Opinion
Menyoal Arti Kompensasi PPN dan Sanksi Kenaikan 100%

Karsino Miarso | Wednesday, 16 January 2019

Menyoal Arti Kompensasi PPN dan Sanksi Kenaikan 100%

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berjanji akan terus memperbaiki kualitas proses pemeriksaan pajak, antara lain dengan melakukan seleksi ketat Wajib Pajak yang dianggap pantas untuk diperiksa. Reformasi perpajakan lanjutan ini akan mengedepankan keadilan dan efisiensi dalam melakukan pemeriksaan pajak (CNBC Indonesia, 23 Oktober 2018).

Ini merupakan kabar baik bagi Wajib Pajak, terutama bagi mereka yang kerap merasa diperlakukan kurang adil dalam pemeriksaan. Kabar baik ini sangat diharapkan tidak hanya sebatas wacana, tetapi dapat ditindaklanjuti dengan aksi nyata. Harapan selanjutnya adalah bahwa perbaikan tidak hanya pada tahap seleksi atas Wajib Pajak yang akan diperiksa, melainkan juga pada tahap pelaksanaan pemeriksaan, di antaranya dalam mengimplementasikan aturan-aturan perpajakan yang terkait dengan proses pemeriksaan.  

Implementasi aturan perpajakan yang dirasakan kurang adil oleh Wajib Pajak acap kali terjadi. Contohnya pada penerapan ketentuan Pasal 13 ayat 3 huruf c UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) berkenaan dengan pengenaan sanksi kenaikan 100% Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang tidak atau kurang dibayar. Sanksi tersebut dikenakan akibat kesalahan Wajib Pajak dalam mengompensasikan selisih lebih pajak atau yang tidak seharusnya dikenakan tarif 0% sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13 ayat 1 huruf c UU KUP.

Dari sisi normatif, ketentuan tentang sanksi kenaikan 100% PPN tersebut sebenarnya tidak ada masalah. Alasan mengapa sanksinya begitu besar adalah karena memang tujuan dari ketentuan tersebut adalah untuk memberikan hukuman yang setimpal atas kesalahan Wajib Pajak karena tidak membayar PPN dengan seharusnya karena mengompensasikan lebih bayar PPN secara tidak benar atau keliru menerapkan tarif PPN 0%. Hal tersebut mungkin dikarenakan Wajib Pajak salah hitung, atau mungkin juga karena kesengajaan atau kecurangan. Apa pun itu, hukum harus ditegakkan.

Sekali lagi, tujuan dari aturan sanksi tersebut sudah tepat. Persoalannya adalah, apakah penerapannya juga sudah tepat?

Beda Tafsir

Sumber masalah sebenarnya muncul dari definisi “kompensasi” yang tidak diatur dengan jelas dalam UU Perpajakan. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “kompensasi” dipersamakan dengan: (1) ganti rugi; (2) pemberesan piutang dengan memberikan barang-barang yang seharga dengan utangnya; (3) pencarian kepuasan dalam suatu bidang untuk memperoleh keseimbangan dari kekecewaan dalam bidang lain; (4) manajemen imbalan berupa uang atau bukan uang (natura) yang diberikan kepada karyawan dalam perusahaan atau organisasi.

Dalam konteks Pasal 13 ayat 1 huruf c UU KUP, dapat dipahami bahwa arti kompensasi selisih lebih pajak adalah penggunaan lebih bayar PPN untuk membayar utang pajak (kurang bayar PPN) yang ada di bulan berikutnya. Hal ini sesuai dengan definisi “kompensasi” menurut KBBI, yaitu “pemberesan piutang dengan memberikan barang-barang yang seharga dengan utangnya.”  Artinya, kompensasi lebih bayar PPN terjadi ketika terdapat kurang bayar PPN pada bulan berikutnya.

Sebagai ilustrasi, misalnya, Wajib Pajak A melaporkan lebih bayar PPN bulan Januari 2018 sebesar Rp1 miliar. Lebih bayar tersebut akan dikompensasikan dengan utang pajak (kurang bayar PPN) bulan berikutnya. Sementara itu, di bulan Februari 2018, Wajib Pajak A melaporkan kurang bayar PPN sebesar Rp500 juta. Karena terdapat lebih bayar PPN bulan Januari 2018 sebesar Rp1 miliar yang dapat dikompensasikan, perhitungan PPN menurut Wajib Pajak pada bulan Februari 2018 menghasilkan sisa lebih bayar sebesar Rp500 juta untuk dikompensasikan dengan kurang bayar PPN bulan berikutnya.

Sementara, dalam proses pemeriksaan, misalnya, Pemeriksa pajak menilai perhitungan PPN oleh Wajib Pajak A untuk bulan Januari 2018 tidak benar karena, berdasarkan pemeriksaan, tidak ada lebih bayar PPN atau nihil. Konsekuensinya, Wajib Pajak A akan diberikan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) untuk bulan Januari 2018 sebesar Rp2 Miliar, yang terdiri dari pokok pajak sebesar Rp1 miliar dan sanksi kenaikan 100% PPN sebesar Rp1 miliar (atas kompensasi lebih bayar PPN yang tidak seharusnya).

Mengacu pada Pasal 13 ayat 1 huruf c dan ayat 3 huruf c UU KUP, sanksi kenaikan 100% seharusnya dikenakan pada masa pajak atau bulan terjadinya kompensasi lebih bayar PPN yang tidak seharusnya.

Baca Juga: Fiskus Siapkan 8 Alternatif Hitung Omzet Wajib Pajak

Dalam contoh kasus di atas, memang benar nilai lebih bayar PPN yang dilaporkan oleh Wajib Pajak A pada bulan Januari 2018 adalah sebesar Rp1 miliar. Namun, kompensasi sejatinya baru dilakukan oleh Wajib Pajak A pada bulan Februari 2018 senilai Rp500 juta, sesuai dengan nilai utang pajak (kurang bayar PPN) bulan tersebut.

Dengan demikian, sanksi kenaikan 100% seharusnya hanya dihitung berdasarkan nilai kompensasi riil yang dilakukan oleh Wajib Pajak A pada bulan Februari 2018, yakni Rp500 juta. Keliru apabila sanksi dikenakan atas dasar nilai lebih bayar bulan sebelumnya (Januari 2018) yang sebesar Rp1 miliar.

Kasus yang lebih ekstrim dapat terjadi pada Wajib Pajak yang mengalami lebih bayar PPN setiap bulan, namun tidak mengajukan restitusi (pengembalian) atas lebih bayar tersebut setiap bulannya. Misalnya, Wajib Pajak B melaporkan adanya lebih bayar PPN di bulan Januari dan Februari 2018 masing-masing sebesar Rp1 miliar dan seterusnya. Namun, lebih bayar tersebut baru akan direstitusi pada akhir tahun 2018.

Meskipun lebih bayar PPN bulan Januari 2018 sebesar Rp1 miliar, nilai yang dikompensasikan di bulan Februari 2018 sebenarnya tidak ada karena, pada bulan Februari 2018, tidak terdapat utang pajak (kurang bayar PPN). Kompensasi baru dapat dilakukan pada bulan berikutnya jika terdapat utang pajak (kurang bayar PPN).

Seperti pada contoh kasus sebelumnya, misalnya, dalam proses pemeriksaan, Pemeriksa pajak menganggap perhitungan PPN oleh Wajib Pajak B tidak benar. Menurut pemeriksa, nilai lebih bayar PPN pada bulan Januari 2018 seharusnya Rp500 juta, bukan Rp1 miliar seperti yang dilaporkan Wajib Pajak B.

Dalam praktik selama ini, Wajib Pajak B akan diberikan SKPKB untuk bulan Januari 2018 sebesar Rp1 miliar, yang terdiri dari pokok pajak sebesar Rp500 juta dan sanksi kenaikan 100% sebesar Rp500 juta. Padahal, berdasarkan pemeriksaan tersebut, pada bulan Januari 2018, Wajib Pajak B masih memiliki lebih bayar sebesar Rp500 juta. Selain itu, faktanya, lebih bayar PPN bulan Januari 2018 yang dilaporkan Wajib Pajak B belum benar-benar dimanfaatkan sebagai kompensasi (pengurang) atas utang pajak karena Wajib Pajak B tidak memiliki utang pajak. Melainkan, Wajib Pajak B memiliki lebih bayar PPN setiap bulannya.

Baca Juga: Pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus Wajib Pungut PPN 10%

Kembali merujuk pada ketentuan Pasal 13 ayat 1 huruf c dan ayat 3 huruf c UU KUP, Wajib Pajak B seharusnya tidak dapat dikenakan sanksi kenaikan 100%. Sebab, faktanya, Wajib Pajak B tidak memiliki utang pajak (kurang bayar PPN). Sehingga, kompensasi lebih bayar PPN tidak benar-benar dilakukan.

Butuh Kepastian

Kasus-kasus di atas merupakan contoh bagaimana regulasi ditafsirkan secara berbeda oleh fiskus dan Wajib Pajak. Perbedaan ini menjadi tidak adil bagi Wajib Pajak karena menghasilkan hukuman yang lebih besar dari yang seharusnya. Sayangnya, UU KUP tidak menjabarkan definisi “kompensasi” yang menjadi pemicu terjadinya sengketa tersebut.

Beda persepsi ini tidak jarang berlanjut ke Pengadilan Pajak. Prosesnya sudah pasti bakal menambah beban Wajib Pajak maupun Otoritas Pajak, baik dari sisi biaya maupun tenaga. Karenanya, itikad baik Otoritas Pajak untuk memperbaiki proses pemeriksaan menjadi lebih efisien dan berkeadilan sangat ditunggu oleh Wajib Pajak, terutama yang terkait dengan penerapan sanksi kenaikan 100% PPN.

Akhir kata, semoga regulasi yang dijanjikan segera terbit dan menjadi win-win solution bagi Otoritas maupun Pembayar Pajak.  

*Versi singkat artikel ini telah terbit di koran Investor Daily, Kamis, 29 November 2018.



Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

Related


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.