Pajak, Alat Pemerataan atau Amunisi Perang?
Selama ini kita mengenal perang dagang di kancah global sebagai istilah perlombaan pangkas tarif pajak serendah-rendahnya. Tujuannya tidak lain untuk meningkatkan daya tarik produk lokal dan menarik permodalan asing sebanyak-banyaknya.
Belakangan definisi perang dagang mulai bergeser. Adu kuat ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Cina yang berujung pada saling balas penaikan tarif pajak impor menjadi kasus teranyar dari perang dagang. Kemitraan dagang yang timpang jadi pemicunya.
Gedung Putih telah lebih dari 2 (dua) tahun mengupayakan untuk mengurangi defisit perdagangan AS dengan Cina, yang naik dari AS$347 miliar pada tahun 2016 menjadi AS$375,2 miliar pada tahun 2017.
Kebijakan dimulai pada Maret 2018 dengan mengenakan pajak impor sebesar 25% atas produk baja dan 10% atas aluminium dari semua negara, termasuk Cina.
Cina pun membalas pada April 2018, dengan menaikkan tarif pajak impor hingga 25% atas produk daging babi dan aluminium scrap asal AS. Beijing juga memberlakukan pajak impor sebesar 15% atas 120 komoditas AS lainnya, mulai dari almond hingga apel.
Selang berapa hari, Kantor Perwakilan Perdagangan AS merilis daftar 1300 produk impor asal Cina yang diusulkan terkena pajak, dengan estimasi nilai mencapai AS$50 miliar. Kurang dari 24 jam, Kementerian Perdagangan Tiongkok merilis 106 produk AS yang akan dikenai tarif pajak impor tambahan dengan nilai setara AS$50 miliar.
Belum sempat diterapkan, Donald Trump meminta Perwakilan Perdagangan AS untuk mempertimbangkan tarif impor tambahan senilai AS$100 miliar terhadap produk-produk Cina. Otoritas Cina langsung meresponsnya dengan mengancam balik AS dengan kebijakan setimpal.
Juni 2018, Kantor Perwakilan Perdagangan AS merilis daftar 1.102 barang impor Cina yang bakal dikenakan pajak dengan nilai setara dengan AS$50 miliar. Sebanyak 818 item komoditas efektif dikenakan pajak impor sebesar 25% mulai 6 Juli 2018, dengan nilai setara dengan AS$34 miliar. Sisanya sebanyak 284 produk lainnya senilai AS$16 miliar segera menyusul setelah menjalani proses uji publik.
Tidak mau kalah, Cina juga merilis daftar 545 produk impor asal AS senilai AS$34 miliar yang akan dikenakan tarif pajak impor sebesar 25% mulai 6 Juli 2018. Produk-produk ini termasuk kacang kedelai, kendaraan listrik, berbagai kendaraan listrik hibrida, dan berbagai makanan laut.
Beijing juga mengatakan akan memberlakukan tarif tambahan pada 114 barang AS termasuk alat pencitraan resonansi minyak, diesel, dan peralatan magnetik. Secara keseluruhan, kedua daftar tersebut mencakup 659 barang AS, senilai AS$50 miliar.
Keadaan semakin memanas, ketika pada 24 September 2018 Negeri Paman Sam kembali memberlakukan pajak impor 10% untuk produk-produk impor asal Cina senilai AS$200 miliar. Sikap tersebut kembali mendapat balasan setimpal dari Cina.
Saat ini kedua negara masih terus melakukan negosiasi. Namun, di tengah proses perundingan tersebut, Presiden Donald Trump justru memberikan ancaman untuk kembali menaikkan tarif pajak impor yang saat ini ditetapkan 10% menjadi 25% pada tahun 2019.
Konflik dua negara adidaya di atas menggambarkan bahwa perang tarif bukan hanya semata untuk tujuan investasi melainkan bisa juga dijadikan alat serang terhadap mitra dagang yang terlalu dominan. Meski hanya 2 (dua) negara AS dan Cina yang bertikai, tetapi imbas negatifnya merembet ke seluruh dunia.
Dampak Perang Dagang
Sialnya, perang dagang AS dan Cina terjadi di tengah upaya kolektif negara-negara G-20 dan OECD memerangi praktik penghindaran pajak melalui rencana aksi yang dikenal sebagai Base Erosion Profit Shifting (BEPS) action plan.
Program ini merupakan upaya bersama mereduksi gap aturan perpajakan antarnegara mengangkangi kedaulatan masingmasing negara dalam menentukan kebijakan pajaknya. Perlahan tapi pasti, upaya kerja sama global ini mempersempit ruang penghindaran pajak dan meminimalkan kebocoran penerimaan negara.
Keberadaan perang dagang telah menimbulkan berbagai spekulasi terhadap masa depan ekonomi global. Sebagian besar dari prediksi-prediksi itu menggambarkan kondisi ekonomi dunia yang kelabu seiring dengan meningkatnya risiko, memanasnya tensi perdagangan, serta semakin ketatnya likuiditas global.
International Monetery Fund (IMF) pada Oktober lalu memperkirakan, pertumbuhan ekonomi global akan stagnan di level 3,7% hingga tahun depan. Proyeksi tersebut lebih rendah dari perkiraan semula yang diprediksi ekonomi dunia tumbuh 3,9% pada tahun ini. Sejalan dengan itu, pertumbuhan volume perdagangan global diprediksi melambat menjadi hanya tumbuh 4,2% pada tahun 2018 , dan melandai menjadi 4% pada tahun 2019.
Dalam kasus “perang dagang” AS-Cina, meski hanya 2 (dua) negara yang bertikai, tetapi imbas negatifnya merembet ke seluruh dunia. Pihak yang akan merasakan langsung dari perang dagang ini adalah konsumen global yang terkait dengan mata rantai produksi kedua negara yang bertikai.
Terutama bagi Indonesia, perang dagang bisa mengancam pasar dalam negeri dari serbuan produk Cina yang sulit masuk AS karena masalah pajak impor tinggi. Harga jual produk Cina yang lebih murah sudah pasti bakal memukul daya saing produk-produk sejenis hasil karya anak negeri. Ini merupakan cerita lama bagi Indonesia pasar gemuk yang selalu menjadi sasaran empuk produk-produk mancanegara.
Gejalanya sudah bisa dirasakan saat ini. Indikator makro pun sudah menunjukkan efek perang dagang ke Indonesia. Lihat saja defisit neraca transaksi berjalan yang semakin lebar sehingga menambah parah kejatuhan nilai tukar rupiah.
Bank Indonesia mencatat neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit sejak triwulan IV 2011, yang terakhir pada triwulan II 2018 minus AS$8,03 miliar atau 3,04% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara rupiah sudah terdepresiasi lebih dari 12% sepanjang tahun ini setelah menembus level kisaran Rp15.200/AS$ pada pertengahan Oktober 2018.
Berbagai upaya telah dan pasti terus akan dilakukan oleh pemerintah bersama Bank Indonesia. Apabila otoritas moneter habis-habisan mengoptimalkan operasi suku bunganya, dari sisi fiskal pemerintah mencoba meredam serangan barang impor dengan menaikkan pajak impor (PPh Pasal 22) atas 1.147 item komoditas yang masuk ke Indonesia.
Rinciannya adalah sebagai berikut:
- Sebanyak 719 item barang konsumsi yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri tarif pajak impornya naik 3 (tiga) kali lipat dari 2,5% menjadi 7,5%;
- Sebanyak 218 item barang konsumsi yang dapat disubsitusi oleh produk dalam negeri tarifnya naik 4 (empat) kali lipat dari 2,5% menjadi 10%; dan
- Sebanyak 210 item barang (kendaraan) mewah tarifnya naik dari 7,5% menjadi 10%.
Kombinasi kebijakan fiskal dan moneter sejauh ini belum cukup efektif mengembalikan rupiah ke level yang seharusnya. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dipatok sebesar Rp13.400/ AS$.
Untuk itu, pemerintah juga akan menerapkan mandatori campuran biodiesel sebanyak 30% (BD30) pada tahun 2019, meningkat dari kewajiban sebelumnya yang hanya 20% (BD20). Kebijakan ini akan ditempuh guna menekan impor bahan bakar minyak dan gas yang selama ini membebani neraca perdagangan Indonesia.
Momentum Bersatu
Indonesia tentunya tidak bisa berkelit dari situasi perang dagang yang sudah terjadi. Tidak ada zona yang benar-benar aman dari terjangan gelombang yang ditimbulkan dari persaingan ekonomi AS dan Cina.
Indonesia dan negara-negara berkembang lain yang senasib tampaknya harus proaktif membuat konsensus bersama guna menekan AS maupun Cina menyudahi kebijakan kontraproduktifnya. Satu hal yang pasti, Indonesia jangan sampai latah ikut-ikutan perang dagang. Intinya, proaksi ataupun liberalisasi hanyalah pilihan, sedangkan pajak merupakan kedaulatan. Karenanya, gunakan pajak secara bijak, adil, dan ramah bagi Wajib Pajak
https://mucglobal.com/upload/taxguide/files/TaxGuide2018-17_Indonesia.pdfDisclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.