Menyoal Gugatan Uni Eropa Atas Pembatasan Ekspor Nikel Indonesia
Mawla Robbi,
Pada 14 Januari 2021, Uni Eropa mengugat Indonesia ke Badan Penyelesaian Sengketa World Trade Organization (WTO) terkait kebijakan pembatasan ekspor bijih nikel dengan kadar <1,7%. Alasannya karena mineral mentah tersebut merupakan 55% komponen bahan baku industri baja (stainless steel) Uni Eropa dan Indonesia merupakan negara produsen baja terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok.
Nikel merupakan komoditas utama dunia yang digadang-gadang menjadi komoditas strategis untuk masa depan industri otomotif berbasis energi listrik. Nikel merupakan bahan tambang mineral yang bisa menyimpan energi paling baik dan bisa dikombinasikan dengan tenaga surya. Di samping itu, pengolahan dan pemurnian bijih nikel oleh smelter lokal sebelum di ekspor dapat meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut.
Oleh karenanya, Indonesia memiliki kepentingan untuk memprioritaskan konsumsi nikel dalam negeri dan menjadikan hilirisasi nikel sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN).
Restriksi Ekspor
Pengaturan mengenai larangan ekspor bijih nikel dan logam lain sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 103 jo. Pasal 170 Undang-Undang (UU) No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Beleid tersebut menegaskan bahwa pengolahan dan pemurnian hasil tambang wajib dilakukan di dalam negeri dan diberlakukan paling lambat lima tahun setelah diundangkan—seharusnya mulai berlaku sejak tahun 2014.
Hanya saja, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)—melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 25 Tahun 2018—baru akan melarang ekspor mineral mentah pada 11 Januari 2022. Sebelum akhirnya, Permen tersebut diubah dengan Permen ESDM No. 11 Tahun 2019—yang mengatur pokok pembatasan ekspor mineral mentah, termasuk bijih nikel menjadi per 1 Januari 2020.
Intinya, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi hanya dapat mengekspor nikel dengan kadar <1,7% dan itu pun setelah melakukan pemurnian hingga 70% di smelter dalam negeri. Selain itu, produk hasil dari peleburan tersebut wajib terlebih dahulu dipasarkan di dalam negeri hingga kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Segala kewajiban tersebut wajib dipenuhi untuk bisa mendapatkan rekomendasi dari Menteri ESDM. Rekomendasi tersebut merupakan syarat untuk melakukan ekspor sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 1 Tahun 2017 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
Inti Gugatan
Dalam gugatannya, Uni Eropa menganggap kebijakan pembatasan ekspor bijih nikel Indonesia melanggar Pasal XI:1 General Agreement on Tariffs and Trades (GATT) 1994, yang mengatur eliminasi umum atas pembatasan kuantitatif. GATT 1994 merupakan salah satu ruang hukum (annex) yang mengatur perjanjian multilateral atas barang yang wajib dipatuhi oleh semua negara anggota WTO.
Dalam Pasal XI:1 GATT 1994, negara anggota WTO dilarang untuk melakukan pembatasan selain tarif, pajak dan bea lain, dan bukan pembatasan lain termasuk kuota dan perizinan impor atau penjualan dalam rangka ekspor. Larangan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal XI:1 GATT 1994 ini diatur dengan sangat umum.
Dalam praktiknya, pembuktian baik di tahap Panel maupun Appelate Body menggunakan prinsip prima facie case atau pembuktian yang sangat jelas atas segala tuduhan maupun dalil yang diajukan. Sehingga Uni Eropa wajib untuk melakukan pembuktian prima facie untuk dapat membuktikan bahwa Indonesia telah inkonsisten terhadap komitmennya kepada instrumen hukum WTO.
Selain itu, Uni Eropa menuduh Indonesia—melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 76 Tahun 2012 dan PMK No. 105 Tahun 2016—telah melakukan skema subsidi yang dilarang berdasarkan Subsidy and Countervailing Measures (SCM) Agreement. Subsidi terlarang tersebut berupa pengecualian terhadap bea impor pada: (i) perusahaan yang sedang melakukan modernisasi atau pengembangan serta membangun pabrik baru; dan (ii) secara spesifik yang termasuk dalam Wilayah Pengembangan Industri (WPI) potensial I.
Skema subsidi yang dilakukan adalah dengan membebaskan bea impor atas mesin, barang-barang dan material untuk produksi industri dengan tenggat waktu dua tahun dan tambahan satu tahun. Apabila persyaratan yang termasuk dalam WPI potensial II terpenuhi maka masa pengecualian dari bea impor tersebut dapat diperpanjang hingga lima tahun dan tambahan satu tahun.
Ujian Diplomasi Dagang
Pasal XI:1 GATT 1994 memang mengatur secara umum pembatasan impor atau ekspor barang selain dengan tarif, biaya atau pajak. Oleh sebab itu, putusan dari Panel atau Appelate Body WTO dapat dijadikan acuan untuk menguji konsistensi dari penerapan pasal tersebut.
Perlu diketahui bahwa sistem penyelesaian sengketa di WTO dimulai dari tahap konsultasi, kemudian—jika belum selesai—dilanjutkan ke tahap persidangan di Panel. Apabila pihak yang bersengketa belum puas dengan putusan Panel maka dapat dilanjutkan untuk bersidang di Appellate Body.
Uni Eropa menyoroti pembatasan melalui: (i) ekpor bijih nikel dengan kadar <1,7% yang tidak dimurnikan hingga kadar minimal 70%; (ii) kewajiban penggunaan smelter dalam negeri; (iii) kewajiban pemasaran dalam negeri; dan (iv) kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri sebagai tindakan yang inkonsisten terhadap komitmen Indonesia pada GATT 1994. Berkaitan dengan hal tersebut, Uni Eropa wajib membuktikan bahwa Indonesia atas tindakan-tindakannya secara “efektif” membatasi ekspor bijih nikel.
Dalam kasus impor kulit Argentina, Panel mewajibkan penggugat untuk membuktikan bahwa setelah diberlakukannya kebijakan tersebut secara de facto telah terjadi penurunan jumlah impor kulit secara signifikan.
Dalam kasus sejenis yang melibatkan Tiongkok melawan Amerika pada tahun 2013, bahkan Appellate Body membebankan kewajiban pembuktian kepada Amerika selaku penggugat untuk menunjukan data faktual atas penurunan ekspor bahan material.
Pembuktian yang sama tentunya wajib dilakukan juga oleh Uni Eropa atas tuduhan skema subsidi ilegal berdasarkan Pasal 3.1(b) SCM Agreement. Uni Eropa perlu membuktikan bahwa PMK No. 76 Tahun 2012 dan PMK No. 105 Tahun 2016 memenuhi unsur merugikan negara anggota WTO lain, sebagaimana disebutkan dalam putusan Appellate Body di kasus insentif pajak antara Amerika Serikat melawan Uni Eropa.
Meskipun dalam kasus ini Indonesia lebih diuntungkan karena beban pembuktian lebih banyak berada pada Uni Eropa, Indonesia pun sebagai tergugat wajib untuk menyediakan bukti serta argumen yang cukup untuk menyangkal tuduhan-tuduhan inkonsisten kebijakan pembatasan ekspor bijih nikel terhadap komitmen Indonesia selaku anggota WTO. Ujung-ujungnya bergantung pada kemampuan Indonesia berdiplomasi di Mahkamah Agung Perdagangan Dunia. Kira-kira menang siapa ya?
**) Versi singkat tulisan ini telah terbit di Kumparan.com, 5 Februari 2020
Kumparan.comDisclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.