Regulation Update

Pusat Logistik Berikat Diperluas, Status BUT Dipertegas



Pusat Logistik Berikat Diperluas, Status BUT Dipertegas

Pengembangan Pusat Logistik Berikat (PLB) sejak diluncurkan pada tahun 2016 dinilai berhasil menekan ongkos logistik nasional dan menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok dan bahan baku industri. Meskipun demikian, masih banyak catatan ketidakpastian perpajakan, terutama terkait status Bentuk Usaha Tetap (BUT). 

Plus-minus dari keberadaan PLB generasi pertama ini menjadi pertimbangan pemerintah untuk memperluas cakupan PLB sekaligus mempertegas regulasi perpajakan yang menaunginya. Terkait hal ini, pemerintah mengeluarkan aturan baru yang mengatur tentang PLB generasi kedua. 

Untuk lebih jelasnya, MUC Tax Guide merangkum penjelasan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi dalam acara press conference di Gedung Juanda, Kementerian Keuangan, Senin 2 April 2018. Berikut nukilannya: 

Bagaimana perkembangan dan pencapaian PLB sejauh ini?

Kinerja PLB generasi yang pertama, seperti yang kita tahu, diperuntukkan hanya untuk menimbun bahan baku (raw material) dan machinery (permesinan) karena ketentuannya masih limitatif terhadap dua komoditas itu. 

Saat ini ada 55 perusahaan di 75 lokasi PLB, dengan sebaran dari Aceh sampai ke Sorong. Semua PLB itu sudah full utilisasi dengan nilai (barang) yang ditimbun sekarang mencapai US$2,5 miliar dalam bentuk inventori. Barang-barang itu berasal terutama dari Negara Singapura, Cina, Jepang, dan lain-lain.

Bagaimana dampaknya terhadap aktivitas pelabuhan utama?

Dengan adanya PLB, Pelabuhan Tanjung Priok itu hanya sebagai transit saja, sebelum nanti dikirim ke PLB. Karena tidak dilakukan pemeriksaan apa pun di pelabuhan-pelabuhan utama kita, maka (barang) kita bisa keluarkan pada hari yang sama. Sementara, kalau yang di PLB itu 1,62 hari. Ini untuk tentunya sekaligus mendukung pemangkasan dwelling time (bongkar muat barang di pelabuhan). 

Selain itu?

Dengan hadirnya PLB, terjadi penghematan sewa penimbunan. Sebagai contoh, alat berat yang menggunakan PLB (hanya dikenai sewa) sebesar US$5,1 juta per tahun. Kemudian, efisiensi juga terjadi pada saat pemotongan biaya freight dari satu pengguna (fasilitas PLB). 

Sebab, tadinya mereka harus bolak-balik (mengimpor) dikarenakan impornya dalam partai-partai kecil. Jadi, dari 2-3 vessel (sekarang) menjadi hanya 1 vessel saja. Dengan adanya PLB, barang yang diimpor harus dalam jumlah yang banyak.

Dan karena yang diimpor dalam jumlah banyak dan ditaruh di PLB dan belum membayar pajak, baik bea masuk maupun pajak dalam rangka impor, maka otomatis akan meningkatkan cash flow (pengguna PLB). Karena (pajak) yang dibayar adalah (untuk barang) yang memang dikeluarkan (dari PLB) ke domestik. Jadi, selama dia masuk ke dalam PLB, maka dia belum dipungut bea masuk maupun pajak dalam rangka impor.

Sekadar contoh terkait memindahkan warehouse: dari generasi yang pertama saja, untuk memindahkan alat berat dari satu PT saja, maka mereka sudah shutdown satu warehouse dari Singapura, (dan) mereka pindahkan ke sini.

Berdasarkan evaluasi sejauh ini, bagaimana rencana pengembangan PLB selanjutnya?

Pada tangal 27 Maret yang lalu Bapak Presiden mengeluarkan kebijakan yang baru yaitu pengembangan Pusat Logistik Berikat dari yang sebelumnya menjadi yang sekarang, atau generasi satu menjadi generasi dua. Generasi dua ini untuk mengakomodasi supporting kepada industri untuk mengakselerasi ekonomi digital, ketahanan nasional, distribusi dan hub logistik serta UMKM. 

Kami melihat ada keperluan untuk mengembangkan PLB generasi kedua. Tentunya, karena melihat keberhasilan (generasi) yang pertama dalam memindahkan logistik, menurunkan load time, full utilisasi PLB, dan biaya logistik turun. 

Tujuan pengembangan PLB generasi kedua apa?

Untuk mengakomodasi tuntutan perkembangan ekonomi dunia, terutama e-commerce, transshipment (pindah kapal). Indonesia, kalau kita lihat, berada di antara benua Australia dan Asia dan di antara Laut Pasifik dan Hindia, sehingga kita di persimpangan. Nah, dalam posisi ini Indonesia ingin menjadi transit point. 

Indonesia berharap menjadi hub, paling tidak di Asia Tenggara, regional. Selama ini peran itu diambil oleh Port-hub, Singapura. Kita mempunyai potensi, terutama memang barang yang ditimbun di sana banyak barang-barang untuk keperluan di Indonesia. Sehingga ini sangat feasible. 

Juga adanya keperluan untuk offshore trading. Kalau kita lihat perkembangan di persimpangan Selat Malaka, kita melihat banyak sekali peluang untuk mengembangkan offshore trading.

Lebih jelasnya, pengembangan seperti apa yang akan dilakukan?

Dari pengalaman (generasi) pertama, pengusaha-pengusaha meminta kepada pemerintah untuk memberikan kepastian perlakuan perpajakan Bentuk Usaha Tetap. Kemudian, masalah Surat Keterangan Bebas (SKB) PPN, laporan surveyor dilakukan di PLB, dan back-to-back Certificate of Origin atau Surat Keterangan Asal (SKA), itu semua hal yang ditegaskan dalam peraturan PLB generasi kedua.

Terkait status BUT, kepastian seperti apa yang diminta pengusaha?

Sekadar memberikan gambaran, jadi kemarin banyak pertanyaan dari pengusaha di luar negeri. Mereka mau masuk untuk timbun barang di PLB dan menjadikan Indonesia sebagai logistics center di regional. Lalu, mereka mempertanyakan status BUT. Kita sudah buatkan penegasan di sini. Jadi, (untuk) penentuan status PLB sebagai BUT berlaku ketentuan sebagai berikut.

Pertama, bahwa status PLB itu sesuai dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)—dalam hal negara asal supliernya memiliki P3B dengan Indonesia. Jadi, kalau dia sudah P3B ya kita ikut ketentuan di dalam P3B. 

Tetapi, kalau kita (berurusan) dengan negara di mana barang itu berasal belum P3B (dengan Indonesia), maka (statusnya) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang PPh--dalam hal negara yurisdiksi tidak memiliki P3B. Saya kira penegasan ini sangat penting, sehingga setelah ini tentunya banyak (pengusaha asing) yang akan masuk ke Indonesia.

Kemudian, bagaimana dengan SKB PPN?

Sekadar gambaran, jadi dulu SKB PPN itu, kalau melakukan impor, ada ketentuan harus pakai BL (Bill of Lading) sebagai salah satu syaratnya. Nah, sekarang karena itu tidak dilakukan di pelabuhan, maka kita bisa proses SKB-nya dengan menggunakan dokumen-dokumen yang setara, dan itu dokumen-dokumen pabean.

Jadi, simpel sekali nantinya, tidak harus ada BL. Karena, misalnya, barang itu masuk dalam 100 kontainer ke PLB, (tapi) dijualnya ‘kan secara parsial, sementara itu tidak ada BL parsial. Sehingga, kita gunakan dokumen-dokumen pabean saja, dan itu tetap akan keluar SKB. Sehingga, tetap haknya, pengguna di domestik akan tetap mendapat SKB PPN-nya.

Fokus PLB generasi kedua apa saja?

Dari beberapa poin tadi, pemerintah memutuskan untuk mengembangkan PLB generasi kedua, yaitu ada tujuh bentuk tambahan lainnya. Dulu, intinya, ini untuk industri raw material dan machinery. Sekarang, kita lihat ada PLB untuk kebutuhan pokok, misalnya kedelai, gandum, jagung. Jadi, kita berharap nanti Indonesia, yang tidak banyak produksi kedelai, bisa impor satu kapal besar (kedelai), entah itu 1.000 ton, 100.000 ton. Ada dua keuntungannya: stabilisasi pasokan kebutuhan pokok dan harga nanti pasti akan turun. 

Kedua, itu PLB hub kargo udara, transshipment. Ini terutama di Bali, Bandara Ngurahrai dan Cengkareng (Bandara Soekarno-Hatta). Karena kalau kita lihat Bali, ada 100-an international flight dan kebanyakan bawa penumpang, dan lambungnya kosong. Ini tentunya dapat kita manfaatkan untuk PLB, (barang) masuk dari Bali kemudian kita sebarkan kemana-mana.

Ketiga, PLB untuk barang jadi. Untuk awal ini, kita tetapkan (hanya untuk) minuman keras (miras). Tetapi, tentunya setelah ini kita bisa mengakomodasi apa pun barang jadi, selama sudah mendapatkan rekomendasi dari kementerian terkait. Mengapa miras? kita lihat selama ini miras ada di Singapura, kemudian parsial satu kontainer masuk Priok, masuk Surabaya. 

Nah, sekarang kita pengin pindahkan ke sini. Jadi nanti dari penjualnya langsung masuk ke Indonesia dalam partai besar, kemudian kita sebarkan dan kita awasi bersama-sama. Kelebihannya, PLB adalah sentralisasi jadi kita bisa awasi secara bersama-sama. Ini bukan proyeknya bea cukai, tapi proyek-nya pemerintah Indonesia, yang mengawasi adalah pemerintah Indonesia jadi nanti collective controlled. 

Keempat, PLB untuk e-commerce jadi e-commerce distribution center. Malaysia sudah punya, Indonesia juga pengin. 

Kelima, khusus industri kecil dan menengah. 

Kemudian (keenam), PLB untuk floating storage. Jadi, semacam pom bensin di tengah laut. Seperti di Selat Malaka itu banyak sekali transaksi jual beli. Kita bisa jadikan Selat Malaka dan sekitar daerah Pulau Nipa, daerah Batam, sebagai PLB minyak, misalnya.

Selanjutnya (ketujuh), PLB khusus barang ekspor barang komoditas. Kami ambil contoh timah, karet, dan kopi. Ini penting, kita ekspor timah terbesar, tetapi bursa komoditasnya di Singapura. Jadi, kita ekspor dulu ke Singapura baru diperdagangkan di situ. 

Mereka memperdagangkan di Singapura tidak di Bangka Belitung, (dan) karena pada saat barang itu masih di dalam negeri sebelum ada kebijakan ini, maka kita anggap sebagai transaksi dalam negeri,  sehingga jual-beli, (meski telah) berpindah tangan lima kali juga (tetap) terkena pajak, PPN terutama. 

Bagaimana perlakuan perpajakan jika barang komoditas masuk PLB?

Nah, dengan prinsip yang baru, sebagaimana PMK yang sekarang ini, maka begitu barang lokal masuk ke PLB, maka barang itu sudah dianggap ekspor, seakan-akan barang itu sudah di luar negeri. Sehingga, mau transaksi berapa kali pun, barang itu ditransaksikan, sepuluh kali, maka dia tidak menjadi subjek PPN lokal. Dan itulah, maka kemudian ini nanti akan menarik minat untuk memindahkan bursa komoditas.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP

Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.
dari server baru