Uji Kepatuhan di Bulan Sibuk Lapor SPT
Monday, 30 April 2018
Rutinitas yang sangat tidak diharapkan tetapi harus dilakukan oleh Wajib Pajak setiap tahunnya mungkin adalah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan. Sebuah konsekuensi pelaksanaan sistem pajak self-assessment yang bukan hanya sulit dihindari oleh Wajib Pajak, tetapi memang pembayar pajak tidak boleh lari dari kewajiban ini.
Wajib Pajak Orang Pribadi berkewajiban melaporkan SPT tahun sebelumnya paling lambat akhir bulan ketiga (Maret), sementara Wajib Pajak Badan diberi tenggat waktu hingga akhir bulan keempat (April). Bulanbulan yang selalu penuh keriuhan bagi para pelaku perpajakan siapapun dan dimanapun.
Harapan setiap Wajib Pajak pastinya adalah mengisi SPT secara mudah dan hasil yang tercatat seimbang antara hak dan kewajiban perpajakan. Namun, yang terjadi sering kali tidak demikian.
Ketidakcocokan antara penghasilan dan pajak yang dibayarkan kerap timbul dari kekeliruan pengisian SPT atau bisa juga karena ketidakpahaman terhadap ketentuan, terlebih jika ada perubahan peraturan perpajakan yang harus disesuaikan dalam pelaporan SPT.
Terkait pelaporan SPT tahun pajak 2017, keriuhannya kemungkinan besar akan lebih menyita waktu dan energi fiskus maupun Wajib Pajak. Hal ini terkait dengan terbitnya sejumlah ketentuan baru yang menambah kewajiban pelaporan bagi setiap Wajib Pajak. Berikut ini adalah beberapa ketentuan baru yang harus dipahami oleh Wajib Pajak dalam mengisi dan melaporkan SPT tahun pajak 2017:
Laporan Harta Terkait Tax Amnesty
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan program amnesti pajak (tax amnesty), Wajib Pajak yang telah mengantongi Surat Keterangan Pengampunan Pajak (SKPP) diharuskan menyampaikan laporan penempatan harta serta laporan pengalihan dan realisasi investasi harta tambahan secara berkala setiap tahun. Adapun batas waktu pelaporan harta paling lambat 31 Maret bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan 30 April bagi Wajib Pajak Badan, yang berlaku selama tiga tahun sejak menerima SKPP.
Kewajiban ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-07/PJ/2018 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2017 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pengawasan Harta Tambahan dalam Rangka Pengampunan Pajak.
Berdasarkan ketentuan di atas, Wajib Pajak yang dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) mendeklarasikan hartanya di dalam negeri dan/atau berkomitmen akan mengalihkan dan menginvestasikan harta tambahan dari luar negeri ke dalam wilayah Indonesia berkewajiban melaporkan realisasinya.
Seperti halnya SPT, pelaporan harta tambahan terkait amnesti pajak dapat dilakukan secara langsung maupun melalui saluran tertentu yang ditentukan oleh Direktorat jenderal Pajak (DJP) seperti melalui sarana online, via pos, atau jasa ekspedisi (kurir).
Pengecualian diberikan bagi Wajib Pajak yang hanya mendeklarasikan harta tambahan di luar negeri dan/atau Wajib Pajak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan omzet maksimal Rp4,8 miliar.
Laporan Debt to Equity Ratio (DER)
Hal penting lain yang juga harus diperhatikan khususnya oleh Wajib Pajak Badan menjelang berakhirnya batas waktu pelaporan SPT adalah memastikan bahwa perhitungan perbandingan antara utang dan modal atau Debt to Equity Ratio (DER) telah memenuhi ketentuan. Hal ini terkait dengan biaya pinjaman yang dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto maksimal empat kali lipat dari total modal (4:1).
Untuk itu, Wajib Pajak Badan diharuskan melaporkan perhitungan DER perusahaannya bersamaan dengan penyampaian SPT, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 169 Tahun 2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan, yang mekanismenya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak PER-25/PJ/2017.
Kewajiban pembuatan laporan perhitungan DER ini sebenarnya sudah dimulai sejak penyusunan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2016. Namun, ketentuan yang berbeda mulai tahun pajak 2017 adalah terdapat 2 (dua) lampiran dengan format standar yang menentukan kelengkapan SPT PPh Badan, yakni laporan penghitungan perbandingan utang dan modal, serta laporan utang swasta luar negeri.
Dokumentasi Transfer Pricing
Sementara, bagi Wajib Pajak Badan atau perusahaan yang melakukan transaksi afiliasi, yang tidak boleh dilupakan adalah pelaporan dokumen penetapan harga transfer, yang mulai tahun pajak 2016 menggunakan format baru. Dalam hal ini, Wajib Pajak dengan kriteria tertentu wajib menyusun paket dokumen harga transfer yang terdiri dari Dokumen Induk (Master File), Dokumen Lokal (Local File), dan Laporan per Negara (Country by Country/CbC Report).
Kewajiban itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 213/ PMK.03/2017, tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan Tata Cara Pengelolaannya. Aturan itu kemudian dipertegas oleh Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor 29/PJ/2017 tentang Tata Cara Pengelolaan Laporan Per Negara, yang terbit pada 29 Desember 2017.
Setidaknya ada sejumlah dokumen yang wajib tersedia paling lambat empat bulan setelah akhir tahun pajak, yakni Local File dan Master File. Bahkan untuk tahun ini, entitas induk atau anggota dari grup usaha juga wajib melampirkan Notifikasi Laporan per Negara dan Kertas Kerja CBC Report tahun pajak 2016 bersamaan dengan batas akhir penyampaian SPT PPh Badan tahun 2017.
Penegasan Aturan
Pasca berakhirnya tahun pajak 2017, terbit Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9/PMK.03/2018 tentang Surat Pemberitahuan, yang merupakan revisi atas PMK Nomor 243/ PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan. Sedikitnya terdapat tiga hal perubahan ketentuan pelaporan SPT.
Pertama, mengenai kewajiban pelaporan SPT Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong. Sebelumnya, kewajiban pelaporan SPT berlaku untuk semua kondisi, meskipun tercatat nihil. Mengacu pada ketentuan yang baru, kondisi nihil yang muncul bukan karena adanya Surat Keterangan Domisili atau Certificate Of Domicile (CoD) tidak diwajibkan melaporkan SPT PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.
CoD merupakan salah satu dokumen yang digunakan dalam kaitannya dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty.
Kedua, pemerintah memperpanjang batas waktu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 22 yang dipotong oleh bendahara, dari sebelumnya empat belas hari menjadi dua puluh hari setelah masa pajak berakhir.
Ketiga, mengubah kewajiban pelaporan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai. Berdasarkan PMK Nomor 9/PMK.03/2018, pemungut PPN tidak harus melaporkan SPT Masa PPN jika tidak terdapat transaksi yang wajib dipungut PPN dan/atau PPnBM.
Selain mengubah sejumlah ketentuan, pemerintah juga mempertegas beberapa hal. Antara lain mengenai mekanisme bentuk dan kelengkapan dokumen SPT, yang terdiri dari dokumen elektronik dan formulir kertas atau hardcopy.
Adapun kriteria Wajib Pajak yang diwajibkan menyerahkan SPT Masa maupun SPT Tahunan dalam bentuk dokumen elektronik meliputi:
- Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau 26 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun dan tunjangan-tunjangan lainnya, dengan jumlah pegawai lebih dari dua puluh orang setiap Masa Pajak.
- Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 tidak final dan/atau Pasal 26 selain yang diatur di poin 1, dengan bukti potong lebih dari 20 orang di setiap Masa Pajak.
- Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 final, dengan bukti potong lebih dari dua puluh orang di setiap Masa Pajak.
- Wajib Pajak yang sudah pernah menyampaikan SPT Tahunan dalam bentuk dokumen elektronik.
- Terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya, KPP di lingkungan Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar.
Semua dokumen elektronik tersebut harus disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh DJP. DJP menegaskan, tidak akan memberikan bukti penerimaan SPT jika wajib pajak yang seharusnya melapor dalam bentuk dokumen elektronik, masih menyampaikan SPT dalam bentuk hardcopy.
Penegasan lainnya adalah mengenai penyampaian pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan. Terdapat penambahan satu Pasal terkait hal ini, yang isinya mempertegas bahwa setiap wajib pajak yang telah menyampaikan pemberitahuan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan wajib menyampaikan SPT Tahunan sebagaimana batas waktu perpanjangan yang diajukan.
Adapun batas waktu yang ditentukan adalah maksimal dua bulan setelah batas waktu pelaporan SPT yang seharusnya. Sesuai ketentuan, Wajib Pajak Orang Pribadi harus menyerahkan SPT Tahunan PPh paling lambat tiga bulan setelah tahun pajak berakhir (Maret), sedangkan untuk Wajib Pajak Badan maksimal empat bulan setelah tahun pajak berakhir (April).
Apabila setelah dilakukan perpanjangan pelaporan SPT menyebabkan nilai PPh kurang bayar lebih kecil dari nilai pajak yang disetor dalam surat setoran pajak, maka atas kelebihan itu dapat diajukan pemindahbukuan atau pengembalian.
Akses Informasi Keuangan
Berkaitan dengan implementasi keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan nasional maupun berkaitan dengan perjanjian internasional, Pemerintah mewajibkan lembaga jasa keuangan (LJK) menyiapkan dan melaporkan data rekening keuangan nasabah kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk diteruskan kepada DJP. Teknis pelaporannya bisa secara otomatis, khusus untuk entitas keuangan yang masuk kategori Lembaga Pelapor, atau berdasarkan permintaan khusus (by request) oleh DJP.
Memang tidak semua laporan harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian SPT. Hanya saja, untuk kepentingan perpajakan domestik, seluruh lembaga keuangan pelapor wajib menyampaikan data rekening keuangan nasabah secara otomatis paling lambat tanggal 30 April setiap tahunnya. Demikian pula bagi entitas yang masuk kategori LJK lainnya, diberikan waktu hingga 30 April setiap tahunnya untuk melaporkan informasi rekening keuangan nasabah untuk kepentingan perjanjian internasional.
Dengan banyaknya laporan yang wajib disampaikan hampir bersamaan dengan batas waktu pelaporan SPT, Wajib Pajak harus pintar mengatur waktu dan menyusun strategi agar itikad untuk melaksanakan kepatuhan perpajakan bisa efektif. Rentang waktu yang pendek ini setidaknya akan menjadi masa uji kepatuhan yang berat bagi Wajib Pajak. Karenanya, pemahaman terhadap ketentuan dan ketelitian dalam menyusun laporan menjadi sangat penting agar terhindar dari masalah teknis sepele yang ongkos penyelesaiannya bisa sangat besar.
https://mucglobal.com/upload/taxguide/files/TaxGuide2018-13_Indonesia.pdf