Belakangan ini ramai diberitakan aksi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal oleh startup yang diduga karena dipicu bubble burst. Lantas, bagaimana nasib pekerjanya dan hak-hak apa saja yang seharusnya mereka terima?
Merumahkan karyawan sejatinya merupakan pilihan pahit yang terpaksa diambil perusahaan ketika didera krisis dan masalah keuangan. Fenomena PHK serentak yang dilakukan banyak startup belakangan ini tak hanya menjadi isu nasional tetapi juga di berbagai negara, seperti Amerika, India dan Singapura. Mulai dari Tanihub, Zenius, JD.ID, Linkaja, hingga Zilingo dan TikTok mewakili deretan startup lokal maupun global yang tak kuasa menghindari PHK.
Istilah bubble burst kemudian mengemuka, dan diduga menjadi pemicu PHK massal startup nasional maupun global. Bubble burst merupakan siklus ekonomi yang ditandai dengan meningkatnya nilai pasar, terutama harga aset secara pesat dan tetiba anjlok dalam waktu singkat. Ledakan gelembung ekonomi ini kemudian menyebabkan banyak perusahaan mengalami masalah keuangan. Pengurangan tenaga kerja menjadi salah satu opsi bagi perusahaan melakukan efisiensi.
Pertanyaannya kemudian, apakah PHK massal yang dilakukan para startup tersebut dapat dibenarkan secara hukum ketenagakerjaan Indonesia? Jangan-jangan aksi sepihak perusahaan rintisan tersebut justru menyalahi ketentuan sehingga merugikan pekerja?
Satu hal yang pasti, Negara telah mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam hubungan industrial. Dalam hal ini, baik perusahaan sebagai pemberi kerja maupun karyawan yang dipekerjakan, dimungkinkan mengajukan gugatan atas perselisihan hubungan industrial yang dirasa merugikan salah satu pihak.
Dasar hukum PHK tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang beberapa ketentuannya direvisi oleh UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja. Ketentuan turunannya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021.
Hak Pekerja = Kewajiban Perusahaan
Bicara hak-hak pekerja dalam konteks PHK sejatinya merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan sebagai pemberi kerja. Sedangkan yang menjadi hak perusahaan asumsinya telah dipenuhi oleh karyawan sebelum dirumahkan.
Sayangnya, ketentuan perburuhan Indonesia hanya melindungi hak-hak pekerja yang statusnya karyawan tetap dan Perjanjian Kerja Waktu Tetap (PKWT). Sedangkan pekerja yang masih dalam masa percobaan (probation) belum ada ketentuan hukum yang mewajibkan perusahaan untuk memberikan kompensasi pemutusan kerja, seperti pesangon atau sejenisnya.
Meskipun karyawan tetap dan pekerja kontrak (PKWT) sama-sama mempunyai hak ketika di-PHK, namun porsi masing-masing berbeda.
Untuk pekerja dengan status PKWT, jika PHK dilakukan sebelum kontrak berakhir maka perusahaan wajib memberikan ganti rugi sebesar upah yang belum dibayarkan sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Selain itu, perusahaan juga wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja PKWT yang perhitungannya berdasarkan jangka waktu kontrak kerja.
Sebagai ilustrasi, startup melakukan PHK terhadap pekerja PKWT di bulan kedua dari jangka waktu kontrak 6 bulan. Sesuai ketentuan, perusahaan wajib membayarkan uang pengganti upah kerja 4 bulan yang belum terealisasi plus kompensasi yang disesuaikan dengan masa kerja.
Namun, ada kondisi-kondisi tertentu yang bisa menjadi dasar perusahaan untuk tidak wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja PKWT. Berikut adalah kondisi-kondisi tertentu yang menjadi dasar pengecualian pemberian kompensasi kepada pekerja kontrak:
-
pekerja meninggal dunia;
-
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
-
selesainya suatu pekerjaan tertentu;
-
adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
-
adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Pesangon dan Uang Perhargaan
Sementara itu, bagi karyawan tetap yang terkena PHK maka berhak atas uang pesangon dan dan uang penghargaan masa kerja (UPMK).
Uang pesangon merupakan kewajiban yang harus dibayarkan perusahaan ketika memberhentikan karyawan, termasuk PHK. Sesuai namanya, UPMK merupakan uang penghargaan masa kerja yang dibayarkan perusahaan kepada karyawan yang sudah bekerja paling sedikit selama tiga tahun.
Adapun besaran pesangon sangat bergantung pada masa kerja yang telah dilalui karyawan tetap. Dalam UU Cipta Kerja terdapat perubahan perhitungan uang pesangon menjadi sebagai berikut:
Masa Kerja |
Uang Pesangon |
---|---|
< 1 tahun |
1 bulan upah |
1 tahun/lebih < 2 tahun |
2 bulan upah |
2 tahun/lebih < 3 tahun |
3 bulan upah |
3 tahun/lebih < 4 tahun |
4 bulan upah |
4 tahun/lebih < 5 tahun |
5 bulan upah |
5 tahun/lebih < 6 tahun |
6 bulan upah |
6 tahun/lebih < 7 tahun |
7 bulan upah |
7 tahun/lebih < 8 tahun |
8 bulan upah |
8 tahun/lebih |
9 bulan upah |
Namun, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 menetapkan perbedaan penghitungan atas hak-hak karyawan yang di-PHK karena terkait efisiensi perusahaan dalam rangka mencegah terjadinya kerugian atau karena mengalami kerugian. Dalam hal ini, PHK karena factor efisiensi tidak diikuti dengan penutupan perusahaan. Atas kondisi tersebut, pemerintah mengatur hak-hak karyawan sebagai berikut:
-
uang pesangon sebesar upah 1 bulan (Pasal 40 ayat (2));
-
uang penghargaan masa kerja sebesar sebesar upah 1 bulan (Pasal 40 ayat (3)); dan
-
uang penggantian hak sesuai ketentuan (Pasal 40 ayat (4)).
Uang Pisah dan Penggantian Hak
Undang-Undang Ketenagakerjaan juga mengatur mengenai Uang Penggantian Hak (UPH) dan uang pisah.
UPH merupakan uang yang diterima karyawan tetap atas hak-hak yang belum diambil selama masa kerja. Hak-hak yang dapat diuangkan antara lain cuti tahunan yang belum diambil atau belum gugur, ongkos pulang terkait penugasan luar kota, biaya perumahan atau pengobatan, serta hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja. Dalam hal ini, karyawan yang kena PHK juga bisa mendapatkan UPH.
Sedangkan uang pisah diberikan perusahaan sebagai penghargaan atas pengabdian dan loyalitas karyawan berprestasi selama masa kerja tertentu. Pemberian uang pisah biasanya tidak terkait dengan PHK, melainkan murni karena berakhirnya hubungan kerja seperti karyawan mengundurkan diri (resign) atau pensiun. Hal ini sangat tergantung pada kebijaksanaan perusahaan atau perjanjian kontrak kerja. Dengan demikian, tidak semua karyawan berhak atas uang pisah dan tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan uang pisah.
Kesimpulannya, setiap perusahaan—tak terkecuali startup—dimungkinkan memberhentikan karyawan atau memutus hubungan kerja karena alasan-alasan tertentu. Dengan catatan, hak-hak karyawan dipenuhi sesuai dengan sesuai dengan ketentuan ketenagakerjaan yang berlaku dan perjanjian kerja yang disepakati kedua belah pihak.
Setelah hak-hak terpenuhi, karyawan yang di-PHK jangan lupa meminta bukti potong pajak dari perusahaan. Bagaimanapun ada kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh pekerja maupun perusahaan, yakni membayar pajak penghasilan dan melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
*Penulis Bayu Aditya, Associate MUC Attorney at Law
*Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan kmencerminkan sikap institusi di mana penulis bekerja.
**Artikel telah terbit di Kumparan, 25 Agustus 2022