Opinion
Relevansi Pajak Sayonara di Tengah Geliat Industri Wisata

Rama Ames Remonda, , Wednesday, 13 March 2019

Relevansi Pajak Sayonara di Tengah Geliat Industri Wisata

Baru-baru ini, Pemerintah Jepang memberlakukan jenis pajak baru berupa pungutan yang wajib dibayar oleh setiap orang yang pergi atau meninggalkan Negeri Sakura, kecuali anak berusia di bawah dua tahun dan penumpang transit tidak lebih dari 24 jam. Pungutan tersebut dikenal dengan istilah Sayonara Tax atau pajak selamat tinggal. Kebijakan ini tidak memandang kewarganegaraan, berlaku sama bagi warga lokal maupun pendatang. 

Tarif pajak Sayonara adalah sebesar ¥1.000 atau setara dengan Rp126.500 (kurs Rp126,5/yen). Mekanisme pemungutannya adalah dengan menambahkan komponen pajak Sayonara pada harga tiket pesawat atau kapal laut yang meninggalkan Jepang. Bagi pelancong yang pergi berlibur ke Jepang menggunakan jasa travel agent, maka pajak tersebut dapat disetorkan melalui agen penyedia jasa tersebut. Nantinya, pihak maskapai pesawat, pengelola kapal, dan penyedia jasa travel akan menyetorkan pajak tersebut kepada otoritas pajak Jepang.

Dilansir dari laman berita The Japan Times, pajak keberangkatan merupakan pajak permanen pertama yang diadopsi Jepang sejak tahun 1992. Tujuan Pemerintah Jepang melalui kebijakan ini adalah mencari tambahan penerimaan untuk mendanai perbaikan dan pelestarian sarana dan prasarana wisata di tengah derasnya kunjungan wisatawan mancanegara. Selain itu, pajak keberangkatan ini juga akan digunakan untuk mempromosikan tempat wisata pedesaan Jepang, membiayai kampanye pariwisata global, mengadakan panduan multibahasa di taman-taman nasional dan situs-situs budaya di Jepang, serta memperluas layanan Wi-Fi gratis di transportasi umum.

Pada tahun 2018, Jepang dinobatkan sebagai destinasi wisata terfavorit versi Travel + Leisure. The Japan Times memberitakan bahwa, pada tahun 2017, sebanyak 28,69 juta turis mancanegara berkunjung ke Jepang, meningkat 19,3% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, Kementerian Hukum Jepang mencatat sebanyak 45,2 juta orang—termasuk turis asing—meninggalkan Negara Matahari Terbit dalam kurun waktu yang sama.

Dengan asumsi tersebut, potensi penerimaan pajak Sayonara ditaksir bisa mencapai sekitar ¥43 miliar atau lebih dari Rp5,4 triliun per tahun. Potensi pajak Sayonara akan lebih besar lagi jika harapan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe—yang menargetkan peningkatan kunjungan wisatawan asing hingga 40 juta orang pada tahun 2020 dan menjadi 60 juta orang pada tahun 2030—terwujud.

Implementasi Global

Kebijakan “pajak Sayonara” sejatinya bukanlah yang pertama di dunia. Inggris, Australia, Jerman, dan Singapura telah lebih dahulu memberlakukan pajak keberangkatan tersebut.  

Inggris pertama kali memperkenalkan pajak keberangkatan ini pada tahun 1994 sebagai kompensasi untuk membayar biaya lingkungan atas dampak penerbangan. Otoritas Inggris mengenakannya dalam bentuk bea penumpang angkutan udara, yang besaran tarifnya menyesuaikan dengan jarak tempuh dan kelas penerbangan.

Untuk penerbangan jarak pendek atau di bawah 2.000 mil dari London, wisatawan harus membayar bea penerbangan sekitar £13-£26 (Rp242-483 ribu). Sementara, untuk penerbangan jarak jauh atau lebih dari 2.000 mil dari London, wisatawan kelas ekonomi dikenakan bea penerbangan £78 (Rp1,45 juta), sedangkan penumpang kelas premium, bisnis, dan first class harus mengeluarkan £156 (Rp2,9 juta).

Sementara, di Australia, berlaku ketentuan Passenger Movement Charge sebesar AUS$60 bagi warga lokal dan warga asing yang meninggalkan Negeri Kangguru melalui jalur udara atau laut, baik yang berniat untuk kembali maupun yang tidak. Biaya ini biasanya ditambahkan ke harga tiket oleh perusahaan penerbangan dan perusahaan transportasi laut. Anak-anak di bawah 12 tahun dan penumpang transit dibebaskan dari pungutan ini.

Hal ini berbeda dengan Amerika Serikat (AS). Otoritas setempat mengenakan Passenger Facility Charge dan Sept 11 Security Fee bagi siapapun yang terbang ke luar negeri. Passenger Facility Charge dikenakan hingga AS$4,5 untuk setiap penumpang angkutan penerbangan tertentu. Untuk penerbangan transit di bandara AS, sebelum berangkat ke bandara lain, penumpang harus membayar dua kali lipat pungutan ini. Sedangkan, security charge yang dikenakan sebesar AS$5,6 untuk setiap perjalanan satu arah. Namun, biaya yang dikenakan untuk perjalanan pulang-pergi dibatasi sebesar AS$11,2.

Pun demikian dengan Jerman, yang memberlakukan Air Transport Tax mulai Januari 2011.  Otoritas Jerman memberlakukan dua jenis tarif terkait pungutan tersebut, tergantung pada jarak penerbangan dan tujuan. Untuk penumpang angkutan udara jarak pendek dikenakan pungutan sebesar €7,5, sedangkan untuk rute jarak jauh, biaya yang harus ditanggung penumpang pesawat sebesar €40.

Pemerintah Singapura juga sebenarnya mengenakan pajak bagi setiap penumpang pesawat yang terbang meninggalkan Bandara Changi. Setiap penumpang transit dikenakan Departure Tax sebesar S$6, sedangkan yang benar-benar meninggalkan Singapura ditetapkan sebesar S$34. Pajak keberangkatan tersebut terdiri dari biaya layanan penumpang, pajak keamanan, dan retribusi.

Skema yang sama juga dilakukan Thailand yang juga mengenakan pajak keberangkatan sebesar 700 Bath bagi setiap penumpang pesawat tujuan internasional. Biaya ini juga berlaku bagi penumpang transit yang keluar dari bandara Thailand ketika transit dalam jangka waktu lama.

Cina mengemas pajak keberangkatan dalam bentuk Airport Construction Fee. Tarif pajaknya sebesar ¥90 untuk wisatawan internasional dan ¥50  untuk siapa pun yang terbang antardaerah di Cina. Pajak ini juga berlaku untuk penerbangan ke Hong Kong. Penumpang yang memegang paspor diplomatik atau mereka yang transit selama 24 jam tidak diharuskan membayar pajak tersebut.

Baca Juga: Mekanisme Pengkreditan PPh Luar Negeri Diperjelas

Kondisi Dalam Negeri

Apabila melihat Jepang yang kebanjiran wisatawan dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia juga mengalami hal yang sama. Setidaknya lebih dari satu juta wisatawan mancanegara setiap bulannya berkunjung ke Indonesia. Bahkan, dalam satu dekade terakhir, jumlahnya bertumbuh rata-rata 10% per tahun.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia selama tahun 2018 mencapai 15,81 juta kunjungan atau naik 12,58% dibandingkan dengan jumlah kunjungan turis asing pada periode yang sama tahun 2017 yang berjumlah 14,04 juta kunjungan.

Indonesia pun menjelma menjadi negara dengan pertumbuhan pariwisata tercepat kesembilan di dunia, nomor tiga di Asia, dan nomor satu di kawasan Asia Tenggara. Indikatornya adalah pertumbuhan pariwisata Indonesia yang mencapai 25,68% dalam beberapa tahun terakhir,  jauh melampaui pertumbuhan sektoral di kawasan Asia Tenggara yang sebesar 7% maupun pertumbuhan wisata global yang hanya 6%. 

Namun, tingginya angka wisatawan tak selalu berdampak baik bagi suatu kawasan. Derasnya kunjungan wisatawan ternyata juga dapat mengancam keindahan kawasan wisata itu sendiri.

Bali, misalnya, pulau yang terkenal dengan panorama dan budayanya itu pernah mengalami “darurat sampah”. Tercatat pada tahun 2017, sepanjang enam kilometer garis pantai Bali yang mencakup pantai populer seperti Jimbaran, Kuta, dan Seminyak disesaki berton-ton sampah. Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Badung, Bali sedikitnya harus mengerahkan 700 tenaga pembersih dan 35 truk untuk membuang sekitar 100 ton sampah setiap hari ke tempat pembuangan sampah.

Selain sampah, masifnya kunjungan turis juga disinyalir mengganggu dan merusak ekosistem di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. Eksploitasi komodo di sisi lain juga memicu perburuan liar rusa, yang merupakan makanan utama hewan purba tersebut. Kondisi yang memprihatinkan ini memunculkan wacana penutupan Taman Nasional Komodo dari kegiatan pariwisata untuk sementara di tahun 2020.

Karenanya, faktor lingkungan yang rusak juga harus mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Indonesia, tidak melulu terbuai oleh kontribusi industri pariwisata terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Setidaknya, eksploitasi keindahan alam Indonesia harus juga dibarengi dengan pelestarian lingkungan serta perbaikan sarana dan prasarana di pelbagai kawasan wisatanya.

Harus diakui indeks daya saing pariwisata Indonesia mengalami perbaikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data World Economy Forum (WEF), peringkat daya saing pariwisata Indonesia menempati peringkat ke 42 pada tahun 2017, naik dari posisi 50 di tahun 2015. Namun, di balik potensi serta pertumbuhan yang menunjukkan tren meningkat, sektor pariwisata masih menyimpan beberapa permasalahan, terutama di bidang infrastruktur pendukung pariwisata, kelestarian lingkungan, serta kesehatan dan kebersihan lingkungan pariwisata.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dibutuhkan inisiatif dan terobosan kebijakan yang nyata. Bukan hanya sebatas program kerja dan semangat membangun infrastruktur, melainkan pula harus dipikirkan soal penyediaan anggaran untuk mendanainya.

Karenanya, kebijakan pajak Sayonara di Jepang atau pajak keberangkatan yang diterapkan banyak negara di dunia menjadi relevan untuk diadopsi oleh Indonesia.

Baca Juga: Otoritas Pajak Simplifikasi Surat Keterangan Domisili

Skema Pemajakan

Namun, tidak mudah untuk bisa langsung menerapkan kebijakan pajak keberangkatan di Indonesia. Ada banyak faktor yang harus diperhatikan, bukan hanya soal dampak ekonomi dan sosialnya. Tantangan terberat justru adalah ketiadaan regulasi dan dukungan politik yang kerap tak sejalan dengan semangat pemerintah.

Pasalnya, bukan perkara mudah memunculkan jenis pajak baru di Indonesia jika payung hukum yang menjadi induknya tidak mengakomodir. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

Dengan demikian, dibutuhkan amendemen undang-undang perpajakan atau pembuatan regulasi baru setingkat undang-undang untuk bisa memajaki para turis. Dapat dipastikan bahwa proses politiknya akan melelahkan karena bakal menguras tenaga dan pikiran serta membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Karenanya, jika pemerintah ingin meraih pemasukan dalam bentuk pajak pusat, hal tersebut akan lebih sulit direalisasikan segera.

Sebenarnya, pemberlakuan “pajak sayonara” bisa dilakukan pemerintah daerah, yang secara umum menginduk pada Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Berkaca pada inisiatif Pemerintah Provinsi Bali. Dalam rangka pelestarian lingkungan alam dan budaya lokal, Pemerintah Provinsi Bali berencana menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) yang mengatur tentang pungutan yang bersifat retribusi dari turis asing yang berkunjung ke Bali sebesar AS$10 per orang.  

Sayangnya, wacana “retribusi Sayonara” ini baru sebatas di Bali dan belum meluas ke daerah-daerah wisata lainnya di Indonesia. Sekalipun diimplementasikan serempak di banyak daerah, dampak positif terhadap anggaran dan pelestarian lingkungannya tidak akan merata karena tingkat kunjungan wisatawan masing-masing daerah berbeda-beda. 

Selain itu, retribusi daerah ini juga bakal menurunkan daya tarik wisata Indonesia di mata turis mancanegara. Sebab, jika setiap daerah mengeluarkan kebijakan serupa, turis asing yang transit di sejumlah destinasi wisata Indonesia berpotensi dipungut retribusi lebih dari satu kali.

Beda halnya jika kebijakan ini dilakukan oleh pemerintah pusat yang hanya akan memungut pajak keberangkatan satu kali bagi setiap wisatawan yang pergi meninggalkan Indonesia. Tambahan penerimaan negara ini juga dapat digunakan secara nasional dalam rangka melakukan pengembangan terkait dengan pariwisata di Indonesia.

Alternatifnya mungkin dapat dilakukan dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 menjelaskan bahwa PNBP adalah seluruh penerimaan non-pajak Pemerintah Pusat yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah; pemanfaatan sumber daya alam; hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan; pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah; penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi; penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah; dan penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri.

Artinya, jenis pungutan yang belum tercakup dalam kelompok PNBP, seperti pungutan atas turis, dimungkinkan dipungut di tingkat pusat cukup dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah.

Skema pemungutan PNBP juga menguntungkan dengan adanya penerapan konsep earmarking dalam pengelolaaan keuangan PNBP. Prinsip PNBP dapat digunakan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan jenis pungutan yang diterapkan. Dalam hal ini, jika pungutan dilakukan oleh otoritas yang terkait dengan pariwisata, hasil pungutan dapat digunakan sesuai dengan rencana jangka panjang terkait pariwisata secara nasional. Sehingga, perkembangan terkait dengan pariwisata di Indonesia dapat merata.

Bentuk pungutan atas keberangkatan ini dapat ditujukan kepada wisatawan mancanegara yang menikmati tempat wisata di Indonesia, sedangkan wisatawan domestik tidak perlu dikenakan pungutan yang sama. Pemungutan PNBP dapat dilakukan melalui pembebanan pada tiket dengan tujuan keluar dari Indonesia (misalnya tiket pesawat terbang dan kapal laut).

Dengan asumsi tarif pungutan sebesar Rp100 ribu per orang dan mengacu jumlah wisatawan asing yang transit di Indonesia (15,8 juta turis sepanjang 2018), potensi tambahan penerimaan negara dari jenis pajak baru ini sekitar Rp1,5 triliun per tahun. Jumlahnya akan bertambah besar seiring dengan pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan asing yang rata-rata tumbuh 10% per tahun.   

Intinya, Indonesia dapat mengadopsi pajak keberangkatan untuk menjadi sumber penerimaan baru bagi negara jika melihat dari potensi alam dan jumlah pertumbuhan wisatawan mancanegara. Namun, mengingat panjangnya proses ratifikasi Undang-Undang untuk pemungutan pajak baru, pungutan melalui skema PNBP dapat menjadi opsi terbaik dalam melakukan pungutan atas keberangkatan tersebut.

*Penulis: Rama Ames Remonda, Racha Arif Luthfi, dan Deo Damiani



Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

Related


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.