Other

Tentang Jam Kerja Ideal

Natasha Citra Adelina, Senior Quality Assurance MUC Consulting |

Tentang Jam Kerja Ideal
Photo: Berkeley Communications/ Unsplash.com

Beberapa waktu lalu, seorang penasihat keuangan mengunggah cuitan di twitter, terkait keraguannya tentang resep orang sukses yang hanya perlu bekerja 8-9 jam saja per harinya. Cuitan tersebut menanggapi ajakan untuk berhenti menormalisasi atau bahkan mengglorifikasi kerja berlebih atau di atas 12 jam per harinya.

Meski sepakat dengan pentingnya menjaga kesehatan, tapi si financial planner mengaku tidak habis pikir dengan orang-orang yang masih percaya dengan jargon work-life balance. Sebab, sebagai seorang istri sekaligus ibu, dirinya harus berjibaku dengan seabrek pekerjaan Kantor maupun rumah tangga. Sehingga rasanya mustahil untuk bekerja "hanya" 8-9 jam per hari. “I show commitment. I give 100% (…) I don’t get here working 8-9 hours a day to be honest,” cuitnya.

Seperti halnya unggahan-unggahan "kritis” pada umumnya, cuitan si ibu ini langsung memicu kehebohan di jagat maya. Ragam argumen baik yang pro maupun kontra pun bermunculan. Cukup menarik memperhatikan bagaimana orang-orang saling beradu pendapat, tentang panjangnya jam kerja yang ternyata hasilnya juga tidak seberapa.

Lalu, ada juga beberapa orang berbagi cerita tentang bos-bos mereka yang bisa produktif, meski jam kerjanya singkat. Para bos ini mampu memberikan batasan yang tegas, kapan harus bekerja, kapan beristirahat namun dengan hasil kerja yang "seberapa" alias banyak.

Curhatan-curhatan tersebut pun tak urung memantik pertanyaan di benak saya: berapa tepatnya jam kerja ideal itu?

Jika dilihat lagi ke belakang, 8 jam kerja yang biasa kita kenal, ternyata sudah ada sejak zaman revolusi industri. Kemunculannya ditandai dengan pencetusan slogan “eight hours work, eight hours recreation, eight hours rest” yang diprakarsai Robert Owen tahun 1817. Slogan ini menandakan keseimbangan dalam keseharian pekerja untuk
meminimalisir kesalahan yang dilakukan akibat kelelahan. Saat itu, pekerja diminta untuk berada di pabrik selama 12-16 jam setiap harinya.

Rumus yang sangat sederhana ini ternyata masuk akal bagi banyak orang. Akhirnya, rumus kerja delapan jam ini menjadi standar yang diadopsi secara luas hingga dua abad setelahnya. Kemudian, berbagai variasi pun mengikuti. Misalnya, dari enam hari kerja yang berubah menjadi lima hari kerja seperti yang dicetuskan Henry Ford, pebisnis otomotif terkemuka Amerika Serikat. Kini, 40 jam kerja per minggu dianggap sebagai sebuah norma. Undang-Undang (UU) Cipta Kerja juga mengamini hal ini, dengan mengatur tujuh jam kerja untuk enam hari kerja dan delapan jam kerja untuk lima hari kerja.

Pembagian waktu bekerja ini memang terdengar ideal. Namun, ilmu biologi tampaknya tidak sepakat. Alasannya berkaitan dengan ritme sirkadian (circadian rhythm), yakni siklus fisik dan psikis dalam 24 jam yang “mengatur” kegiatan kita sehari-hari layaknya sebuah jadwal. Ritme ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari eksposur terhadap cahaya matahari, kebiasaan makan, hingga genetika. Sehingga, setiap orang memiliki ritme uniknya masing-masing.

Meski unik, dapat ditarik standar rerata akan ritme sirkadian itu. Standar tersebut menunjukkan bahwa setidaknya seseorang dapat bekerja secara optimal hanya sampai enam jam saja per hari. Angka itupun tidak diperoleh dari jam kerja berturut-turut, melainkan berdasarkan “jadwal” kesiapsiagaan (alertness) optimal, yang terbagi menjadi jam empat jam di pagi hari dan dua jam di sore hari.

Menurut penelitian, kesiapsiagaan dan energi seseorang akan mencapai puncaknya pada sekitar jam 10 pagi. Di waktu tersebut, secara biologis dan psikologis, seseorang akan sangat optimal dalam melaksanakan tugas. Namun setelah pukul dua siang, akan ada penurunan yang signifikan. Sebagian besar dari kita kerap menyalahkan rasa kenyang pasca makan siang sebagai penyebab penurunan itu. Padahal, penelitian membuktikan ritme sirkadian memang mengatur demikian.

Untuk itu, tidur siang atau rehat sejenak sangat direkomendasikan saat penurunan kesiapsiagaan itu terjadi. Sebab, istirahat dipercaya dapat mengisi kembali energi dan mengoptimalkan kinerja dari pukul empat hingga enam sore. Beberapa orang bahkan akan mencapai puncak kreativitas di atas pukul sepuluh malam. Namun, tetap tidak dapat seoptimal ketika di siang hari, sebab perlu diingat, eksposur terhadap cahaya matahari memengaruhi ritme ini.

Seiring berjalannya waktu, banyak yang berpendapat bahwa semakin tinggi jam kerja seseorang, maka semakin tinggi pula penghasilan orang tersebut. Hal ini berkaitan dengan anggapan, dengan jam kerja yang panjang, akan lebih banyak pekerjaan yang terselesaikan. Namun, dikutip dari sebuah artikel di CNBC, sebuah studi dari Stanford pada tahun 2014, menyatakan hal berbeda.

Studi yang dilakukan oleh John Pencavel itu menghasilkan pernyataan bahwa produktivitas optimal seseorang sesungguhnya hanyalah 50 jam per minggu (9-10 jam per hari). Melewati angka tersebut, produktivitas akan menurun drastis. Di atas angka 55 jam, produktivitas akan begitu rendahnya hingga bekerja lebih dari itu tidak akan menghasilkan hal yang berarti. Bahkan studi itu menyebut, bekerja 70 jam atau 55 jam tetap akan menghasilkan pekerjaan yang sama banyaknya.

Berbagai negara pun sepakat dengan hal ini. Negara dengan produktivitas tertinggi di dunia pada tahun 2020, Luksemburg, hanya menggunakan 1427 jam kerja per orang per tahunnya, dengan asumsi tiap orang bekerja 40 jam/minggu, dan jumlah jam kerja per orang per tahun adalah 2080. Jepang, negara yang sering dikaitkan dengan jam kerja yang tinggi, juga mulai melakukan reformasi. Sebelumnya, negara ini dikenal akan glorifikasi kerja berlebih. Bahkan Jepang punya istilah sendiri bagi pekerja yang meninggal karena kelelahan bekerja, yakni karoshi. Demi mengubah budaya ini, UU yang mengatur kultur kerja yang lebih humanis pun disahkan pada 2018 lalu. Aturan tersebut diharapkan dapat mengikis keengganan mengambil cuti dan kecenderungan lembur hingga ratusan jam per bulan yang kerap dilakukan para pekerja Jepang.

Di Indonesia, tingkat produktivitas kerjanya pun masih menjadi sorotan. Pasalnya, Indonesia hanya menempati posisi ke-5 dari 10 negara di ASEAN terkait tingkat produktivitas. Cukup rendah. Untuk itu, berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia masih harus dipacu. Sehingga nantinya mampu berkompetisi di ranah global.

Mari kembali ke pertanyaan awal tentang jam kerja yang ideal. Apakah delapan sebagaimana yang sudah dipraktikkan selama dua abad terakhir? Atau enam sesuai dengan penelitian para ahli? Atau justru lebih dari itu agar bisa jadi panutan atau role model?

Sebagai pekerja di Indonesia, kita harus legowo bahwa jam kerja yang baku sesuai aturan, adalah 7-8 jam per hari. Namun, akibat pandemi, durasi jam kerja pun makin kabur. Sebab, hampir semua perusahaan sekarang memberlakukan kebijakan kerja dari rumah atau Work From Home (WFH). Sisi positifnya, waktu kerja menjadi lebih fleksibel, sehingga setidaknya kita bisa lebih memperhatikan ritme sirkadian diri sendiri dan menerapkannya untuk mendapatkan jam kerja yang optimal.

Tapi, kita juga tidak boleh lupa soal tingkat produktivitas kerja di Indonesia yang masih rendah. Itu menjadi PR bersama. Sehingga ini saatnya memanfaatkan fleksibilitas jam kerja dengan meningkatkan produktivitas. Setidaknya sampai kita mampu bersaing dengan negara-negara lain. (KEN)


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP

Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.
dari server baru