News
Masih Finalisasi, Draft RUU Omnibus Law Masuk Parlemen Akhir Tahun 2019

Thursday, 14 November 2019

Masih Finalisasi, Draft RUU Omnibus Law Masuk Parlemen Akhir Tahun 2019

Pemerintah akan mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU), yang mengakomodir perubahan sejumlah ketentuan perpajakan (Omnibus Law), ke parlemen pada penghujung tahun 2019. 

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan tujuan utama dari disusunnya Omnibus Law perpajakan antara lain untuk meningkatkan pendanaan investasi dan menciptakan iklim berusaha yang berkeadilan, sekaligus mendorong kepatuhan sukarela pembayar pajak. 
 
Untuk meningkatkan pendanaan investasi, dalam RUU Omnibus Law pemerintah merencanakan penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan secara bertahap, dari 25% selama ini menjadi 22% pada tahun 2021 dan 2022, untuk kemudian mencapai level terendah 20% mulai tahun 2023. Bagi wajib pajak badan yang baru melakukan Go Public berhak atas diskon pajak sebesar 3% lebih murah dari tarif yang seharusnya. 

Baca juga: Jangan Terjebak Perang Tarif!

Selain itu, Pemerintah Indonesia juga akan menghapuskan PPh atas dividen, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Selama ini dividen dari badan atau perusahaan yang memiliki saham di atas 25% tidak dikenai PPh, tetapi apabila kepemilikan di bawah 25% dikenai PPh.

Berkaitan dengan penerapan sistem perpajakan, penentuan subjek pajak dalam dan luar negeri akan mengacu pada time test. Tak hanya itu, sistem pemajakan Indonesia akan diubah dari yang selama ini menyasar world wide income menjadi hanya territorial income. Artinya, untuk ke depannya pemajakan hanya akan melekat pada penghasilan wajib pajak yang bersumber dari Indonesia saja. Berbeda dengan skema sebelumnya (world wide income), di mana seluruh penghasilan wajib pajak, baik dari dalam maupun luar negeri, dikenakan pajak penghasilan. 

Untuk mendorong kepatuhan sukarela pembayar pajak, pemerintah melalui RUU Omnibus Law juga akan merelaksasi hak pengkreditan pajak masukan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Relaksasi akan diberikan utamanya kepada perusahaan kena pajak yang hasil produknya selama ini belum dibukukan sebagai objek pajak. Dengan demikian, pajak masukan yang selama ini tidak bisa dikreditkan nantinya bisa diklaim untuk mengurangi kewajiban pajak.

Selain itu, RUU Omnibus Law juga akan mengubah ketentuan denda yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Salah satu yang akan berubah adalah denda wajib pajak terkait keterlambatan surat pemberitahuan tahunan (SPT) dan kurang bayar dari 2% per bulan menjadi pro rata, yakni berdasarkan suku bunga acuan di pasar plus 5%.

Melalui RUU ini, pemerintah juga akan merespons dinamika ekonomi digital dengan mengefektifkan pemajakan atas transaksi berbasis elektronik atau secara daring. Caranya, dengan menunjuk penyedia platform transaksi online sebagai pemungut, penyetor, dan pelapor Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Tidak terkecuali penyedia platform asing yang berstatus sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN).

Selain menjadikan agen pemungut PPN, SPLN juga akan dikenakan pajak atas penghasilan yang berkaitan dengan transaksi elektronik di Indonesia. Untuk itu, definisi dan kriteria Bentuk Usaha Tetap (BUT) akan diperluas; tidak hanya mengacu pada kehadiran fisik (physical presence) tetapi juga kehadiran ekonomi (economic presence). 

Baca juga: Dorong Investasi, Syarat Tax Holiday Dipermudah

Kaitannya dengan investasi, pemerintah juga akan memasukkan sejumlah klausul fasilitas fiskal ke dalam UU pajak melalui mekanisme Omnibus Law. Beberapa jenis insentif fiskal yang akan dipayungi lebih kuat secara hukum adalah tax holiday, super deduction, fasilitas PPh untuk Kawasan ekonomi Khusus (KEK), dan fasilitas PPh atas kepemilikan obligasi negara. 

Tax holiday yang dimaksudkan adalah fasilitas pengurangan PPh badan bagi pelaku investasi baru di sektor industri pionir untuk jangka waktu tertentu. Atas penanaman modal baru dengan nilai investasi berkisar Rp100 miliar sampai dengan Rp500 miliar berhak atas diskon PPh sebesar 50% selama lima tahun. Sementara untuk investasi baru dengan nilai minimal Rp500 miliar bisa mendapatkan pengurangan 100% atau pembebasan PPh untuk jangka waktu lima sampai dengan 20 tahun. 

Sedangkan untuk fasilitas Super Deduction Tax, merupakan insentif pengurangan penghasilan bruto atau pengahsilan kena pajak hingga 200% bagi entitas atau wajib pajak badan yang menyelenggarakan kegiatan vokasi atau pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui beragam pelatihan kerja. 

Baca juga: Berikut Kriteria Korporasi Penerima Super Deductible Tax

Dikutip dari Bisnis.com, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan pembahasan omnibus law perpajakan langsung dilaksanakan sejak diumumkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada September 2019.

Saat ini, proses pembahasan omnibus law telah memasuki tahap finalisasi. Pasal-pasal yang ada dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) ini telah diformulasikan secara seksama untuk mencapai sejumlah tujuan yang dicanangkan pemerintah.

"Dari pemerintah sudah hampir selesai. Kami memang menargetkan tahun ini sudah meluncur ke DPR," jelasnya, Senin (11/11) 

Terkait target pemberlakuan omnibus law perpajakan, Yoga belum dapat memberi waktu pasti. Pasalnya, cepat atau lambatnya pemberlakuan RUU ini amat bergantung pada pembahasan antara pemerintah dan DPR.

DJP, Bisnis.com


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.