Opinion
Pengaruh Pajak Terhadap Investasi

Wahyu Nuryanto | Wednesday, 27 November 2019

Pengaruh Pajak Terhadap Investasi

Menjelang berakhirnya masa jabatan di periode I, Presiden Joko Widodo kecewa dengan kinerja investasi Indonesia. Pasalnya, dari 33 perusahaan Tiongkok yang merelokasi pabrik, tidak ada satu pun yang masuk ke Indonesia. Sebanyak 23 perusahaan memilih untuk membangun pabrik di Vietnam, sedangkan sisanya memindahkan pabriknya ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja.

Kondisi serupa juga terjadi sebelumnya ketika 73 perusahaan Jepang hijrah. Sebanyak 43 perusahaan Jepang berbondong-bondong memilih Vietnam sebagai destinasi baru pabriknya. Sedangkan 11 perusahaan lain mengalihkan pabriknya ke Thailand. Beruntung sisanya, 10 perusahaan, berminat untuk merelokasi pabrik ke Indonesia.

Kejadian terakhir seperti menampar wajah Indonesia, yang sejatinya tengah habis-habisan melakukan deregulasi peraturan-peraturan penghambat investasi. Tidak hanya itu, belasan paket kebijakan ekonomi telah digelontorkan selama lima tahun terakhir, yang sebagian besar menawarkan beragam bentuk insentif perpajakan.

Secara nominal, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi memang terus meningkat, namun secara persentase pertumbuhannya semakin melambat. Ketika pertama kali menjabat sebagai presiden, Jokowi diwariskan tingkat pertumbuhan investasi yang lumayan tinggi, yakni sebesar 16,2% pada tahun 2014. Untuk membuktikan slogan “kerja, kerja, kerja!”, Pemerintahan Joko Widodo berhasil membawa investasi tumbuh 17,8% pada tahun 2015. Perlahan namun pasti, pertumbuhan investasi berbalik melambat hingga mentok di angka 4,1% pada tahun 2018. Sebuah tingkat pertumbuhan investasi yang jauh dari ekspektasi.

Sebuah anomali jika dibandingkan dengan belanja pajak pemerintah yang pertumbuhannya cukup signifikan dari tahun ke tahun. Mengutip data yang dihimpun Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, sepanjang tahun 2016 Pemerintah Indonesia telah melakukan belanja pajak sebesar Rp143,6 triliun. Nilainya bertumbuh 37% menjadi Rp196,8 triliun pada tahun 2017 dan diprediksi meningkat 12,3% menjadi Rp221,1 triliun pada tahun 2018.

Wajar jika kemudian publik mempertanyakan efektifitas dari pelaksanaan kebijakan insentif fiskal. Terutama fasilitas keringanan pajak (tax allowance) dan insentif pengurangan pajak penghasilan (tax holiday) bagi penanam modal di bidang usaha dan jangka waktu tertentu. Alih-alih menarik investasi baru, yang terjadi justru respons pelaku usaha terhadap fasilitas perpajakan ini sangat minim, terlebih untuk memanfaatkannya. Alasan klasik pemodal enggan terhadap kedua fasilitas tersebut selalu soal prosedur untuk mendapatkannya berbelit-belit dan kriteria usaha serta persyaratan untuk mendapatkannya terlalu sulit untuk bisa dipenuhi calon investor.

Atas keluhan pengusaha tersebut, pemerintah akhir tahun lalu merelaksasi syarat dan prosedur pemberian fasilitas pengurangan pajak penghasilan (PPh) badan bagi pelaku industri pionir, antara lain dengan menurunkan batas minimal nilai investasi dari Rp500 miliar menjadi Rp100 miliar. Relaksasi terutama diterapkan pada persentase pengurangan PPh badan, dari yang sebelumnya dipukul rata sebesar 100%, menjadi dibagi dalam dua opsi: pengurangan pajak 50% dan pembebasan penuh atau pengurangan pajak 100%. Untuk pembebasan penuh PPh (100%) diperuntukan bagi penanaman modal dengan nilai investasi paling sedikit Rp500 miliar. Sementara, fasilitas pengurang pajak 50% diberikan untuk investasi dengan rentang nilai Rp100 miliar hingga Rp500 miliar.

Tidak hanya itu, pemerintah juga memangkas tarif PPh final untuk UMKM dari 1% menjadi 0,5%, serta memberikan insentif kemudahan restitusi pajak. Belum lama ini pemerintah juga menawarkan fasilitas pengurangan penghasilan kena pajak hingga 300%. Fasilitas yang popular dengan super deduction tax ini diperuntukkan bagi bagi entitas bisnis yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan vokasi, serta penelitian dan pengembangan (research & development).

Harmful Tax Competition

Kebijakan insentif fiskal tentu tak masalah jika efektivitasnya dalam menjaring modal sudah teruji. Belanja pajak agresif juga harus memperhatikan target tinggi penerimaan yang dalam beberapa tahun terakhir tak bisa dicapai oleh otoritas pajak. Selain itu, ekses yang timbul dari pemberian insentif pajak secara berlebihan juga harus diantisipasi.

Dana Moneter Internasional (IMF) pada pertengahan tahun 2017 menyoroti liberalisasi perdagangan—yang ditandai dengan integrasi ekonomi dan investasi lintas batas—yang dinilai dapat menghasilkan efek samping negatif. Tak hanya soal maraknya aksi perencanaan pajak agresif oleh perusahaan multinasional dan regional, dampak lain yang juga patut diwaspadai adalah terjadinya persaingan agresif antar-negara demi memperebutkan investasi melalui pemberian berbagai insentif dan pembebasan pajak. 

Terkait hal ini, OECD dalam beberapa tahun terakhir rutin melakukan kajian untuk mengukur efek buruk dari Harmful Tax Competition dari setiap keputusan investasi di sektor finansial dan konsekuensinya terhadap perpajakan. Dalam kesimpulannya, praktik-praktik perpajakan yang dianggap berbahaya (Harmful Tax Practices) merupakan akibat dari adanya rezim perpajakan prefensial yang berbahaya (harmful preferential tax regime) dan surga pajak (tax haven).

Terdapat empat kebijakan fiskal di Indonesia yang turut menjadi bahan kajian OECD, yakni yang terkait dengan insentif pajak untuk perusahaan terbuka, tax allowance, tax holiday, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Walaupun tidak masuk dalam lingkup harmful tax practices, keempat insentif pajak tersebut bisa dipandang oleh negara lain sebagai kebijakan yang tidak fair dalam memperebutkan modal.  Kebijakan-kebijakan itu dikhawatirkan akan dibalas oleh banyak negara dengan menurunkan tarif pajak sehingga dapat memicu perang tarif. 

Pertanyaanya kemudian, apakah insentif pajak satu-satunya alasan pemodal untuk investasi? Dalam banyak kesempatan, permasalahan mendasar yang selalu dikeluhkan pelaku usaha tidak selalu pajak. Jawaban mereka rata-rata selalu soal birokrasi yang rumit, keterbatasan infrastruktur, jaminan pasokan energi, dan kepastian hukum.

Hal ini terkonfirmasi dari hasil survei Ease of Doing Business (EoDB) Bank Dunia, yang mana pembayaran pajak merupakan satu dari 10 faktor yang menjadi dasar penilaian investor terhadap iklim dan kemudahan berusaha sebuah negara. Masih ada sembilan alasan lain pengusaha untuk mengambil keputusan investasi di sebuah negara: biaya memulai usaha, proses perizinan konstruksi, akses terhadap sambungan listrik, pendaftaran properti, akses terhadap kredit, perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, penegakan kontrak, penyelesaian kasus kepailitan, dan perdagangan lintas negara.

Sejatinya, Indonesia dalam lima tahun terakhir mengalami perbaikan di bidang perpajakan. Kecuali pada tahun 2018, ketika peringkat pembayaran pajak (paying taxes) Indonesia turun 10 peringkat, dari posisi ke-104 berdasarkan survei tahun sebelumnya menjadi peringkat 114 dari 190 negara. Namun, setelahnya peringkat pembayaran pajak Indonesia terus membaik seiring dengan perbaikan administrasi perpajakan.

Survey terbaru (EoDB 2020) menunjukan indikator pembayaran pajak Indonesia naik 31 peringkat, dari sebelumnya ke-112 (EoDB 2019) menjadi peringkat ke-81. Perbaikan peringkat ini berkat perbaikan sistem administrasi perpajakan yang berhasil mengurangi jumlah pembayaran pajak per tahun dari 43 menjadi 26, serta memangkas waktu yang dibutuhkan untuk membayar pajak dari 207,5 jam menjadi 191 jam dalam setahun. Salah satu terobosan di bidang perpajakan yang mendapatkan nilai plus adalah kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) secara daring (e-Filing), terutama untuk pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Sayangnya, perbaikan di sektor perpajakan tidak mampu mengungkit rangking kemudahan berusaha Indonesia (EoDB 2020) yang stagnan di peringkat 73 dari 190 negara sejak tahun lalu.

Kendati demikian, ada beberapa hal terkait paying taxes Indonesia yang masih menjadi catatan Bank Dunia. Antara lain terkait dengan dengan 26 jumlah pembayaran pajak di Indonesia, yang belum sebanding dengan rata-rata 20,6 jumlah pembayaran pajak di kawasan Asia Timur dan Pasifik, dan rata-rata 10,3 pembayaran pajak di negara-negara ekonomi berpendapatan tinggi anggota Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).

Sementara waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan, mengajukan dan membayar (atau menahan) PPh, PPN, dan pajak tenaga kerja (termasuk pajak gaji dan iuran sosial) rata-rata membutuhkan 191 jam per tahun. Meskipun mengalami perbaikan, tetapi masih kalah singkat dibandingkan dengan rata-rata waktu yang dibutuhkan di kawasan Asia Pasifik (173 jam/tahun) dan negara-negara OECD (158,8 jam/tahun).

Menarik memang menyoroti kebijakan perpajakan nasional. Di satu sisi, target penerimaan pajak selalu meningkat signifikan dari tahun ke tahun seiring dengan ekspektasi tinggi pembangunan negeri. Di sisi lain, melemahnya daya dorong investasi terhadap pertumbuhan ekonomi menginisiasi pemerintah untuk menebar semakin banyak insentif fiskal guna membalikkan keadaan. Alhasil, otoritas pajak menjadi dilematis: dipaksa menggenjot penerimaan sekaligus mengikhlaskan potensi pemasukannya hilang sebagian untuk merangsang investasi.

Sampai dengan Agustus 2019, otoritas pajak baru mengantongi penerimaan sebesar Rp801,02 triliun atau 50,78% dari target APBN 2019 yang sebesar Rp 1.577,56 triliun. Realisasi tersebut memang tumbuh 0,21% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp799,46 triliun, tetapi apakah cukup menjadi modal pencapai target tahun ini? Data tersebut mengisyaratkan kesulitan bertahun dari otoritas pajak dalam menghadapi shortfall, yang mungkin saja berulang pada tahun depan (2020) jika target penerimaan pajak tetap dipaksa tumbuh 18% menjadi sebesar Rp1.861,8 triliun.

Idealnya, kebijakan stimulus fiskal dapat menggenjot investasi, yang pada gilirannya menyumbang lebih tinggi pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak. Jangan sampai justru shortfall menjadi kompromi demi menarik sebanyak-banyaknya investasi.

*Versi singkat artikel ini telah terbit di Majalah Pajak edisi November 2019



Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

Related


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.