Sepak Bola & Pajak di Balik Hijrah Messi ke PSG
Asep Munazat Zatnika
|
Lionel Messi adalah legenda hidup sepak bola dunia masa kini. Bakat alaminya mengolah Si Kulit Bundar menarik minat para pencari bakat sejak usia dini. Adalah tim asal Catalan, Barcelona, yang berhasil memboyongnya di usia 13 tahun—dan mengeksploitasinya sebagai mesin penghasil uang sekaligus penyumbang gelar juara terbanyak sepanjang sejarah klub (35 gelar).
Selama berseragam Barcelona, Messi telah bermain sebanyak 778 penampilan serta mencetak 672 gol dan 305 assist. Di ajang domestik, sentuhan magisnya itu berhasil dikonversi menjadi 10 gelar juara Liga Spanyol, tujuh gelar juara Copa Del Rey, dan delapan gelar Piala Super Spanyol. Sementara di level internasional, Messi berhasil menjadikan Barcelona kampiun juara empat kali Liga Champion Eropa, tiga gelar Piala Super Eropa, dan tiga gelar Piala Dunia Antar-Klub.
Faktor uang juga yang membuat “Bocah Ajaib” ini menangis karena harus berpisah dengan tim yang telah dibelanya selama 21 tahun itu. Krisis finansial membuat Barcelona tak kuasa memperpanjang kontrak Messi yang berakhir 30 Juni 2021.
Padahal, penyandang predikat pemain terbaik dunia (Ballon d’Or) sebanyak enam kali itu telah merelakan gajinya dipangkas 50% dari nilai kontrak terakhirnya, yang rata-rata per musim dibayar 75 juta euro atau setara dengan Rp1,2 triliun.
Sekalipun tetap dipaksakan, Blaugrana dihadapkan pada Financial Fair Play, aturan Otoritas Sepak Bola Eropa (UEFA) dan Spanyol (RFEF) yang melarang pengeluaran—termasuk anggaran gaji pemain—lebih besar dari pada pemasukan.
Karenanya, melepas Messi merupakan pilihan pahit yang tidak bisa dihindari, dan mungkin solusi terbaik sekaligus terbodoh yang dilakukan oleh manajemen Barcelona untuk menyelamatkan klub.
Namun dengan segudang prestasinya, tak sulit bagi Messi untuk menemukan tempat persinggahan baru. Setelah bercerai dengan Barcelona dan sepak bola spanyol, Ia memilih hijrah ke Paris, dengan menandatangani kontrak selama dua tahun bersama Les Parisien meski dengan bayaran tak setinggi di Barcelona.
Namun, Messi tetap akan menjadi pemain bergaji paling tinggi di Paris Saint-Germain (PSG), dengan bayaran sekitar 40 juta euro atau setara dengan Rp676 miliar per musim. Bedanya, itu merupakan penghasilan bersih yang akan diterima pemain berusia 34 tahun tersebut karena sudah dipotong pajak.
Kisruh Pajak
Pajak tampaknya menjadi perhatian serius bagi Messi dan ayahnya—Jorge Messi—yang juga selaku manajer. Ceritanya tentu saja bermula dari Barcelona, Spanyol.
Selama berkiprah di Negeri Matador, Messi sempat terjerat sejumlah kasus terkait dengan dugaan penghindaran pajak. Namanya bahkan sempat muncul dalam Panama Papers, dokumen investasi rahasia pesohor dunia milik firma hukum Mossac Fonseca yang bocor ke publik. Dokumen tersebut mengungkap jejak investasi Messi melalui sejumlah perusahaan cangkang yang diduga dijadikan kamuflase untuk menghindari pajak.
Puncaknya, pada tahun 2017 pengadilan Spanyol menjatuhkan hukuman penjara 21 bulan terhadap Messi dan ayahnya, serta denda masing-masing 2 juta euro dan 1,5 juta euro. Mereka diduga menggelapkan pajak melalui perusahaan cangkang sebesar 4,1 juta euro antara tahun 2007 dan 2009.
Kasus ini sebenarnya sudah lama menjadi perhatian otoritas pajak Spanyol, Agencia Tributaria. Tepatnya sejak 2010 , ketika Agencia Tributaria aktif menelisik pendapatan para bintang lapangan hijau yang berlaga di La liga.
Petugas pajak di Negeri Matador juga memeriksa penghasilan yang diterima pesohor sepak bola dari luar Spanyol. Terutama yang berkaitan dengan hak cipta atas penggunaan gambar dan poster untuk tujuan komersial.
Tidak hanya Messi yang dibuat gerah oleh aksi otoritas pajak Spanyol. Kompatriotnya di La Liga seperti Neymar, Gerard Pique, Christiano Ronaldo, dan bahkan mantan pelatih Real Madrid Jose Mourinho juga pernah terjerat kasus pajak yang sama di Spanyol.
Deretan kasus pajak ini yang membuat Spanyol dianggap sebagai negara yang kurang ramah bagi pesepakbola. Meskipun sebenarnya tarif pajak Spanyol lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara penyelenggara kompetisi sepak bola terbaik lainnya, seperti Inggris, Italia, Jerman, atau bahkan Perancis.
Merujuk data OECD tahun 2020, rata-rata tarif pajak tertingi yang dikenakan terhadap penghasilan pesepakbola di La Liga sebesar 43,5%. Bandingkan dengan Inggris yang mematok tarif pajak sebesar 45%, Italia 47,2%, Jerman 47,5%, atau Perancis 55,4%.
Ternyata bukan semata soal tarif pajak, masalah utama mungkin lebih pada penerapan sistem perpajakan world wide income di Spanyol. Dalam hal ini otoritas pajak tidak hanya mengenakan pajak atas penghasilan yang diperoleh Messi cs di yurisdiksinya tetapi juga semua penghasilan dari luar negeri. Intinya, penghasilan dari manapun akan dipajaki, selama yang bersangkutan tinggal di Spanyol.
Surga Bagi Pendatang
Sistem pajak world wide income sebenarnya jamak di banyak negara, termasuk di Perancis. Kalau rezim pajaknya sama, bukankah dengan hijrah ke PSG akan menjadi pertaruhan baru bagi karir sepak bola Messi? Terlebih, Perancis merupakan salah satu negara yang mematok tarif tinggi di Benua Biru.
Jawabannya terletak di perlakuan khusus otoritas pajak Perancis terhadap ekspatriat. Tepatnya sejak 2016, ketika Perancis mengamandemen aturan pajak menjadi lebih ramah bagi para pendatang baru dengan keahlian khusus. Salah satu tujuannya memang untuk meningkatkan industri di dalam negeri termasuki industri sepak bola.
Dengan perubahan kebijakan itu, Perancis memasuki rezim pajak baru yang dikenal dengan sebutan Special Expatriate Tax Regime. Ini ibarat “karpet merah” yang digelar pemerintah bagi para tenaga kerja asing, terutama pesepakbola. Sejak saat itu kaum ekspatriat berkesempatan mendapatkan tarif pajak yang jauh lebih rendah dari tarif yang dikenakan terhadap warga Perancis.
Mengutip International Tax Review, seorang pesepakbola asing yang bermain di League 1 (liga utama Perancis) berhak atas insentif pembebasan pajak penghasilan atas bonus dan kompensasi lain yang diterimanya selama delapan tahun. Keuntungan ini diberikan jika nilai bonus dan kompensasi tersebut tidak lebih dari 50% terhadap total remunerasi yang diterima.
Selain itu, pemerintah Perancis juga memberikan pengurangan pajak sebesar 50% atas penghasilan dari kegiatan investasi seperti penanaman modal atau sekuritas, serta pendapatan atas hak kekayaan intelektual.
Rezim pajak baru ini tentu saja sangat menguntungkan bagi pelaku industri sepak bola Perancis, khususnya PSG yang memiliki kekuatan finansial luar biasa. Terbukti sejak 2016 klub kebanggan warga Paris itu dengan mudah menggaet banyak pemain bintang, mulai dari Neymar Jr, Sergio Ramos, Georginio Wijnaldum, Gianluigi Donnarumma, dan terakhir yang paling menghebohkan tentu saja Lionel Messi.
Menyoal Indonesia
Perancis sebenarnya bukan negara pertama yang memberikan dukungan insentif fiskal bagi industri sepak bola. Justru Spanyol yang lebih dahulu memberikan fasilitas pajak serupa untuk memajukan industri sepak bola nasional lewat gaung La Liga.
Pada tahun 2005, Pemerintah Spanyol memberikan keringanan pajak bagi atlet kaya dan pekerja asing berkeahlian khusus, berupa penerapan tarif PPh sebesar 24% (flat). Ini lebih rendah dari tarif pajak progresif 24%-43% yang berlaku sebelumnya.
Kebijakan itu populer dengan sebutan Beckham Law, karena setelahnya terjadi mega transfer bintang sepakbola Inggris David Beckham dari Manchester United ke Real Madrid dengan mahar 37,5 juta euro.
Setelah Beckham, menyusul pindah sejumlah pemain top lainnya ke Spanyol seperti Fabio Cannavaro (Italia), Rud Van Nistelrooy (Belanda), Kaka (Brasil), Karim Benzema (Prancis), Zlatan Ibrahimovic (Swedia) dan Christiano Ronaldo.
Apa yang dilakukan Spanyol dan Perancis banyak ditiru oleh banyak negara di berbagai belahan dunia. Indonesia pun seharusnya bisa belajar bagaimana mejadikan pajak sebagai salah satu instrumen penting untuk menjadikan industri sepakbola nasional lebih menjadi kompetitip dan berkualitas.
Untuk itu, peran negara sangat vital. Tidak cukup hanya dengan mengalokasikan sejumlah anggaran melalui sebuah kementerian dan federasi sepak bola, yang faktanya belum efektif menghasilkan prestasi sampai detik ini.
Bukan berarti pemerintah harus mengintervensi langsung regulator liga atau PSSI. Tidak perlu juga pemerintah ikut campur tangan mengatur teknis pertandingan atau menginstruksikan perusahaan negara ambil alih penyelenggaraan liga. Apalagi sampai ikut mengatur skor, haram!
Pemerintah hanya perlu merangsang pelaku usaha agar mau terjun mengurus industri sepak bola nasional secara transparan dan akuntabel. Salah satunya dengan memberikan insentif keringanan pajak bagi para pelaku industri, terutama para pemain yang berlaga.
Kalau terus-menerus konflik kepentingan dan politik yang mendominasi liga, kapan majunya sepak bola Indonesia?!
**) Artikel ini telah terbit di Kumparan, 20 Agustus 2021
KumparanDisclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.