News
Beleid e-Commerce, Pemain Non-Marketplace Tak Masuk

Thursday, 01 February 2018

Beleid e-Commerce, Pemain Non-Marketplace Tak Masuk

Rencana implementasi beleid perlakuan fiskal terhadap e-commerce berpotensi memantik kecemburuan. Pasalnya, dalam rancangan peraturan menteri keuangan (RPMK) yang tengah dibahas pemerintah, skema pajak yang disiapkan hanya untuk e-commerce yang melalui marketplace.

Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Direktorat Jenderal Pajak, menjelaskan bahwa keputusan itu diambil karena dalam skema ketentuan pajak yang sedang disusun, tidak semua channel bisa dijangkau lantaran karakteristik transaksi dan proses bisnis yang berbeda dari masing-masing channel.

 

 

“Kami lebih tekankan kepada e-commerce yang melalui marketplace, karena itu yang paling applicable untuk saat ini,” kata Yoga kepada Bisnis, Rabu (31/1). Mengutip kajian Kementerian Keuangan berdasarkan data dari lembaga survei internasional e-marketer pada awal 2017, penetrasi pengguna Internet di Indonesia mencapai 132,7 juta dengan 106 juta di antaranya adalah pengguna media sosial.

Sementara itu, dengan total populasi pengguna gawai sebesar 371,4 juta, 9% atau sebanyak 24,7 juta di antaranya telah melakukan pembelian secara e-commerce. Lembaga survei itu juga memproyeksikan pada 2018, nilai perdagangan e-commerce Indonesia berada peringkat 6 di kawasan Asia Pasifi k dengan pertumbuhan sebesar US$10,92 miliar atau setara dengan Rp147,4 triliun.

Data lembaga survei internasional tersebut diperkuat dengan analisis Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. Badan think tank Kemenkeu itu menyebutkan bahwa penjualan online mengambil porsi penjualan retail sebesar 3,5% pada 2017 dan akan mencapai 4,8% pada 2019.

Pada 2016 pertumbuhan keseluruhan penjualan retail sebesar 55,2%. Dengan pertumbuhan tersebut, pasar e-commerce rata-rata menggerus 0,65% pasar retail. Adapun penetapan marketplace sebagai penyetor, lanjut Yoga, dimaksudkan supaya gampang mendeteksi proses bisnis yang terjadi di dalamnya. Dengan kemampuan tersebut praktis skema pemajakannya juga akan lebih optimal.

Mekanismenya mereka akan bertindak sebagai penyetor pajak dari para pedagang. Tarif yang dikenakan juga sangat rendah. Bagi UMKM misalnya, disiapkan tarif pajak PPh fi nal yang semula 1% menjadi 0,5%, meskipun aturannya sedang dalam proses revisi. “Para pelaku atau pedagang dikenakan dengan tarif yang sangat rendah, dan itu merupakan pembayaran dimuka bagi para pedagang. Itu yang memang tidak bisa kita terapkan untuk medsos,” imbuhnya. Meski tak masuk skema, bukan berarti para pedagang selain marketplace bebas dari kewajiban pajak. Menurutnya, mereka tetap harus melaksanakan kewajiban pajak secara self assessment, yaitu melaporkan penghasilannya dalam SPT Tahunan.

Selain itu, Ditjen Pajak juga tetap konsisten dalam melakukan pengawasan terhadap pelaku usaha lewat medsos. “Ke depan kita tetap akan mencari mekanisme pemajakan untuk pelaku usaha melalui medsos [atau yang lain] ini dengan lebih efektif dan efi sien,” jelasnya. Ditjen Pajak mengakui keputusan tersebut bisa memicu migrasi para pedagang dari marketplace ke luar tempat tersebut.

Namun otoritas pajak tetap berharap hal itu tak terjadi, terlebih marketplace memiliki mekanisme transaksi yang lebih aman dan nyaman bagi konsumen, dibandingkan dengan yang lain.

Bisnis Indonesia

Related Articles

News

These Are the Taxes Singapore Could Hike in Next Month's Budget

News

Hindari IJON, DJP Fokus Dinamisasi Setoran Pajak

News

DJP Tunda Kewajiban Pelaporan Informasi Otomatis Nasabah Domestik


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.