Pajak Pembelian Lisensi Software, Royalti atau Jual-Beli Biasa?
Winni Hidayanti,
Saat ini, perkembangan ekonomi dan bisnis, baik yang berbasis digital maupun konvensional, tidak bisa lepas dari eksistensi teknologi informasi beserta perkembangannya.
Meski bukan menjual produk digital, kegiatan usaha konvensional membutuhkan teknologi agar bisa tetap kompetitif. Pembedanya, teknologi yang mereka pakai mungkin tidak akan secanggih perusahaan digital.
Adapun, perkembangan teknologi informasi sangat bergantung pada inovasi dalam membuat beragam perangkat keras atau yang biasa disebut hardware dan perangkat lunak nya alias software.
Hal itu menuntut banyak perusahaan melakukan pengembangan software dan hardware-nya secara berkala.
Beragam cara dilakukan korporasi dalam meng-upgrade software maupun hardwarenya. Salah satunya dengan membeli dari perusahaan produsen.
Baca Juga: Ekonomi Digital Picu Peningkatan Sengketa Pajak Internasional
Pemicu Dispute
Dalam konteks pajak, pembelian software kerap menimbulkan sengketa atau dispute. Pembelian software berbeda dengan pembelian hardware, yang berupa barang fisik seperti sparepart yang harus diimpor dari negara produsen.
Hak penggunaan software, umumnya berbentuk lisensi yang pembelian atau penyerahannya bisa dilakukan melalui transfer digital, dengan cara diunduh, kapanpun. Jadi, tidak perlu dilakukan pengiriman langsung melalui kegiatan ekspor-impor.
Sehingga, timbul kebingungan dalam mendefisnikan jenis transaksi dan perlakuan pajaknya. Apakah pembelian lisensi software harus dianggap penyerahan royalti atau transaksi jual-beli biasa.
Misalnya, sebuah perusahaan di Indonesia sebagai pembeli lisensi atau licensee membayarkan fee kepada perusahaan di Amerika Serikat sebagai licensor, untuk memperbanyak perangkat lunak buatan alias custom software berlisensi di Indonesia.
Dengan lisensi tersebut perusahaan yang ada di Indonesia sebagai programmer atau pengembang, akan mendapat jaminan keamanan dan hak milik atas hasil karyanya sendiri agar tidak disalahgunakan orang lain.
Dari transaksi pembelian lisensi software di atas, ada tiga kemungkinan perlakuan pajak yang harus dipastikan.
Pertama, apakah pembelian lisensi software dapat diinterpretasikan sebagai Royalti yang merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 dengan tarif 20%?
Kedua, apakah harus mengacu pada tarif yang berlaku di dalam Tax Treaty antara Indonesia-Amerika yaitu 10%?
Ketiga, apakah pembayaran lisensi di atas tidak dikenakan pajak di Indonesia, karena diklasifikasikan sebagai laba usaha (business profit)?
Definisi Royalti
Untuk menjawabnya, pertama kita perlu memperjelas definisi royalti. Menurut Tax Treaty Indonesia-Amerika Pasal 13, pengertian royalti adalah segala bentuk pembayaran yang dibuat sehubungan dengan penggunaan, atau hak untuk menggunakan hak cipta (use of, right to use any copy right) atas:
- Karya sastra
- Kesenian
- Karya ilmiah (termasuk gambar bergerak, film, pita rekaman)
- Alat reproduksi penyiaran radio atau televisi lain
- Paten
- Desain
- Model
- Rencana
- Formula atau proses rahasia
- Merek dagang, atau
- Informasi pengalaman di bidang industri, perniagaan, atau ilmu pengetahuan.
Adapun petikan dari Pasal 13 Tax Treaty Indonesia-Amerika adalah sebagai berikut:
The term "royalties" as used in this Article means payments of any kind made as consideration for the use of, or the right to use, copyrights of literary, artistic, or scientific works (including copyrights or motion pictures and films, tapes or other means of reproduction used for radio or television broadcasting), patents, designs, models, plans, secret processes or formula, trademarks, or for information concerning industrial, commercial or scientific experience. It also includes gains derived from the sale, exchange, or other dispositions of any such property or rights to the extent that the amounts realized on such sale, exchange or other disposition for consideration are contingent on the productivity, use, or disposition of such property or rights.
Dari penjelasan tersebut, bisa dikatakan software berlisensi sebetulnya tidak masuk ke dalam uaraian royalti menurut Tax Treaty Indonesia-Amerika. Namun, dapat masuk dalam pengertian “use of, right to use any copy right”.
Sehingga harus dipastikan, apakah sarana transfer software, seperti mengunduh atau mendownload, termasuk media yang mengklasifikasikan pemberian Lisensi sebagai hak cipta atas objek pengenaan pajak royalty atau tidak.
Baca Juga: Indonesia-Singapura Efektif Terapkan Tax Treaty Terbaru 1 Januari 2022
Terkait itu, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyebut, pemegang Hak Cipta boleh memberikan Lisensi kepada pihak lain, untuk berbagai kegiatan, berdasarkan perjanjian tertulis serta memenuhi syarat-syarat yang dietapkan.
Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan penggunaan hak cipta diantaranya:
- Penerbitan Ciptaan;
- Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
- penerjemahan Ciptaan;
- pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
- Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
- Pertunjukan Ciptaan;
- Pengumuman Ciptaan;
- Komunikasi Ciptaan;
- Penyewaan Ciptaan.
Penjelasan ini sejalan dengan pengertian hak cipta yang ada di dalam paragraph 13,1 OECD Comentary atas pasal 12.
“Payment made for the acquisition of partial right in the copyright (without the transferor fully alienating the copyright) will represent a royalty where the consideration is for granting of rights to use the program in a manner that would without such license, constitute an infringement of copyright"
Berdasarkan uraian diatas maka lisensi yang dimaksud dalam tax treaty Indonesia-Amerika adalah lisensi sesuai dengan UU Hak Cipta. Yaitu, izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta kepada pihak lain untuk mengumumkan atau memperbanyak produk hak terkaitnya dengan syarat-syarat tertentu.
Dengan demikian, jika pemberian lisensi software semata mata untuk kepentingan sendiri, tidak dapat diklasifikasikan sebagai royalty dan dianggap sebagai transaksi jual-beli biasa. Sebaliknya, jika pembelian lisensi software dignakan untuk diperbanyak dan dimanfaatkan pihak lain, sebagaimana contoh kasus di atas, bisa dikategorikan sebagai royalti.
Baca Juga: Diskusi Justise 1: Pentingnya Perlindungan Sebuah Brand
Namun masalah tidak berhenti di situ. Licensee juga harus memastikan apakah perjanjian lisensi yang dibuat memisahkan hak untuk memeprbanyak software dengan pembelian sofware atau tidak? Bila isi kontrak atau perjanjain lisensi memisahkan hak memperbanyak software dengan pembelian software, maka PPh Pasal 26 Royalti hanya dikenakan atas nilai lisensinya saja.
Sedangkan jika kontrak atau perjanjian tidak memisahkan antara lisensi dengan pembelian software, maka dikenakan PPh Pasal 26 atas seluruh nilai kontrak/ perjanjian atau faktur (termasuk pembelian softwarenya).
Adapun besaran tarif PPh Pasal 26 berdasarkan Tax Treaty Indonesia-Amerika sebesar 10%, lebih rendah dari tarif PPh Pasal 26 yang berlaku umum, yaitu 20%. Perlu diingat, untuk bisa menggunakan tarif Tax Treaty, perusahaan di Indonesia wajib menyiapkan dokumen DGT 1 Form atau Surat Keterangan Domisili (SKD) dari perusahaan di Amerika dalam bentuk elektronik atau e-SKD.
E-SKD wajib disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) PPh pasal 23 atau PPh Pasal 26. Jika tidak, maka pemotongan/pemungutan pajaknya adalah PPh Pasal 26 adalah sebesar 20%.
Selanjutnya atas pemanfaatan lisensi di dalam Daerah Pabean Indonesia, termasuk penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean, sehingga terhutang PPN JLN sebesar 11%.
Sebagai catatan, apabila di dalam penjualan produk software berlisensi tersebut termasuk juga jasa maintenance, maka atas jasa tersebut termasuk dalam pengertian jasa tehnik.