MUC BIJAK #2: Konsensus Pajak Global Sasar Aset Kripto Hingga Menyoal Insentif Fiskal
MUC Tax Research Institute
|
Pemerintah Indonesia mendorong negara-negara G-20 untuk memperluas cakupan pertukaran informasi keuangan secara otomatis alias Automatic Exchange of Information (AEoI). Salah satunya, dengan memasukkan informasi kepemilikan mata uang kripto atau cryptocurrency sebagai aset yang harus dipertukarkan.
Hal tersebut disampaikan Direktur Perpajakan International Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Mekar Satria Utama dalam webinar bertajuk Menerka Arah Kebijakan Perpajakan Internasional Pasca Terbit UU HPP, Jumat (25/2). Seminar daring ini merupakan rangkaian program Bicara Pajak (#BIJAK) yang digagas MUC Consulting sejak 2019.
Mekar mengatakan rencana pertukaran aset kripto itu sudah mulai dibahas dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 pada 17-18 Februari 2022.
Ia berharap, kesepakatan mengenai pertukaran data mata uang kripto bisa terlaksana dalam pertemuan G20 tahun 2022 dengan Indonesia sebagai presidensinya.
Solusi 2 Pilar
Forum G20 itu juga akan membahas beberapa isu perpajakan lain, seperti kelanjutan implementasi Pilar 1 dan Pilar 2 dalam konsensus pajak global yang rencananya akan mulai dilaksanakan pada tahun 2023. Pada prinsipnya, negara-negara G20 sepakat untuk mempercepat pelaksanaan kedua pilar solusi pajak global tersebut, dengan tetap memperhatikan kesiapan masing-masing negara.
Untuk menyukseskannya, G20 akan menyiapkan bantuan asistensi kepada negara-negara berkembang yang terkendala aspek regulasi dan kapasitas otoritas pajaknya.
Dari domestik, Mekar mengungkapkan Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan sejumlah regulasi pendukung untuk dapat mengeksekusi dua pilar solusi yang menjadi konsensus pajak global tersebut.
Meskipun poin-poin penting dari konsensus pajak global sudah diatur dalam UU HPP, namun hal itu dianggap belum cukup. Untuk itu, pemerintah akan menerbitkan regulasi turunan setingkat Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Menyoal Insentif Fiskal
Tidak hanya itu, Indonesia juga tengah menghitung dampak yang ditimbulkan dari kesepakatan internasional tersebut terhadap kesehatan fiskal nasional. Terutama terkait dengan potensi tambahan penerimaan pajak dan pengaruhnya terhadap berbagai insentif yang diberikan pemerintah selama ini, seperti tax holiday, super deduction tax, dan tax allowance.
Dengan adanya Pilar 2, Indonesia kemungkinan tidak bisa lagi memberikan insentif keringanan pajak hingga 100% dan/atau potongan 50% Pajak Penghasilan (PPh). "Kami memperkirakan kalau hanya 25%-30% masih bisa dilaksanakan," ujar Mekar.
Secara umum, Mekar menjelaskan ada beberapa hal lain terkait kebijakan pajak internasional yang juga diatur dalam UU HPP. Antara lain, mengenai pengaturan bantuan penagihan pajak dengan otoritas pajak negara mitra. Lalu, penyempurnaan prosedur Mutual Agreement Procedure (MAP) dan instrumen pencegahan penghindaran pajak.
Potensi Pajak
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto menilai sedikitnya ada tiga potensi tambahan pajak yang bisa diterima Indonesia jika pelaksanaan Pilar 1 dan Pilar 2 berjalan efektif.
Pertama, Indonesia bisa mendapatkan bagian pajak atas penghasilan perusahaan multinasional yang menjadikan Indonesia sebagai negara pasar (Pilar1).
Kedua, Indonesia juga bisa menarik tambahan pajak dari perusahaan induk atau ultimate parent entity di Indonesia, yang anak usahanya berada di negara dengan dengan tarif pajak di bawah 15%.
Ketiga, tambahan penerimaan pajak dari ketentuan Subject to Tax Rule (STTR) dalam Pilar 2. Yaitu ketentuan yang memungkinkan Indonesia mengubah klausul dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty yang menetapkan tarif pajak di bawah 9%.
Wahyu mengatakan, setidaknya ada beberapa tax treaty yang saat ini menetapkan tarif PPh di bawah 9% seperti Jerman dan Swiss.
Masalah Global
Iman Santoso, Akademisi Perpajakan dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, menekankan prinsip utama dari pembuatan kebijakan perpajakan internasional. Yakni untuk mengantisipasi potensi terjadinya pemajakan berganda dan mencegah praktik penghindaran pajak (tax avoidance).
“Hampir setiap negara dihadapkan pada prilaku penghindaran pajak, khususnya yang dilakukan oleh grup-grup Multi-National Company (MNC) yang beroperasi lintas batas negara.
Menurut Iman, pemajakan berganda dan penghindaran pajak merupakan problematika utama sistem perpajakan global yang menjadi perhatian serius hampir seluruh negara di dunia. Kedua permasalahan tersebut selama ini terjadi karena ada celah hukum yang timbul akibat tidak adanya koordinasi antar-negara.
Indonesia, lanjut Iman, sebenarnya sudah mengantisipasi berbagai persoalan pajak global tersebut dengan merevisi sejumlah klausul Pajak Penghasilan dengan menerbitkan UU Cipta Kerja dan UU HPP. Antara lain dengan mempertegas perlakuan PPh terhadap ekspatriat dan wajib pajak orang pribadi yang berdomisili di lebih dari satu negara, serta mengubah sistem kredit pajak luar negeri dan perlakuan PPh atas in-bound dividend.
Selain itu, paket omnibus law tersebut juga memberikan kewenangan kepada orotitas untuk meminta dan memberikan bantuan penagihan pajak secara internasional, serta menerapkan General Anti-Tax Avoidance Rule (GAAR).
“Dalam beberapa ke depan kita akan melihat perubahan-perubahan regulasi domestik terkait dengan aspek-aspek perpajakan internasional yang baru, dan mari kita sama-sama mempelajarinya,” ujar Iman. (ASP/KEN/AGS)