Reformasi Kelembagaan Perpajakan Jangan Sekedar Ganti Nama
Dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pemerintah memasukkan klausul pembentukan lembaga atau badan khusus calon pengganti Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan mungkin juga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Ini merupakan wacana lama yang timbul-tenggelam selaras dengan semangat reformasi perpajakan yang juga kencang-kendur di Indonesia.
Bicara soal penguatan kewenangan pajak sebenarnya bukan hal baru dalam konteks global. Kesadaran akan semakin pentingnya pajak sebagai sumber pendanaan pembangunan menuntut kinerja otoritas yang efisien dan kompetitif. Fenomena ini mendorong banyak negara di dunia memberikan otonomi dan fleksibilitas fungsi kepada otoritas pajak dalam beberapa dekade terakhir.
Dalam praktiknya, bentuk dan kewenangan otoritas pajak di setiap negara berbeda-beda. Hampir tidak ada otoritas pajak di manapun yang mempunyai otonomi penuh. Ada yang berbentuk badan semi otonom dan ada yang setingkat direktorat di bawah Kementerian Keuangan.
Otoritas pajak Singapura, misalnya, Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) merupakan badan perpajakan semi otonom yang tidak berada di bawah Kementerian Keuangan tetapi disupervisi secara ketat oleh semacam Dewan Pengawas, dimana Menteri Keuangan bertindak sebagai ketua. IRAS sebagai representasi Negara memiliki kewenangan untuk melakukan negosiasi perjanjian pajak, membuat draft undang-undang perpajakan dan memberikan saran terkait penilaian properti kepada Pemerintah.
Namun, ada pula otoritas pajak setingkat direktorat atau di bawah kementerian yang punya kewenangan hampir sama atau bahkan lebih luas dibandingkan badan semi otonom di negara lain. Misalnya, Thailand, direktorat pemungut pajaknya punya kewenangan yang sangat luas jika dibandingkan dengan badan semi otonom perpajakan Jepang.
Sementara di Indonesia, sistem administrasi perpajakannya dikelola oleh lebih dari satu direktorat (multiple directorate) di bawah Kementerian Keuangan, yakni DJP dan DJBC. Dengan kewenangan yang sangat terbatas, otoritas pajak tidak dapat mendesain organisasi sendiri secara cepat karena proses birokrasi. Fleksibilitas yang kurang menyulitkan DJP maupun DJBC untuk melakukan perubahan dan pengembangan sistem administrasi perpajakan, serta perbaikan internal dalam rangka menyeimbangkan dengan perkembangan bisnis yang dinamis dan cepat di lapangan. Keterbatasan kewenangan ini yang kemudian dianggap sejumlah kalangan sebagai penghambat reformasi perpajakan di Indonesia.
Egosektoral
Rencana transformasi kelembagaan perpajakan sebenarnya sudah menjadi wacana di Indonesia sejak sekitar tahun 2007. Namun, alihalih fokus pada reformasi perpajakan, yang tampak justru tarik-ulur kepentingan dan konflik egosektoral. Terbukti, hingga enam kali pergantian pucuk pimpinan DJP dan lima kali Dirjen Bea dan Cukai berganti, rencana tersebut tak kunjung teralisasi.
Kajian serius soal itu sejatinya pernah dilakukan pada medio 2014 dan menjadi bagian dari program 100 hari terakhir masa jabatan Presiden Republik Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hasilnya, muncul tiga opsi reformasi struktural perpajakan.
Pertama, membentuk lembaga baru bernama Badan Penerimaan Negara (BPN), namun tetap berada di bawah koordinasi Menteri Keuangan. Kedua, BPN sebagai lembaga baru terpisah dari Kementerian Keuangan dan bertanggung jawab secara langsung kepada presiden selaku kepala negara. Ketiga, cukup dengan memberikan fleksibilitas kepada DJP untuk melakukan perekrutan pegawai maupun penentuan sistem remunerasi sehingga dapat lebih leluasa mengumpulkan pajak.
Pertanyaannya kemudian, transformasi kelembagaan seperti apa yang tepat untuk memperbaiki sistem perpajakan Indonesia? Apakah dengan membentuk lembaga khusus yang terpisah dari struktur Kementerian Keuangan atau cukup dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada DJP dan DJBC?
Proses reformasi kelembagaan otoritas pajak Amerika Serikat, Internal Service Revenue (IRS) setidaknya bisa jadi pelajaran. IRS saat ini merupakan lembaga yang semi otonom dengan sejumlah kewenangan yang memperkuatnya. Tetapi sebelum itu, IRS telah melalui berbagai tahap transformasi kelembagaan.
Cikal bakal IRS, yaitu jabatan Commissioner of Internal Revenue sudah dikukuhkan sejak 1862 di masa pemerintahan presiden Abraham Lincoln, yang kemudian berubah menjadi lembaga yang bernama the Bureau of Internal Revenue. Baru pada tahun 1953, AS mereorganisasi the Bureau of Internal Revenue menjadi IRS seperti yang kita kenal. Dengan kata lain, perlu waktu 91 tahun atau hampir satu abad untuk menemukan format otoritas pajak yang dianggap tepat bagi AS.
Kewenangan Proporsional
Berdasarkan penelitian Arthur Mann (2004), pembentukan otoritas penerimaan semi otonom atau Semi Autonomous Revenue Authorities (SARA) tidak menjamin keberhasilan negara dalam meningkatkan penerimaan negara, mengurangi praktik korupsi dan penghindaran pajak, serta memperbaiki pelayanan perpajakan. Contohnya implementasi SARA di Ekuador, Guatemala, Peru, dan Tanzania, yang hanya sebatas menyediakan platform atau landasan untuk menciptakan administrasi perpajakan yang efisien tanpa memberikan jaminan keberhasilan. Intinya, pembentukan badan semi-otonom atau SARA belum tentu menjadi obat mujarab yang bisa dengan cepat mengatasi penyakit perpajakan. Dengan kata lain, permasalahannya sebenarnya bukan pada status atau bentuk kelembagaan, melainkan pada cakupan kewenangan otoritas pajak.
Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), ada sembilan kewenangan yang idealnya dimiliki otoritas pajak: (1) kewenangan untuk membuat peraturan; (2) kewenangan mengenakan sanksi atau denda; (3) kewenangan mendesain sendiri struktur organisasi internal; (4) kewenangan penganggaran atau pengalokasian anggaran; (5) kewenangan manajemen atau pengaturan komposisi pegawai; (6) kewenangan merekrut karyawan; (7) kewenangan memperkerjakan atau memecat karyawan; (8) kewenangan negosiasi penetapan upah karyawan; dan (9) menetapkan standar pelayanan.
Semakin lengkap kewenangan otoritas pajak, diharapkan semakin baik sistem perpajakan sebuah Negara. Namun, sangat jarang ada lembaga perpajakan yang memiliki kewenangan tersebut secara lengkap.
Ada banyak pertimbangan yang bisa dijadikan acuan dalam menentukan jenis kewenangan yang harus dimiliki oleh sebuah otoritas pajak. Salah satunya adalah pertimbangan kebutuhan dan kapasitas sumber daya. Setiap negara memiliki karakter yang berbeda dari kualitas sumber daya manusia, teknologi informasi, hingga jumlah wajib pajak dan luas wilayah.
Dengan kata lain, kewenangan harus proporsional dengan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia. Kewenangan yang terlalu besar hanya akan menciptakan lembaga yang terlalu super power sehingga sulit untuk dikontrol. Sementara jika kewenangan yang diberikan terbatas, kinerja otoritas pajak tidak akan optimal.
Dengan otonomi atau kewenangan yang lebih besar memungkinkan bagi otoritas pajak menerabas segala hambatan yang selama ini mengekangnya untuk bisa mewujudkan manajemen organisasi yang efektif dan efisien. Namun yang tak kalah penting, transparansi dan akuntabilitas harus tetap dijaga.
Dalam banyak kasus, termasuk di Indonesia, Menteri Keuangan punya peran yang cukup besar dalam mengendalikan dan melakukan pengawasan langsung terhadap otoritas pajak. Namun idealnya, menurut OECD, kewenangan strategis dan pengawasan langsung oleh Menteri Keuangan lebih dibatasi, seperti hanya mengangkat board of directors dan perancangan kebijakan perpajakan.
Indonesia bisa belajar dari supervisi yang dilakukan terhadap otoritas pajak Singapura, IRAS, oleh semacam komite pengawas. Komite bekerja sama dengan auditor eksternal dalam mengkaji laporan keuangan IRAS. Komite pengawas juga memiliki kewenangan untuk menyetujui kebijakan remunerasi serta penunjukan, promosi dan remunerasi utama para eksekutif senior di IRAS.
Oleh karenanya, perdebatannya saat ini seharusnya lebih pada pemberian kewenangan yang proporsional kepada otoritas pajak tanpa melupakan pentingnya pengawasan. Bukan lagi mempersoalkan posisi lembaga, apakah otonom atau tetap menjadi subordinat di bawah Kementerian Keuangan. Apalagi kalau yang diributkan hanya soal “pisah ranjang” dan ganti nama, tidak akan maju-maju Indonesia. Jangan sampai pemikiran dan perdebatan panjang ini menjadi sia-sia hanya karena kita terjebak pada politik identitas. Apalah arti sebuah nama?
*Versi singkat artikel ini telah terbit di CNBC Indonesia, 28 February 2018 Referensi :
- Arthur J Mann, Are Semi-Autonomous Revenue Authorities The Answer To Tax Administration Problems in Developing Countries? A Practical Guide, Georgia State University, 2004.
- OECD, Tax Administration 2017, Comparative Information on OECD and Other Advanced and Emerging Economies, OECD Publishing, Paris, 2017.
- Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, 2017
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.