News
Tarif PPh Belum Kompetitif

Monday, 21 December 2009

Tarif PPh Belum Kompetitif

JAKARTA , Tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan di dalam negeri saat ini dinilai belum kompetitif bila dibandingkan di tingkat regional maupun global sehingga harus diturunkan untuk menarik investasi.

Pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia Gunadi mengatakan, penurunan tarif tersebut harus diikuti dengan sistem basis data (database) yang baik serta penguatan administrasi pajak untuk mengamankan penerimaan. Di beberapa negara, tarif PPh badan sampai pada posisi sekitar 15–17 persen dari penghasilan kena pajak. Sementara di Indonesia, setelah diturunkan,tahun depan pun masih berada pada level 25 persen. Dia juga mengakui, tarif PPh badan saat ini belum terlalu kompetitif namun beberapa negara pun masih seperti Indonesia.

 

"Singapura tarifnya 20 persen, Malaysia 28 persen, Thailand dan Filipina 30 persen, lalu Hong Kong 16 persen," kata Gunadi saat dihubungi kemarin. Tetapi sayangnya, tutur dia, aturan pajak di Indonesia masih bolong-bolong dan administrasi pengenaan pajaknya juga belum sekuat Singapura. Sistem database di Negeri Singa tersebut sudah kuat sehingga peluang penghindaran kewajiban pajak tidak sebesar di Indonesia.Selain itu,dia menambahkan, pengadilan pajak di Indonesia juga masih berdasarkan bukti formal lemah sehingga banyak penghindar pajak lolos.

Kepala Badan Anggaran DPR Harry Azhar Aziz mengatakan, dengan perubahan Undang-undang PPh, besaran tarif PPh badan maupun orang pribadi didesain agar terus turun. PPh badan, misalnya, pada 2008 tarifnya menganut tarif proporsional dengan kutipan terendah 10 persen dan tertinggi 30 persen, sesuai besaran penghasilan kena pajak. Lalu pada tahun ini ditetapkan 28 persen dengan memakai sistem tarif tunggal dan 2010 nanti diturunkan lagi menjadi 25 persen.

Namun, Harry melihat, besaran ini masih terlalu tinggi jika dibandingkan negara lain. Dia juga mengatakan, dengan besaran seperti itu, penerimaan pajak transaksi, di antaranya berasal dari pajak pertambahan nilai (PPN) di dalam negeri masih kalah dominasinya terhadap penerimaan pajak ketimbang pendapatan PPh. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Agung Pambudhi menilai,urusan pajak bukan hal utama yang dinilai investor ketika mau menanamkan modal.

Bagi investor, ujarnya, hal terpenting adalah iklim investasi, seperti kemudahan pelayanan perizinan dan kepastian hukum."Lalu infrastruktur. Ini yang lebih (penting) dari sekadar faktor pajak," imbuhnya.

Desentralisasi PBB

Di sisi lain,desentralisasi pajak bumi dan bangunan (PBB) dikhawatirkan semakin menyulitkan investor untuk menanamkan modalnya. "Saya kira desentralisasi pajak daerah itu bisa menjadi ancaman buat investor. Pemerintah harus hati-hati," kata Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas Dedy Supriadi Priatna. Dia mengatakan, pemerintah harus menghitung tingkat kebutuhan investor. Menurutnya, investor membutuhkan kepastian.

"Mereka kontrak bisa selama 30–35 tahun. Jika tiba-tiba pajak naik, pengeluaran mereka akan bertambah besar,"kata Dedy. Kebijakan desentralisasi PBB, dia mengatakan, memang akan memberikan kemudahan kepada daerah untuk menentukan tarif, termasuk bisa menaikkan tarif setiap tahun. Hal inilah, kata dia, yang akan sangat merugikan kalangan investor. Direktur Utama Jasa Marga Frans S Sunito mengatakan bahwa dengan desentralisasi pajak, investor akan semakin berpikir untuk menanamkan modal di daerah. "Saya dengar akan ada kebijakan desentralisasi pajak di setiap daerah.

Harapan saya kebijakan ini tidak membuat PBB di daerah meningkat tajam,"kata Frans. Kendati demikian, dia mengatakan, desentralisasi pajak tidak akan menjadi masalah asal daerah tidak mematok pajak dengan seenaknya. "Biaya pajak jalan seharusnya jangan mahal-mahal karena jalan untuk kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi,"tegasnya. Pengamat ekonomi Indef Ahmad Erani Yustika mengatakan, pemerintah harus melakukan kebijakan ganda."Pemerintah harus membuat aturan umum perpajakan yang berlaku secara nasional.

Selain itu, ada pula kebijakan di daerah,"katanya. Di sisi lain Wakil Ketua Komisi XI DPR Achsanul Qosasi mendukung pencabutan peraturan daerah (perda) pajak ganda karena dinilai tidak memihak pada kepentingan nasional. Adanya perda ganda tersebut menyebabkan iklim investasi di daerah menjadi tidak menarik bagi investor. Perda yang dicabut itu,Qosasi mencontohkan,di antaranya perda tentang retribusi KTP, retribusi penerimaan pajak dan kelautan yang tidak ada keseragaman dengan peraturan secara nasional. "Perda yang dicabut adalah yang menguntungkan daerah tanpa memikirkan kepentingan investor," kata dia.

Menurut dia, dampak pencabutan perda tersebut bagi daerah memang akan terasa.Misalnya, pendapatan retribusi dari pembuatan KTP, retribusi pajak dan kelautan akan berkurang. "Kita berharapnya daerah tidak bertanya- tanya lagi kenapa perda tersebut dicabut,"katanya. Dengan dicabutnya 206 perda yang dinilai tidak mendukung secara nasional tersebut, Qosasi optimistis investor akan lebih bersemangat menanamkan modalnya di Indonesia.

"Alasan lain perda itu dicabut adalah setelah kita menampung keluhan yang paling banyak dari investor sejak 2003. Akhirnya diputuskanlah untuk mencabut 206 perda ganda tersebut," katanya.

Okezone.com

http://ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=7855&q=&hlm=1


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.