Waspada Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Transfer Pricing
M. Nur Kusumo Ferby Prihartoro,
,
Thursday, 14 May 2020
Wabah Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) menyebar cepat ke seluruh dunia sejak pertama kali ditemukan di Wuhan, Cina pada penghujung tahun lalu. Pandemi virus mematikan ini tidak hanya mengancam kesehatan dan mengisolasi sebagian besar penduduk dunia, tetapi juga memaksa terhentinya aktivitas ekonomi hampir di semua negara. Bencana non-alam ini juga menggagalkan pemulihan ekonomi global dari efek perang dagang, yang dampaknya semakin diperparah oleh kejatuhan harga minyak akibat konflik produsen emas hitam.
Meski tidak kasat mata, musuh dunia ini telah menciptakan krisis multidimensi serta dampaknya nyata terhadap aktivitas perdagangan dan manufaktur yang menurun tajam, serta jutaan pekerja yang terpaksa dirumahkan. Alhasil pengangguran melonjak di berbagai kawasan dan ancaman resesi ekonomi terburuk sejak Great Depression 1930 kini di pelupuk mata. International Monetary Fund (IMF) memperkirakan perekonomian global akan mengalami kontraksi sekitar 3% pada tahun ini.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pun sudah memperingatkan bahwa COVID-19 merupakan bahaya terbesar bagi ekonomi dunia sejak krisis keuangan 2008. Dalam skala bisnis, krisis multidimensi ini diprediksi berdampak negatif terhadap pendapatan operasional perusahaan multinasional, yang kemudian juga berpengaruh terhadap analisis penetapan harga transfer (transfer pricing) transaksi afiliasi.
Dalam praktiknya di Indonesia, sesuai amanat Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), Otoritas Pajak berwenang untuk melakukan koreksi transfer pricing terhadap transaksi afiliasi Wajib Pajak, terutama atas transaksi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle). Koreksi dilakukan dengan mempertimbangkan harga atau laba yang diperoleh oleh pihak-pihak independen. Secara teknis, koreksi akan menggunakan angka median rentang interkuartil pembanding independen. Lalu, apa korelasinya dengan kondisi krisis ekonomi global akibat pandemi COVID-19?
Pada tahun 2015, OECD melalui Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action 13 mendorong Wajib Pajak untuk menyusun dokumentasi transfer pricing menggunakan pendekatan ex-ante, di mana analisis dilakukan sebelum atau pada saat transaksi afiliasi dilakukan (contemporaneous transfer pricing documentation). Indonesia merupakan salah satu negara yang mengadopsi saran tersebut dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016. Bagi Wajib Pajak yang melakukan analisis transfer pricing dengan menggunakan metode perbandingan harga atau Comparable Uncontrolled Price (CUP) harus mencermati pergerakan harga pasar komoditas, terlebih di tengah pandemi COVID-19. Sebagai contoh, harga minyak mentah dunia mengalami penurunan sangat drastis, bahkan sempat minus. Dalam kasus tersebut, Wajib Pajak perlu menyajikan analisis yang akurat berdasarkan lima faktor kesebandingan agar analisis transfer pricing dapat menghasilkan kesimpulan yang tepat.
Penerapan analisis Transactional Net Margin Method (TNMM) menjadi lebih menantang dalam menjustifikasi penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi afiliasi yang dilakukan Wajib Pajak selama tahun pajak yang terpengaruh pandemi COVID-19. Analisis TNMM membandingkan tingkat laba operasi pihak yang diuji (tested party) dengan perusahaan pembanding yang sejenis, yang umumnya diperoleh dari database komersial. Pendekatan ex-ante dalam analisis TNMM meninjau bagaimana Wajib Pajak memproyeksikan laba operasinya di awal tahun dan mengidentifikasi faktor apa saja yang bisa menyebabkan perbedaan perolehan laba operasi aktual di tahun tersebut.
Secara teknis, analisis benchmarking dalam penerapan TNMM dilakukan sebelum tahun pajak dimulai atau pada awal tahun pajak. Pada periode tersebut, tidak semua perusahaan di dalam database telah diperbarui informasi keuangannya dengan laporan keuangan atas tahun pajak yang baru saja berakhir. Dalam praktiknya, alternatif analisis dilakukan dengan menggunakan informasi keuangan perusahaan pembanding dua tahun sebelum analisis dilakukan. Sebagai contoh, Singapura memberikan panduan yang jelas bagi Wajib Pajak yang ingin melakukan analisis benchmarking terhadap laba operasi tahun pajak 2020. Berdasarkan panduan tersebut, Wajib Pajak ketika menentukan harga atau laba dalam menyusun laporan keuangan terkini menggunakan data pembanding tahun 2018. Dengan demikian, memungkinkan adanya perbedaan kondisi ekonomi global di tahun 2018 dengan tahun 2020 yang mungkin berdampak terhadap profitabilitas perusahaan pembanding dan Wajib Pajak itu sendiri.
Apabila dicermati, wabah COVID-19 sudah sangat mengganggu rantai pasokan global. Kondisi ini berdampak serius terhadap penurunan operasional bisnis secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan tercermin dari penurunan pendapatan dan profitabilitas perusahaan secara signifikan. Dalam situasi ini, berkaitan dengan penetapan harga transfer, perusahaan yang merugi sangat berpotensi terekspos. Oleh karena itu, perusahaan dengan keuntungan rendah atau bahkan merugi, perlu melakukan analisis transfer pricing secara komprehensif menggunakan indikator ekonomi yang tepat agar dapat menyajikan hipotetikal laba operasi jika tidak ada wabah COVID-19.
Tantangan analisis transfer pricing berikutnya adalah setelah pandemi berakhir, terutama bagi Wajib Pajak yang menerapkan TNMM. Kemungkinan besar akan muncul kendala dalam mencari data pembanding yang valid untuk bisa melakukan analisis transfer pricing secara tepat, mengingat dampak krisis ekonomi yang dihadapi oleh perusahaan, industri, atau pelaku pasar akibat COVID-19 berbeda-beda. Atas perbedaan signifikan tersebut, perusahaan dapat melakukan penyesuaian analisis transfer pricing sepanjang dapat diandalkan dan meningkatkan kesebandingan antara pihak yang diuji (tested party) dengan perusahaan pembanding.
Secara praktis, terdapat beberapa pendekatan penyesuaian analisis transfer pricing yang potensial dan andal, tergantung kondisi yang dialami Wajib Pajak. Misalnya, dengan memperhitungkan perbedaan dalam kapasitas menganggur atau pengeluaran yang luar biasa. Selain itu, fluktuasi nilai tukar atau risiko kurs juga dapat dijadikan sebagai faktor analisis. Namun, penting untuk memastikan bahwa penyesuaian analisis transfer pricing dilakukan secara transparan dengan menyiapkan rincian informasi mengenai proses, hasil, dan bagaimana penyesuaian analisis transfer pricing tersebut dapat meningkatkan kesebandingan antara pihak yang diuji (tested party) dan pembanding. Wajib Pajak juga bertanggung jawab untuk menyiapkan dokumen-dokumen pendukung untuk menunjang penyesuaian analisis transfer pricing tersebut.
Dengan mempertimbangkan dinamika krisis yang terjadi, pada akhirnya Wajib Pajak sangat perlu menyiapkan contemporaneous transfer pricing documentation agar analisis penetapan harga transfer lebih komprehensif, akurat, dan tidak memicu koreksi yang dapat berujung pada sengketa transfer pricing di kemudian hari.
*) Tulisan ini telah terbit di JawaPos.com, 13 Mei 2020
**) Referensi:
- Szu Ping Chan, "Coronavirus: World faces worst recession since Great Depression", BBC, 14 April 2020.
- Article 18 paragraph (3) of the Indonesian Income Tax Law No. 36 Year 2008.
- Director General of Taxes Regulation No. 22 Year 2013.
- Guideline on applying the TNMM benchmarking analysis in more detail is explained in paragraph 6.8 IRAS E-Tax Guide: Transfer Pricing Guidelines (Fifth Edition), February 23, 2018.
- OECD, Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations, Paris: OECD Publishing, 2017
***
Untuk diskusi mendalam mengenai bagaimana cara mengatasi isu transfer pricing perusahaan Anda setelah pandemi COVID-19, silakan menghubungi kami.
M. Nur Kusumo Ferby Prihartoro Assistant Manager, Transfer Pricing ferby@mucglobal.com +62 857 1575 1775 | Supervisor, Transfer Pricing mayang@mucglobal.com +62 821 1066 2323 |
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.