Tantangan Pajak di Era Revolusi Industri 4.0
Dunia menghadapi tatanan baru peradaban seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Kemunculan superkomputer, robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi, dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) menandai hadirnya era digital baru, yang dikenal dengan istilah revolusi industri 4.0.
Revolusi digital ini tak hanya mengubah pola perilaku manusia, tetapi secara signifikan juga mengubah cara dan fundamental bisnis zaman now. Disrupsi yang terjadi tak hanya membuka peluang ekonomi yang semakin besar, tetapi juga berpotensi membawa ancaman jika tidak dikelola dengan benar.
Belajar dari tiga fase revolusi industri sebelumnya, di mana kemajuan teknologi terbukti berhasil meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan kelancaran rantai pasok, pun demikian dengan revolusi industri 4.0.
Hanya saja yang perlu juga dicermati adalah implikasi yang mungkin timbul dari pemanfaatan teknologi yang semakin dominan.
Perlahan tapi pasti, otomatisasi diramalkan akan menyingkirkan tenaga dan pikiran manusia, terutama untuk tipe pekerjaan klerikal atau yang dibutuhkan secara operasional, bersifat administratif harian, atau yang tidak membutuhkan proses pengambilan keputusan. Sedangkan, yang masih akan bertahan kemungkinan besar adalah jenis pekerjaan yang berkolaborasi dengan mesin, tetapi masih membutuhkan kemampuan kognitif dan interaksi sosial, seperti kedokteran.
World Economic Forum (WEF) pada tahun 2016 memperkirakan digitalisasi secara global akan menghilangkan sekitar 2 juta sampai dengan 2 miliar lapangan pekerjaan hingga tahun 2030.
Di sisi lain, digitalisasi membuka peluang bisnis dan memunculkan jenis pekerjaan baru, terutama yang terkait dengan pengelolaan mesin dan data, logistik, dan pekerja seni. WEF mengestimasi akan ada penciptaan 6 juta lapangan kerja baru di bidang logistik dan teknologi hingga tahun 2025.
Bagi dunia usaha, revolusi digital akan menerobos jalur pemasaran tradisional dengan memanfaatkan luas dunia yang semakin tak berbatas. Di satu sisi, ruang ekspansi dan efisiensi semakin terbuka lebar. Di sisi lain, globalisasi digital memberikan segudang akses informasi yang bisa saja membingungkan atau bahkan menyesatkan.
Karenanya, perencanaan adalah kunci. Dengan memahami pergeseran, peran, dan efek yang diciptakan oleh industri 4.0, pelaku usaha dapat merancang strategi bisnis yang sesuai dengan dinamika yang terjadi.
Pelaku usaha sangat mungkin dihadapkan pada tantangan untuk bagaimana mewujudkan potensi efisiensi dan keuntungan yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi, baik dalam memperluas akses pasar, membuat produk baru, atau menawarkan nilai tambah kepada konsumen. Dalam konteks ini tak melulu soal potensi biaya dan keuntungan, tetapi juga soal konsekuensi perpajakan yang bakal timbul dan harus diantisipasi.
Dalam era industri 4.0, kompetisi tidak lagi hanya menghadapkan Si Besar vs Si Kecil, melainkan waktunya pertarungan antara Si Cepat vs Si Lambat. Tak hanya soal bisnis, siapa pun yang merespons cepat perkembangan teknologi dapat dipastikan bakal meninggalkan jauh lawan-lawannya yang lambat beradaptasi.
Demikian halnya dengan pajak, ketika otoritas tak mampu mengikuti perkembangan tren digital, negara akan dirugikan oleh risiko kebocoran penerimaan yang semakin besar. Ini menjadi tantangan serius bagi regulator mengingat regulasi perpajakan yang berlaku saat ini, ketika disusun, belum mempertimbangkan efek revolusi digital. Alhasil, produk hukum perpajakan lawas akan dengan sangat mudah diakali Wajib Pajak yang menyalahgunakan teknologi dan regulasi.
Pentingnya pelibatan teknologi dalam reformasi pajak sebenarnya sudah disadari oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pengembangan teknologi informasi DJP sejatinya sudah dimulai awal 90-an ketika membangun sistem pengendalian pembayaran pajak baru atau new payment control system (NPCS). Pembaruan sistem kemudian dilakukan pada tahun 1994, di mana pengawasan diperluas hingga mencakup monitoring terhadap kepatuhan Wajib Pajak melaporkan SPT, dengan memperkenalkan Sistem Informasi Perpajakan (SIP).
Update teknologi terus dikembangkan melalui pengembangan berbagai program aplikasi perpajakan, seperti: aplikasi Monitoring Pelaporan dan Pembayaran Pajak (MP3), e-registration (e-reg), pelaporan SPT secara online (e-filing), Sistem Informasi Geografis (SIG), Sistem Informasi DJP (pengganti SIP). Terakhir, pada tahun 2016, DJP meluncurkan program pemetaan Wajib Pajak menggunakan teknologi informasi yang diberi nama Geo-Tagging.
Namun, pengembangan infrastruktur information & technology (IT) yang dilakukan oleh DJP selama ini kalah cepat dibandingkan dengan perkembangan teknologi digital dan hasilnya belum banyak terlihat, baik dari sisi penerimaan negara maupun perluasan basis pajak.
Adaptif
Otoritas pajak harus hati-hati dalam menganalisis model bisnis dan pola hidup manusia yang berubah, serta dampaknya terhadap perpajakan harus dikaji secara serius. Dalam berbagai hal, otoritas pajak harus selangkah lebih maju atau bahkan dua-tiga langkah di depan Wajib Pajak, Yakni dengan merancang sistem pajak yang lebih adaptif dan solutif (dapat memberikan berbagai solusi) dalam merespons dinamika perpajakan yang berkembang. Bukan hanya dengan melahirkan jenis-jenis pungutan pajak baru (e-commerce, dan lain-lain), tetapi otoritas pajak juga dituntut untuk mengubah paradigma pelayanan terhadap Wajib Pajak, dari yang sifatnya memaksa menjadi mengajak.
Harus diingat, perkembangan teknologi merupakan jawaban atas tuntutan publik yang mendambakan kehidupan yang mudah, murah, dan efisien. Dalam konteks perpajakan, revolusi industri 4.0 menjadi teguran keras bagi otoritas pajak untuk meninggalkan cara-cara konvensional menuju sistem operasional dan pelayanan yang terkoneksi dalam platform atau aplikasi digital, yang menimimalkan interaksi fisik antara fiskus dengan Wajib Pajak, tetapi memfasilitasi interaksi virtual yang lebih intens. Sistem perpajakan seharusnya tak hanya memudahkan Wajib Pajak, tetapi juga dapat memastikan Wajib Pajak menjalankan kewajibannya secara benar karena tidak ada ruang dan pilihan untuk mengelak dari ketentuan.
Namun, keberhasilan proses transformasi kebijakan di suatu negara bergantung pada penciptaan aturan-aturan dan norma-norma etika yang mampu meningkatkan kepercayaan publik. Dalam lingkup perpajakan, peralihan sistem dari konvensional menuju digital pun harus dibarengi dengan penyiapan regulasi yang bisa memenangkan dan menenangkan semua pihak.
Belajar dari kasus-kasus terbaru dimana ketiadaan regulasi yang bisa menjadi dasar pemajakan transaksi online menciptakan sengketa antara otoritas pajak di banyak negara dan perusahaan-perusahaan raksasa teknologi dunia seperti Google, Yahoo, dan Facebook. Tak terkecuali di Indonesia, tidak adanya payung hukum yang tegas untuk bisa memajaki perusahaan Over the Top (OTT) menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk merancang regulasi yang fleksibel menghadapi perkembangan zaman.
OECD (2017) dalam risetnya menekankan bahwa sistem perpajakan harus bertransformasi dan berubah secara berkesinambungan menyesuaikan dengan pesatnya kemajuan teknologi dan digitalisasi, serta perkembangan pola bisnis. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan efetivitas dan efisiensi pemajakan, atau menurunkan biaya dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi.
Sistem perpajakan di era digital yang ideal menurut OECD adalah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) terhubung secara global (globally connected); (2) mumpuni secara teknologi (technologically enabled); (3) kolaboratif dan terintegrasi (collaborative and integrated); (4) mengutamakan data dan wawasan (data and insight led); (5) manajemen kepatuhan informasi yang lebih baik (better informed compliance management); memiliki sumber daya manusia yang mumpuni (enabled workforce); (6) dan terakhir, melanjutkan transformasi dan terus berubah secara signifikan mengikuti tren teknologi digital dan bisnis termutakhir.
Sebagai penutup, disrupsi telah melahirkan satu generasi baru yang kreatif, memiliki kesadaran tinggi atas teknologi, dan melampaui batas-batas kepatutan yang tak pernah terduga sebelumnya. Disrupsi juga membenamkan bisnis-bisnis lama, pelaku industri yang tak mau berubah, serta pekerjaan-pekerjaan yang mudah tergantikan oleh mesin. Ketika wajah masyarakat di seluruh dunia berubah mengikuti tren digitalisasi, pun demikian pula seharusnya dengan otoritas pajak.
Referensi:
• OECD, Tax Administration 2017: Comparative Information on OECD and Other Advanced and Emerging Economies, OECD Publishing, Paris, 2017.
https://mucglobal.com/upload/taxguide/files/TaxGuide2018-14_Indonesia.pdfDisclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.