Restitusi Pajak: Hak atau Kewajiban?
Saturday, 30 June 2018
Presiden Joko Widodo belum lama ini mencurahkan isi hati soal ribetnya mengurus masalah pajak. Mantan pengrajin kayu itu mengaku pernah frustrasi ketika mengurus pengembalian kelebihan pembayaran pajak hingga satu tahun lamanya. Padahal, jumlah uang yang direstitusi tidak seberapa dibandingkan ruwetnya proses restitusi.
Sejak saat itu, Jokowi kapok mengurus restitusi dan memilih mengikhlaskan jika ada lebih bayar pajak. Menurutnya, lebih banyak pusingnya dibandingkan jumlah uang kelebihan pajak yang kembali. Sulitnya merestitusi pajak merupakan cerita lama dan bukan hanya Jokowi yang telah direpotkan. Bukan cuma soal jangka waktu yang panjang, pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang tidak utuh akibat koreksi pada saat pemeriksaan juga kerap menjadi keluhan Wajib Pajak.
Meskipun demikian, dalam beberapa kasus ditemukan penggunaan faktur pajak fiktif untuk memanipulasi restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Restitusi sejatinya merupakan hak dasar Wajib Pajak yang, sebaliknya, menjadi kewajiban bagi otoritas pajak. Untuk memastikan hak dan kewajiban itu berjalan dengan benar, Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) mengatur secara tegas prosedur dan jangka waktu pengembalian pajak. Hal ini terutama untuk pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yakni paling lama 3 (tiga) bulan untuk restitusi PPh dan 1 (satu) bulan untuk restitusi PPN bagi Wajib Pajak yang dianggap patuh atau PKP berisiko rendah.
Opportunity Loss
Pada praktiknya, proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak tidak secepat yang diamanatkan UU KUP. Ada saja pertimbangan otoritas pajak untuk membenturkan antara hak dan kewajiban pembayar pajak ketika memproses pengajuan restitusi. Alhasil, timbul sengketa berkepanjangan yang untuk menyelesaikannya akan menyita waktu, pikiran, atau bahkan biaya.
Bagi Wajib Pajak, restitusi yang cepat dan mudah sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan finansial dan kelancaran arus kas. Bahkan, kelebihan pajak yang dikembalikan Negara bisa menjadi stimulus bagi dunia usaha kalau digunakan untuk mendorong belanja modal.
Namun, otoritas pajak juga punya kepentingan untuk mengamankan penerimaan negara, sehingga sebisa mungkin uang yang sudah masuk kas jangan sampai keluar lagi. Orientasi ini yang kemudian memunculkan anggapan publik bahwa otoritas pajak kemungkinan sengaja menganut paham: “kalau proses restitusi bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?”
Untuk membuktikan bahwa anggapan semacam itu tidak benar, otoritas pajak harus mengubah paradigma kebijakan restitusi. Apabila selama ini orientasinya lebih fokus pada mengamankan penerimaan negara, orientasi tersebut sebaiknya diubah menjadi lebih mengutamakan pelayanan kepada Wajib Pajak. Salah satu pembuktiannya adalah dengan mempermudah sekaligus mempercepat proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, Pemerintah tampaknya ingin mengembalikan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sesuai khitahnya. Beleid yang terbit dan efektif berlaku sejak 12 April 2018 ini memberikan jaminan bahwa proses restitusi pendahuluan akan sesuai dengan amanat UU KUP, yakni paling cepat 15 (lima belas) hari dan paling lama 3 (tiga) bulan tergantung jenis pajak dan kriteria Wajib pajak.
Mekanisme dan tahapan proses restitusi pajak relatif sama. Hanya saja, terkait restitusi pendahuluan, proses verifikasi dokumen dipermudah, dengan hanya melalui penelitian administratif yang sifatnya sederhana.
Namun, bukan berarti pemeriksaan ditiadakan. Proses ini hanya ditunda setelah restitusi pendahuluan diberikan. Dengan demikian, tidak menghilangkan konsekuensi sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari dasar penetapan pajak jika berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan kekurangan pembayaran pajak. Jadi, pastikan pembukuan dan bukti-bukti pendukung lengkap ketika mengajukan permohonan restitusi. Kalau Wajib Pajak tidak siap menghadapi pemeriksaan, alih-alih mendapatkan pengembalian pajak, yang terjadi malah diganjar penalti.
PMK tersebut juga memperlebar batas maksimal nilai kelebihan pajak yang bisa diberikan fasilitas restitusi pendahuluan. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, jumlah lebih bayar yang bisa diberikan fasilitas restitusi pendahuluan dinaikan dari yang sebelumnya paling banyak Rp10 juta menjadi Rp100 juta. Sedangkan, untuk Wajib Pajak Badan, jumlah lebih bayar yang bisa diberikan fasilitas restitusi pendahuluan maksimal Rp1 miliar, naik dari sebelumnya hanya Rp100 juta. Demikian pula dengan PKP yang dianggap berisiko rendah, jumlah lebih bayar yang bisa diberikan fasilitas restitusi pendahuluan dinaikkan dari paling banyak Rp100 juta menjadi maksimal Rp1 miliar.
Menyoal Keadilan
Percepatan restitusi pajak itu harus dimaknai secara positif, tak hanya oleh Wajib Pajak tetapi juga oleh petugas pajak. Selain akan mengurangi beban pemeriksaan fiskus, pengembalian kelebihan pembayaran pajak juga akan mengurangi beban imbalan bunga yang harus dibayarkan Pemerintah kepada Wajib Pajak.
Pasal 11 ayat 3 UU KUP menegaskan: “Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas keterlambatan restitusi…”
Kemudian, dipertegas kembali di Pasal 17B ayat 4 UU KUP: “… kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunqa sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan…”
Karenanya, tidak ada alasan bagi otoritas pajak untuk menundanunda restitusi pendahuluan walaupun dari sisi keadilan pemberian ini masih patut dipertanyakan. Sebab, keistimewaan ini terkesan hanya diperuntukkan bagi Wajib Pajak pilihan atau Golden Taxpayers.
Kembali soal hak, percepatan restitusi seharusnya berlaku sama secara sistem, tanpa melihat status dan rekam jejak Wajib Pajak. Ini menjadi “pekerjaan rumah” bagi DJP untuk menciptakan prosedur restitusi yang sistematis dan otomatis, tanpa membedabedakan calon penerimanya.
Soal manipulasi dan modus penggunaan faktur fiktif, itu kasus yang berbeda. Itu murni itikad jahat dari oknum Wajib Pajak untuk merugikan Negara yang sudah masuk ranah hukum pidana dan sudah sewajarnya ditindak tegas. Namun di era penggunaan e-faktur, praktik manipulasi menggunakan faktur pajak fiktif seharusnya secara otomatis tereleminasi.
Negara memang punya kewenangan untuk memungut pajak dan menuntut kepatuhan kepada Wajib Pajak. Tapi, harus diingat bahwa Wajib Pajak juga punya hak untuk meminta kembali pajak yang lebih dibayar ataupun pajak yang tidak seharusnya dibayarkan. Keduanya harus berjalan setara jika tidak ingin disebut semena-mena.
https://mucglobal.com/upload/taxguide/files/TaxGuide2018-14_Indonesia.pdfDisclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.