Wajib Pajak Vs Fiskus di Tengah Gejolak Kurs Rupiah
Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat semakin melemah dari hari ke hari. Faktor eksternal dan domestik jadi pemberat kepak mata uang Garuda setidaknya dalam setahun terakhir. Bahkan nilainya menembus level Rp15.200/US$, level terendah sejak krisis keuangan 1998.
Banyak pihak menilai krisis keuangan di Turki dan Argentina, serta perang dagang yang dipicu Amerika sebagai biang kerok utama. Selain juga masalah fundamental ekonomi Indonesia yang keropos akibat kecanduan impor sejak lama. Defisit neraca transaksi berjalan yang semakin melebar menjadi buktinya. Walaupun kita juga tidak bisa tutup mata atas aksi spekulasi para pemburu rente di pasar valas yang hanya menambah keruh suasana.
Terlepas apapun penyebabnya, depresiasi Rupiah yang telah melampaui 12% sepanjang tahun 2018-disertai dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi-dampaknya tidak bisa dianggap remeh. Terutama bagi dunia usaha yang bahan bakunya banyak impor, sudah pasti bakal terbebani oleh kenaikan biaya produksi. Alhasil pelaku usaha dihadapkan pada pilihan sulit: menaikan harga produk, melakukan efisiensi, atau mengkalkulasi ulang kapasitas produksi. Ujung-ujungnya, rugi kurs akan membuat laba perusahaan tergerus.
Implikasi pelemahan Rupiah biasanya tidak berhenti sampai di situ. Dari sisi perpajakan, rugi kurs berisiko mengurangi kemampuan membayar (ablity to pay) Wajib Pajak, yang pada akhirnya berpotensi memicu sengketa dengan fiskus.
Dalam konteks investasi riil, kegiatan importasi-terutama bahan baku-menjadi hal yang tidak bisa dihindari oleh pelaku usaha. Dalam posisi kurs yang tertekan, Harga Pokok Produksi (HPP) biasanya membengkak ditambah lagi akan ada beban tambahan berupa rugi selisih kurs. Dalam kondisi seperti ini, nilai setoran PPh Impor (PPh Pasal 22) yang harus dibayar oleh Wajib Pajak Importir pun ikut naik. Sehingga, pada gilirannya akan menyebabkan Wajib Pajak mengalami lebih bayar (overpayment) PPh.
Sayangnya, untuk dapat menarik kembali (refund) kelebihan bayar pajak tidak semudah seperti yang dibayangkan. Untuk itu, ada tahapan proses pemeriksaan dan pembuktian, salah satunya terkait selisih kurs yang sangat teknis. Kalau acuan perhitungan yang digunakan Wajib Pajak dan pemeriksa sama, tentu tidak jadi soal. Sebaliknya jika dasar pembuktian rugi kurs dan argumen masing-masing pihak berbeda, sering kali berujung pada sengketa.
Pada praktiknya terdapat dua jenis selisih kurs, yaitu selisih kurs yang terealisasi (realized) dan selisih kurs yang belum terealisasi (unrealized). Selisih kurs terealisasi dibukukan saat terjadi konversi, dengan menggunakan kurs transaksi dari mata uang asing ke Rupiah, atau dari mata uang asing ke mata uang asing lainnya. Selisih kurs belum terealisasi biasanya timbul pada saat penjabaran pos moneter-baik aset maupun kewajiban-dalam mata uang asing ke Rupiah pada tanggal pelaporan.
Risiko Dispute
Sengketa antara Wajib Pajak dengan fiskus sering kali terjadi saat pembuktian selisih kurs, baik yang bersifat realized maupun unrealized. Salah satu faktor yang dapat menimbulkan potensi dispute adalah rincian perhitungan rugi selisih kurs yang dibebankan oleh Wajib Pajak dalam Laporan Laba-Rugi atau SPT-nya.
Di satu sisi fiskus sering kali menghendaki adanya dokumen atau kertas kerja tersendiri yang memuat rincian perhitungan rugi selisih kurs, di sisi lain Wajib Pajak akan menemui kesulitan untuk menyediakannya data tersebut dalam waktu yang singkat. Hal ini disebabkan, lazimnya perhitungan rugi selisih kurs adalah built-in dengan jurnal transaksinya dan tidak dibuat rincian dalam dokumen atau kertas kerja tersendiri.
Selain itu, perbedaan metode penilaian aset dan kewajiban untuk tujuan akutansi dan perpajakan kerap kali juga menjadi pemicu, khususnya terkait instrumen-instrumen keuangan tertentu, seperti aset dan kewajiban derivarif. Akuntan biasanya menggunakan konsep nilai wajar (fair value)-sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang konvergen dengan International Financial Reporting Standar (IFRS)-dalam menghitung nilai dari aset atau kewajiban derivatif tersebut. Sementara, konsep fair value justru belum diatur secara jelas dalam ketentuan perpajakan. Sehingga, otoritas pajak cenderung tidak mengakui metode penilaian dengan fair value tersebut.
Artinya, dispute akan berpotensi terjadi sampai ada peraturan pajak khusus yang bisa menjadi penengah. Sampai saat ini-jika terdapat perbedaan perhitungan secara komersial dan fiskal-Wajib Pajak yang harus mengalah dengan melakukan rekonsiliasi fiskal.
Bicara soal fiskal, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 asumsi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS dipatok sebesar Rp13.400/US$. Dengan asumsi tersebut, target penerimaan perpajakan dipatok sebesar Rp1.618,1 triliun. Realisasinya, nilai tukar Rupiah hingga 15 oktober 2018 sudah terdepresiasi sebesar 12,58% (year to date), setelah menembus level psikologi baru Rp15.246/US$.
Sebelumnya, dalam Nota Keuangan & RAPBN 2018, pemerintah meyakini setiap pelemahan kurs sebesar Rp100/US$ akan menambah pundi-pundi penerimaan perpajakan sekitar Rp2 triliun. Dengan asumsi, indikator makro ekonomi yang lain tetap (ceteris paribus). Walaupun pada kenyataannya kondisi makroekonomi sangat dinamis.
Apabila melihat realisasi penerimaan perpajakan-sebesar Rp1.024,51 triliun (63,3%) per September 2018-menjadi kurang realistis target Rp1.618,1 triliun untuk bisa dicapai. Meskipun secara tahunan realisasinya sejauh ini sudah tumbuh 16,5%, tiga bulan tersisa bukan waktu yang cukup untuk menutup selisih kurangnya. Terlebih, banyak korporasi yang labanya tergerus oleh rugi kurs dan kenaikan suku bunga.
Bukan tidak mungkin, pelemahan Rupiah yang sebelumnya digadang-gadang bakal menambah setor pajak, yang terjadi justru sebaliknya-menggerus penerimaan pajak akibat maraknya tax refund. Harus diingat pula, sangat jarang pemerintah bisa mencapai target penerimaan perpajakan-terakhir pada tahun 2008 berkat kebijakan Sunset Policy.
Kepastian Hukum
"Pekerjaan Rumah" terberat bagi pemerintah-terutama Bank Indonesia-saat ini adalah bagaimana mengendalikan pergerakan Rupiah agar tidak semakin terjun bebas di hadapan Dollar AS dan mata uang asing lainnya. Perlu cara-cara inovatif dan kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang tepat-selain hanya mengandalkan kenaikan suku bunga dan operasi pasar.
Dari sisi perencanaan kebijakan fiskal, pemerintah harus lebih memperhatikan perkembangan kondisi makroekonomi-terutama dalam menetapkan target penerimaan perpajakan. Karena target-target yang tidak realistis akan berdampak pada kegagalan pemerintah dalam menjalankan fungsi budgeter.
Selain itu, pemerintah juga harus memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan fiskus. Selain dengan mengadopsi sistem akuntansi IFRS, pemerintah-dalam hal ini DJP-juga perlu segera mengeluarkan petunjuk teknis pemeriksaan pajak yang lebih mengutamakan pendekatan audit terhadap sistem dan bukan sekedar mengaudit output. Sehingga, untuk audit atas rugi selisih kurs tidak perlu Wajib Pajak diminta kertas kerja rincian perhitungan selisih kurs, melainkan cukup dengan menguji akurasi sistem digunakan Wajib Pajak. Terlebih lagi, terhadap Wajib Pajak yang telah menggunakan sistem yang computerized. Regulasi ini sangat penting untuk menghindari terjadinya konflik antara petugas dan Wajib Pajak.
Sementara itu, Wajib Pajak juga perlu menyiapkan skenario mitigasi guna meredam dampak negatif fluktuasi kurs. Caranya mungkin bisa dengan memindahkan risiko rugi kurs melalui transaksi lindung nilai (hedging) atau meminimalkan transaksi beda mata uang. Untuk itu bisa dengan mengupayakan penggunaan mata uang yang sama dalam hal transaksi belanja (impor) dan transaksi penjualan di dalam negeri.
Intinya, jika Wajib Pajak dan fiskus punya paradigma yang sama dalam menjalankan kewajibannya masing-masing, maka konflik atau sengketa yang selalu menguras energi bisa dihindari atau minimal dikurangi. Hal ini menjadi sangat penting di tengah situasi dan kondisi ekonomi yang serba tidak pasti.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.