Merdeka atau Mati, Bersatu Lawan Pandemi!
Agust Supriadi, Researcher MUC Tax Research Institute
|
Merdeka atau mati! Ini bukan hanya semboyan perjuangan rakyat Indonesia—khususnya Surabaya—ketika melawan penjajah 76 tahun silam. Seruan ini justru semakin relevan dari zaman ke zaman. Terlebih di tengah krisis multidimensi akibat pandemi Covid-19 saat ini. Kebebasan menjadi barang langka, sedangkan kematian semakin akrab di telinga.
Bulan Agustus, yang biasanya menjadi momen spesial perayaan hari kemerdekaan Indonesia, sejak dua tahun terakhir tidak tampak lagi gegap-gempitanya. Pesta rakyat yang biasanya digelar di seluruh penjuru negeri, kini berganti dengan duka rakyat yang tak henti-henti ditinggal sanak-famili.
Selain korban jiwa dan pesakitan yang tak terhitung jumlahnya, pandemi telah menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar, jutaan pekerja dirumahkan dan kehilangan penghasilan.
Alih-alih terhindar dari middle income trap, yang terjadi justru Indonesia terperangkap dalam jebakan tersebut. Indikatornya adalah pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita Indonesia, yang turun dari US$4.050 pada 2019 menjadi US$3.870 pada 2020). Indonesia pun harus rela turun strata menjadi negara kelas menengah bawah (lower middle income).
Harapan kemudian muncul di paruh pertama 2021, setelah ekonomi nasional tumbuh 3,1% secara tahunan. Titik balik tepatnya terjadi pada April-Juni ketika ekonomi melesat 7,07%.
Sayangnya, kabar baik itu muncul di tengah gelombang kedua pandemi Corona yang daya tular dan daya rusaknya lebih hebat dari sebelumnya. Meskipun secara statistik Indonesia berhasil lepas dari resesi tetapi realitanya belum sepenuhnya terbebas dari krisis ekonomi.
Alhasil, akselerasi ekonomi selama April-Juni seperti harapan semu yang hanya menciptakan euforia sesaat. Terlebih catatan positif itu tercipta karena basis pembandingnya adalah kontraksi ekonomi yang cukup dalam pada kuartal II/2020 (minus 5,32%).
Kredibilitas Fiskal
Untuk menjaga agar roda ekonomi tidak terperosok semakin dalam, pemerintah telah menggelontorkan berbagai insentif perpajakan dan bantuan sosial. Anggaran stimulus ekonomi tidak tanggung-tanggung, yakni mencapai Rp695,2 triliun di tahun 2020 dan Rp688,43 triliun di tahun 2021. Tidak hanya itu, program vaksinasi juga digencarkan dengan total alokasi dana sebesar Rp58,11 triliun.
Semua upaya luar biasa tersebut terbukti efektif dalam mendorong laju ekonomi. Hal itu terlihat dari peran belanja pemerintah yang meningkat signifikan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun kita tahu ada kebocoran dan lagi-lagi yang memuakkan antara lain karena korupsi.
Konsekuensi dari kebijakan fiskal countercyclical ini adalah membengkaknya defisit fiskal menjadi dua kali lebih lebar dari yang selama ini diperbolehkan Undang-Undang Keuangan Negara (3% dari PDB).
Dengan kata lain, mengupayakan utang dalam jumlah besar kembali menjadi pilihan Pemerintah di saat penerimaan negara sedang cekak untuk bisa menutup kebutuhan belanja yang semakin membengkak.
Kementerian Keuangan mencatat, posisi utang pemerintah per akhir Juni 2021 mencapai Rp6.554,56 triliun. Jumlah itu hampir enam kali lipat dari kapasitas APBN atau 41,35% terhadap PDB.
Namun, berutang pun bukan berarti tanpa tantangan di tengah situasi krisis seperti sekarang. Pandemi tampaknya juga turut membatasi sumber pembiayaan murah pemerintah. Sampai-sampai Pemerintah harus melobi Bank Indonesia (BI) agar mau berbagi beban utang (burden sharing) demi menjaga kesinambungan fiskal dan stabilitas sektor keuangan.
Sesuai kesepakatan dengan pemerintah, Bank Sentral harus menyerap atau membeli surat utang negara maksimum 25% dari target lelang. Skema ini menempatkan BI sebagai pembeli obligasi negara terbanyak pada tahun 2020, yakni mencapai Rp601,7 triliun atau 53,8% dari total penerbitan surat utang.
Meskipun berisiko terhadap neraca keuangannya, BI berkomitmen melanjutkan skema burden sharing hingga tahun 2022. Untuk itu, BI mengalokasikan dana hingga Rp439 triliun untuk menyerap obligasi negara sebesar Rp215 triliun pada 2021 dan Rp224 triliun pada 2022. Hal ini menegaskan semakin terbatasnya kapasitas fiskal untuk mengatasi krisis multidimensi saat ini.
Sementara dari sisi penerimaan, setoran pajak ke kas negara tampaknya semakin tertekan dengan adanya pembatasan aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Walapun sebenarnya bukan rahasia umum kalau shortfall pajak selalu menjadi masalah berulang setiap tahun—dengan atau tanpa adanya pandemi atau krisis ekonomi.
Sebagai gambaran, realisasi peneriman pajak tahun 2020 sebesar Rp1.072,1 triliun atau hanya 89,4% dari target APBN. Dengan kata lain terjadi shortfall sebesar Rp126,7 triliun. Menurunnya aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat membuat setoran pajak tahun lalu terkontraksi 19,6% dibandingkan realisasi tahun 2019.
Sementara di semester I tahun ini, setoran pajak yang diterima pemerintah baru sebesar Rp557,7 triliun atau 45,36% dari target Rp1.229,6 triliun di APBN 2021.
Perolehan ini membuat otoritas fiskal perlu berhitung ulang dengan membuat proyeksi penerimaan pajak yang lebih realistis. Pemerintah memperkirakan target penerimaan pajak 2021 kemungkinan hanya akan tercapai sekitar 92,9% atau sebesar Rp1.142,5 triliun sampai akhir tahun.
Resolusi Pajak
Dengan bergantinya tahun dan bertambahnya usia, Indonesia perlu merancang kembali solusi pengelolaan anggaran negara. Terutama dalam mengatasi shortfall pajak dan mengurangi ketergantungan terhadap utang.
Ada beberapa hal yang perlu kita cermati dari shortfall pajak ini. Pertama, perlambatan ekonomi menyebabkan daya beli masyarakat menurun, profitabilitas perusahaan anjlok atau bahkan tidak sedikit yang merugi dan gulung tikar, serta banyak pekerja yang dirumahkan dan kehilangan pendapatan.
Langkah pemerintah dengan meggelontorkan bantuan sosial dan berbagai insentif perpajakan merupakan perlu diapresiasi. Ini membuktikan negara hadir dan tidak tinggal diam. Walaupun obral insentif ini berdampak serius terhadap kontraksi penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana efektifitas kebijakan insentif pajak dalam mendorong kegiatan ekonomi dan investasi? Untuk itu perlu evaluasi dan pengawasan yang ketat mengingat tidak semua fasilitas fiskal termanfaatkan dengan baik oleh wajib pajak.
Di sisi lain, rendahnya basis pajak dan masalah kepatuhan wajib pajak juga menjadi isu klasik. Karenanya, kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi, serta penyederhanaan sistem pajak perlu didorong dan dipercepat.
Perluasan basis pajak juga perlu dilakukan, terutama menyasar sektor-sektor ekonomi yang selama ini belum tergali dan terjamah oleh sistem (underground economy). Geliat industri digital bisa menjadi salah satu sumber penerimaan pajak baru yang cukup potensial di masa depan.
Selain itu, pemerintah juga perlu untuk mencermati kebijakan-kebijakan pajak yang berpotensi menambah beban masyarakat dan dunia usaha. Terutama mengenai tarif pajak yang kurang kompetitif dan objek pajak yang berpotensi double taxation. Modifikasi Perjanjian Penghindaran Pajak berganda (P3B) melalui multilateral instrument on tax treaty (MLI) tampaknya perlu disegerakan, selain juga mengoptimalkan pertukaran informasi keuangan antar-yurisdiksi.
Kepastian hukum, perizinan, keamanan, dan keberlangsungan usaha juga tidak kalah penting bagi wajib pajak. Untuk itu, deregulasi kebijakan melalui skema Omnibuslaw juga harus bisa menjawab semua itu.
Jangan sampai ada lagi pasal-pasal karet yang multitafsir dan ketentuan yang diskriminatif atau tidak adil. Karena perbedaan intepretasi dan implementasi regulasi ini selalu menguras tenaga, waktu, dan biaya sengketa yang lebih mahal, baik bagi wajib pajak maupun fiskus.
Intinya, resolusi kebijakan harus menyeluruh dan menyentuh akar persoalan agar tidak selalu berubah setiap berganti pemerintahan. Enyahkan komorbid ekonomi dan jangan ada lagi penyelewengan anggaran agar upaya pengentasan pandemi dan krisis dengan berutang tak berakhir sia-sia.
Mari kita bersama-sama mengawal kebijakan dan bersatu melawan pandemi.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.