Opinion
Belenggu Pajak Bintang Bola Sepak

Thursday, 20 July 2017

Belenggu Pajak Bintang Bola Sepak

“Kemenangan” adalah harapan yang ingin dicapai oleh semua manusia. Apalagi buat seorang atlet yang memang dilahirkan untuk menunjukan eksistensi diri dengan berkompetisi. “Kalah” menjadi kata tabu bagi mereka sebelum bertanding.

Pun demikian dengan bintang sepakbola seperti Christian Ronaldo dan Lionel Messi. Keduanya menjadi ikon rivalitas di dunia sepakbola saat ini. Masing-masing membawa timnya (Barcelona dan Real Madrid) merebut kemenangan secara bergantian, baik di level domestik (Spanyol), regional (Eropa), maupun global. Faktanya, sangat sulit untuk menghentikan pergerakan mereka di lapangan hijau.

Namun, ternyata ada satu kekuatan yang mampu memojokkan para superstar sepakbola itu ke posisi yang sangat sulit.

Adalah regulasi pajak Spanyol yang berhasil membuat mereka bertekuk lutut dan tertunduk lesu di Meja Hijau atas tuduhan penggelapan pajak.

Bahkan, Messi telah dijatuhkan hukuman penjara selama 21 bulan, yang kemudian dikonversi menjadi denda sebesar 255 ribu euro. Messi dituduh menggelapkan pajak senilai 4,1 juta euro di Spanyol sepanjang 2007 hingga 2009 terkait pendapatannya dari sektor hak citra, seperti gambar dan poster.

Ancaman serupa juga mengancam Ronaldo, yang dituding mengemplang pajak kala berseragam Real Madrid sebesar €14,7 juta pada kurun waktu 2011-2014. Proses hukumnya masih berlangsung di Pengadilan Spanyol hingga kini.

Dalam laporan Forbes, Ronaldo tercatat sebagai atlet dengan pendapatan paling besar pada tahun 2016, yaitu sebesar 70,5 juta poundsterling. Sementara Lionel Messi berada di tempat kedua, dengan nilai pendapatan sebesar 65,2 juta poundsterling. Penghasilan keduanya berbanding lurus dengan jumlah trophy yang diraih bersama klubnya.

Baik Messi maupun Ronaldo, hanyalah segelintir dari sekian banyak bintang sepakbola dunia yang pernah tersandung kasus pajak. Barcelona menjadi klub yang paling banyak disorot karena skandal pajak yang melibatkan para punggawanya, seperti Javier Mascherano; Neymar; dan bahkan mantan Presiden Barcelona, Sandro Rossell.

Belum lama ini, pelatih asal Portugal, Jose Mourinho juga dituding merugikan Negeri Matador sekitar 3,3 juta euro pada medio 2011-2012. Jaksa menuduh Mourinho mengambil keuntungan pribadi dari hak citra yang didapatkannya selama menjadi juru taktik Real Madrid.

Beckham Law dan Komersialisasi Sepakbola

Sepakbola saat ini bukan hanya sekedar permainan mengolah Si Kulit Bundar, tetapi sudah menjelma menjadi industri yang luar biasa. Daya magisnya tak hanya mengundang perhatian jutaan pasang mata, tetapi juga menjadi magnit komersialisasi bagi pemilik modal dan sudah tentu para pemburu pajak.

Transaksi bisnis sepakbola sangat besar, tidak hanya berasal dari pendapatan tiket pertandingan, tetapi juga iklan dan hak siar. Semakin tinggi daya saing klub dan tingkat popularitas liga, maka semakin besar pula pendapatan yang bisa diperoleh oleh klub dan pemain sepakbola. Terlebih jika klub atau negara yang dibela lolos ke pentas turnamen tertinggi di level benua atau dunia.

Eropa sebagai kiblat industri sepakbola dunia membukukan nilai pasar sebesar 25 miliar euro pada 2016/2017 (Statista.com). Dalam lima tahun terakhir, nilai pasar sepakbola Eropa tumbuh rata-rata sekitar 8% per tahun. Lima besar liga Eropa yang membukukan pendapatan tertinggi dari sepakbola adalah Inggris, Spanyol, Jerman, Italia, dan Prancis.

Masing-masing negara menerapkan aturan main yang berbeda-beda, tergantung fokus dan prioritasnya: apakah mendahulukan industri atau penerimaan pajak? Kedua pilihan itu bisa saling menunjang atau bisa saling menjatuhkan. Beberapa memilih untuk lebih ramah pajak guna meningkatkan daya saing liga sekaligus mendorong perekonomian domestik.

Antara lain Spanyol, yang pada medio 2005 memberikan keringanan pajak bagi para atlet kaya dan pekerja asing berkeahlian khusus. Fasilitas yang diberikan berupa tarif pajak penghasilan flat sebesar 24%, dari sebelumnya berlaku pajak progresif dengan kisaran 24% hingga 43%.

Kebijakan otoritas pajak Spanyol itu kemudian popular dengan sebutan Beckham Law, setelah bintang sepakbola Inggris David Beckham menjadi salah satu pesohor asing pertama yang menikmati fasilitas pajak itu. Beckham sebenarnya hijrah dari Manchester United (Liga Premiere Inggris) ke Real Madrid (La Liga Spanyol) pada 2003, dengan status pemain Inggris termahal kala itu dengan banderol 37,5 juta euro.

La Liga pun semakin kompetitif menyusul kedatangan sejumlah pemain top dunia seperti Fabio Cannavaro (Italia), Rud Van Nistelrooy (Belanda), Kaka (Brasil), Karim Benzema (Prancis), Zlatan Ibrahimovic (Swedia) dan Christiano Ronaldo.

Image Spanyol sebagai negara ramah pajak bagi ekspatriat lambat laun mulai luntur pasca Beckham Law dicabut pada 2010. Nama-nama besar di dunia sepakbola satu per satu mulai gerah setelah rekam jejak keuangannya dipermasalahkan otoritas pajak. Belakangan, Ronaldo mengancam hengkang dari Spanyol meskipun tidak secara langsung menyebut kasus pajak sebagai penyebabnya.

Fenomena ini menjadi menarik jika dikaitkan dengan upaya global memerangi aksi penghindaran pajak. Era keterbukaan informasi melalui pelaksanaan pertukaran informasi perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI) menjadi signal kuat, bahwa ke depan tidak ada lagi tempat untuk menyembunyikan harta dari pajak.

Menggali Pajak di Lapangan Hijau

Otoritas pajak di seluruh dunia belakangan ini sangat serius menggali sumber-sumber penerimaan pajak, terutama di sektor-sektor industri yang potensial. Salah satunya adalah industry sepakbola, yang pertumbuhannya sangat signifikan dalam beberapa decade terakhir di hampir seluruh dunia.

Di Asia, China dan India adalah negara yang sangat agresif menghimpun investasi demi memajukan industri sepakbolanya. Liga Super China dan Liga Super India dalam beberapa tahun terakhir rajin mendatangkan bintang sepakbola dengan bayaran mahal.

Berdasarkan data transfer market system FIFA, nilai transfer pemain sepakbola di Liga Super China pada tahun 2014 mencapai US$101,8 juta, dimana hampir separuhnya digunakan untuk pembelian pemain bintang dari Eropa. Pada tahun 2015, nilainya meningkat lebih dari 65% menjadi US$168,3 juta untuk total nilai transfer, dan sebesar US$ 90,6 juta di antaranya transfer pemain dari Eropa.

Sebuah fenomena yang baru saja menular ke industri sepakbola Indonesia, pasca bergulirnya Liga 1. Persib Bandung, misalnya, berhasil mendatangkan eks pemain Chelsea dan Real Madrid, Michael Essien. Demikian pula dengan Madura United yang belum lama ini mendatangkan mantan penyerang Liga Premiere Inggris asal Nigeria, Peter Osaze Odemwingie.

Kehadiran marquee players di berbagai liga tak hanya menandakan geliat industri sepakbola, tetapi juga menjadi ladang investasi—yang tak jarang diwarnai taktik-taktik penghindaran pajak.

Artinya, terdapat potensi investasi dan pajak yang cukup besar di industri sepakbola. Tidak hanya berasal dari penghasilan para pemain dan klub saja, melainkan juga dari aktivitas bisnis terkait lainnya, seperti industri pakaian olahraga (apparel), iklan, atau bahkan perjudian.

Bicara soal potensi (investasi dan pajak) yang besar, idealnya menjadi berkah bagi semua pihak, terutama negara. Dengan catatan, selama dibarengi dengan kepatuhan tinggi wajib pajak, serta didukung oleh sistem dan pelayanan pajak yang optimal. Namun, realitanya terkadang tak seperti yang diharapkan.

Kasus-kasus pajak yang menjerat pemain-pemain top dunia di liga-liga Eropa setidaknya bisa menjadi pelajaran. Terutama bagi insan sepakbola Indonesia—yang baru kembali menghirup udara segar lapangan hijau setelah lama tersandera carut marut tata kelola liga domestik. Intinya, kembalikan sepakbola ke khitahnya: permainan yang sportif dan menghibur. Untuk itu, para pelakunya harus menjunjung tinggi sportifitas, termasuk dalam hal memenuhi kewajiban perpajakan. Jadi, di mana ada kemenangan dan perayaan juara terselip kewajiban pajak dari para punggawa dan klub sepakbola. ***

Penulis:

Wahyu Nuryanto
*Praktisi pajak dan mantan fiskus yang kini menjabat sebagai Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute, lembaga nirlaba yang fokus pada studi dan penelitian di bidang perpajakan*



Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.