MK Nyatakan Pemeriksaan Bukper Pidana Pajak Tak Boleh Ada Upaya Paksa
JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) inkonstitusional bersyarat. Kesimpulan itu tertuang dalam putusan atas permohonan uji materi terkait Pasal 43A ayat (1) dan Pasal 43A ayat 4 UU HPP.
Implikasi dari putusan dengan nomor dengan nomor 8/PUU-XXII/2024 tersebut, maka prosedur pemeriksaan bukti permulaan (Bukper) pidana pajak, kini tidak boleh disertai dengan upaya paksa yang melanggar asasi wajib pajak.
Adapun uji materi tersebut diajukan oleh dua orang wajib pajak bernama Surianingsih yang berprofesi sebagai pedagang dan wajib pajak badan PT Putra Indah Jaya.
Baca Juga: Laporan Bukper Terbit, WP Masih Bisa Ungkap Kesalahan
Berikut petikan amar putusan permohonan uji materi yang dibacakan uleh majelis hakim Suhartoyo dan dibacakan pada 13 Februari 2024 tersebut:
- Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian.
- Menyatakan sepanjang frasa “pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan” dalam Pasal 43A ayat (1) dalam Pasal 2 angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “tidak terdapat tindakan upaya paksa”, sehingga selengkapnya norma Pasal 43A ayat (1) dalam Pasal 2 angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736) menjadi “Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, sepanjang tidak terdapat tindakan upaya paksa”;
- Menyatakan Pasal 43A ayat (4) dalam Pasal 2 angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “tidak melanggar hak asasi wajib pajak”, sehingga selengkapnya norma Pasal 43A ayat (4) dalam Pasal 2 angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736) menjadi “Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan upaya paksa dan melanggar hak asasi wajib pajak”.
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
- Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai pemeriksaan bukti permulaan merupakan salah satu rangkaian tindakan penyelidikan dalam proses pengumpulan bukti, untuk mengetahui ada tidaknya peristiwa pidana.
Oleh karenanya proses bukti permulaan harus dibedakan dengan proses penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, diantaranya tidak ada upaya paksa.
Karena jika, hal itu dilakukan maka proses pemeriksaan bukti permulaan sudah berkaitan dengan tindakan pro justitia yang berpotensi melanggar atau merampas hak asasi manusia. (ASP)