran belanja negara ditetapkan pada level yang cukup ambisius di APBN 2018.

Target penerimaan pajak dipatok sebesar Rp1.424 triliun atau meningkat 11% dibandingkan dengan target di APBNP 2017 sebesar Rp1.283,6 triliun. Namun, jika dibandingkan dengan realisasi (sementara) per 31 Desember 2017, target pajak tahun ini melonjak 23,7%. Berdasarkan waktu pencatatan 8 Januari 2018, realisasi penerimaan pajak 2017 sebesar Rp1.151,1 triliun atau shortfall sebesar Rp132,5 triliun dari target.

Apabila melihat potensi pertumbuhannya, baik yang 11% ataupun yang 23,7%, target penerimaan pajak tahun ini berada di atas pertumbuhan alamiah (pertumbuhan ekonomi+inflasi) 8,9%. Selebihnya, jika tercapai, itu yang dinamakan dengan extra effort.

Dalam beberapa kesempatan, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, secara terang-terangan meminta aparat pajak untuk menjaga iklim investasi dan dunia usaha tetap kondusif. Untuk itu, upaya mendorong penerimaan pajak diharapkan tidak menimbulkan kegaduhan.

Pertanyaannya kemudian, apakah target penerimaan pajak tahun 2018 realistis untuk bisa dicapai? Realistis atau tidak realistis itu tergantung pada upaya dan strategi yang akan dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menghimpun sebanyak-banyaknya setoran pajak. Kalau pakai cara-cara klasik atau tanpa terobosan apa pun, maka target tersebut menjadi mustahil untuk bisa dicapai, mengingat tren pertumbuhan penerimaan pajak dalam lima tahun terakhir cenderung semakin turun dari 10,2% pada tahun 2013 menjadi 3,8% pada tahun 2017.

Fokus Kerja

Guna mencapai target penerimaan pajak 2018, dibutuhkan terobosan kebijakan untuk melengkapi cara-cara mainstream yang selama ini dilakukan otoritas pajak. Antara lain, dengan mengefektifkan Program Pengungkapan Aset Sukarela dengan Tarif Final (PAS-Final) yang pelaksanaannya tidak terbatas waktu. Meskipun tidak sebaik tax amnesty, setidaknya fasilitas ini memberikan tarif pajak yang lebih ringan bagi Wajib Pajak untuk mendeklarasikan harta yang selama ini belum diungkap tanpa khawatir dikenakan sanksi administrasi.

Apabila Wajib Pajak diberikan fasilitas, maka di sisi lain fiskus harus memaksimalkan tugas dan fungsinya dengan mengoptimalkan implementasi dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017. Beleid ini merupakan tindak lanjut dari program amnesti pajak, yang mengatur pengenaan PPh atas penghasilan tertentu berupa harta bersih yang dianggap sebagai penghasilan. Artinya, jangan hanya mengandalkan data yang terkumpul, tetapi juga harus mampu menggali potensi-potensi pajak baru.

Komitmen Indonesia untuk mengimplementasikan perjanjian pertukaran data dan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI) juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan basis pajak. Demikian pula dengan perubahan format dokumentasi transfer pricing yang mewajibkan grup usaha untuk melaporkan pula Country by Country (CBC) Report membuka potensi pajak yang cukup besar selain untuk meredam aksi penghindaran pajak oleh korporasi.

Tantangan berikutnya adalah, sejauh mana kesiapan otoritas pajak untuk menindaklanjuti data dan informasi yang terkumpul untuk kemudian diolah menjadi sumber penerimaan pajak baru. Hal ini terkait pula dengan kesiapan sistem perpajakan berbasis teknologi informasi (information technology/IT) yang mumpuni. Terlebih di tengah pertumbuhan pesat bisnis e-commerce yang banyak menciptakan varian transaksi perdagangan baru yang sulit terekam oleh sistem perpajakan konvensional.

Selain sistem perpajakan berbasis IT yang canggih, regulasi pendukung juga harus segera disiapkan pemerintah. Revisi paket UU perpajakan bisa menjadi jalan masuk bagi pemerintah untuk bisa memajaki objek-objek transaksi ekonomi baru yang selama ini lepas dari pantauan DJP (underground economy).

Sebagai pengingat, revisi paket UU Perpajakan erat kaitannya dengan agenda melanjutkan reformasi perpajakan, yang antara lain meliputi perbaikan sistem kelembagaan, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan penyempurnaan aturan perpajakan. Amandemen UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU PPN merupakan agenda lama yang sudah menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak tahun lalu. Belajar dari pengalaman dan tarik-ulur politik di parlemen, pembahasan satu undang-undang saja bisa menguras energi dan menghabiskan waktu yang tidak sebentar. Bayangkan untuk membahas ketiga UU Perpajakan tersebut, menjadi tugas berat untuk bisa menuntaskannya pada tahun ini. Kalaupun dipaksakan selesai, jangan sampai secara substansi justru menciptakan kemunduran kebijakan di bidang perpajakan.

Bicara soal kebijakan ekonomi, yang tak bisa dipisahkan dengan proses politik anggaran, ujian pemerintah akan bertambah berat di tahun 2018. Meskipun pemilihan umum baru akan dihelat tahun depan, banyak kalangan memprediksi pemanasan suhu politik akan mulai terasa pada tahun ini. Terutama di Pulau Jawa, mengingat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan berlangsung bersamaan di tiga provinsi besar, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di sinilah fokus pemerintah diuji untuk membuktikan bahwa instruksi Presiden Joko Widodo: “kerja..kerja..kerja” bukan hanya sebatas slogan.

*Versi singkat artikel ini telah terbit di www.kompas.com, Senin, 15 Januari 2018.

 

https://mucglobal.com/upload/taxguide/files/TaxGuide2018-11-Indonesia.pdf


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.