Masih dalam suasana lebaran, dan budaya saling memaafkan tampaknya masih begitu kental di Indonesia. Seperti rencana penerapan kembali amnesti pajak, yang mengemuka dan seolah ingin mencitrakan pemerintah—dan DPR tentu saja—sebagai institusi negara yang pemaaf dan pemberi ampun. Ironisnya, pengampunan lagi-lagi akan diberikan kepada orang-orang berduit yang menyembunyikan hartanya dengan motif menghindari pajak. Esensi maaf atau obral ampunan yang sepertinya kebablasan karena seperti mengkhianati pembayar pajak yang patuh.
Hal ini terkait dengan rencana amandemen Undang-Undang (UU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) melalui—lagi-lagi—skema omnibus law. Rancangan UU ”Sapu Jagad ” ini diberitakan media tidak hanya memaksakan masuk pasal-pasal tax amnesty tetapi juga merevisi sejumlah klausul dalam UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN & PPnBM), dan UU Cukai.
Poin-poin usulan tax amnesty jilid II di era Pemerintahan Joko Widodo ini kabarnya tidak jauh beda dengan Program Pengampunan Pajak sebelumnya, yang berlangsung pada 1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017. Hanya saja, usulan tarif uang tebusannya dikabarkan lebih tinggi dari sebelumnya. Namun, jika sudah bertemu DPR, bukan tidak mungkin didiskon seperti sebelumnya.
Kondisi ini mirip seperti ungkapan satir Will Rogers, aktor cum humoris Amerika Serikat: ”satu-satunya perbedaan antara kematian dan pajak adalah kematian tidak bertambah buruk setiap kali Kongres bertemu”. Rogers sejatinya sedang menyindir sebaliknya, jika kongres dan pemerintah duduk bersama membahas kebijakan pajak.
Pemerintah ibarat sedang menjilat ludah sendiri dengan menginisiasi tax amnesty jilid II. Rakyat Indonesia—yang mayoritas aset dan kasnya terbatas untuk membayar uang tebusan—tentu masih ingat pernyataan tegas sejumlah pejabat tinggi negeri ini, bahwa tidak akan ada lagi pengampunan bagi pengemplang pajak setelah berakhirnya program tax amnesty pada 31 Maret 2017. Kalimat ancaman yang kemudian dikemas manis oleh para artis dan analis yang di-endorse sebagai duta tax amnesty.
Kita semua tahu, pemerintah butuh uang untuk mendanai pembangunan dan menggaji abdi negara. Pajak merupakan sumber peneriman negara yang paling dominan sejak dahulu dan sampai detik ini. Terlebih dalam kondisi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Masa-masa genting yang menuntut pemerintah bertindak cermat dalam mengelola cashflow negara. Alih-alih mencapai target penerimaan pajak, yang terjadi justru sebaliknya: berhutang menjadi pilihan realistis di kala krisis, meskipun tidak populis.
Sepertinya tidak ada kebijakan yang bisa menguntungkan dan menyenangkan semua pihak. Persoalannya lebih pada keberpihakan dan konsitensi kebijakan pemerintah. Dalam konteks tax amnesty, kedua isu tersebut—keberpihakan dan konsistensi—jelas menjadi persoalan publik. Publik yang dimaksud adalah 270 juta warga negara Indonesia, yang mayoritas patuh membayar meskipun tanpa sadar dan mungkin awam terhadap ketentuan perpajakan. Mungkin tidak termasuk 1% orang kaya yang menguasai hampir separuh kekayaan negara (Global Wealth Report 2018), yang mampu dan tentunya punya kepentingan membayar uang tebusan amnesti pajak.
Pertanyaannya kemudian, amnesti pajak untuk kepentingan apa atau siapa? Tidak semua rakyat Indonesia punya kemampuan bayar uang tebusan dan butuh ampunan. Apakah mereka yang masuk daftar kajian Global Wealth Report 2018?
Atau, apakah tax amnesty murni untuk meningkatkan penerimaan negara, memperbaiki sistem administrasi, serta memperluas basis pajak? Kalau iya, seharusnya itu semua terjawab ketika pemerintah menerapkan sunset policy tahun 2018 dan tax amnesty 2016-2017. Apakah setelah itu tax ratio Indonesia membaik atau target penerimaan tercapai setiap tahunnya? Tidak!
Dari pengalaman tersebut, seharusnya pemerintah sudah bisa mengambil kesimpulan yang lebih bijak terkait tax amnesty atau program apapun yang serupa. Mengampuni dosa pajak di masa lalu, dengan membayar upeti ke negara, bukan solusi terbaik untuk menjawab masalah klasik perpajakan Indonesia.
Jangan lupa, mulai tahun 2018 Indonesia termasuk 108 negara dan 78 yurisdiksi yang terlibat dalam pertukaran informasi perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI). Kalau mau, pemerintah seharusnya bisa mengoptimalkan kerjasama internasional ini untuk mengungkap harta tersembunyi orang-orang kaya Indonesia dan tentu saja ditindaklanjuti dengan memajaki—bukan mengampuni.
Sebab, dari program yang diinisiasi OECD itu, terungkap 1,6 juta informasi aset WNI senilai 246,7 miliar Euro atau sekitar Rp4.329 triliun. Jauh lebih besar dari nilai harta yang dideklarasikan dalam program tax amnesty sebelumnya, yang mencapai Rp 1.000 triliun. Kalau semua itu dipajaki, penulis yakin akan lebih besar dari realisasi uang penebus dosa dalam amnesti pajak 2016-2017 yang sebesar Rp114,54 triliun.
Selain dari negara dan yurisdiksi negara mitra, otoritas pajak juga sudah bisa mengakses informasi dari lembaga keuangan sebenarnya. Data lainnya juga bisa diperoleh DJP dari instansi yang telah menjalin kerjasama pertukaran informasi, seperti pemerintah daerah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Semua itu harusnya membuat pemerintah semakin optimis bisa meminimalisir upaya penggelapan atau penghindaran pajak, tanpa perlu mengampuni pengemplang pajak. Kecuali, memang bukan itu tujuan sebenarnya.
Karena selalu, ketika menginisiasi tax amnesty, gembar-gembor yang digaungkan pemerintah dan para pendengungnya adalah pengampunan pajak bakal memberikan tambahan penerimaan yang besar dan menjadi momentum perbaikan sistem perpajakan. Dalihnya, dengan dibukanya pintu maaf dan ampunan akan menambah basis pajak baru, meningkatkan kepatuhan pembayar pajak, yang kemudian akan tercermin dalam pertumbuhan pajak yang berkelanjutan. Lebaran saja yang setahun sekali tidak menjamin setiap orang untuk tidak mengulangi kesalahannya. Apalagi tax amnesty.
Kehadiran tax amnesty yang berjilid-jilid hanya akan menjadi moral hazard dan menurunkan kredibilitas pemerintah di mata masyarakat. Dampaknya, justru menurunkan tingkat kepatuhan pembayar pajak. Karena ada anggapan yang bersalah pasti akan diampuni.
Seperti analogi yang disampaikan George Guttmann (1992), tax amnesty ibarat api yang dipakai untuk mengendalikan pertumbuhan hutan. Cukup berbahaya, namun jika dipakai dalam dosis tepat, bisa memperbaiki sistem perpajakan. Kata ”bahaya” dan dosis” harus digarisbawahi dari pernyataan analis United State Internal Revenue Services ini.
Disebut bahaya karena karena menurut Guttmann, amnesti pajak justru bisa membuat kesal pembayar pajak yang patuh. Alih-alih meningkatkan kepatuhan para pengemplang pajak, obral pengampunan secara berlebihan justru dapat membuat pembayar pajak yang selama ini patuh bertindak sebaliknya.
Kembali ke analogi api, kalau digunakan berlebihan justru bukan memadamkan kebakaran tapi dapat menghanguskan semuanya. Atau jika kita mengibaratkan antibiotik, tax amnesty yang dilakukan berkali-kali tidak akan menyembuhkan penyakit yang sama. Justru dapat membuat bakteri yang menjadi sumber penyakit menjadi kebal. Intinya, hati-hati dengan tax amnesty. Jangan sampai #BoikotPajak viral dan bergema lagi. Itu bahaya yang sesungguhnya.
**) Versi singkat tulisan ini telah terbit di CNBCIndonesia.com, 2 Juni 2021