Memandang Keluarga Dari Kacamata Pajak
Pajak merupakan suatu konsep tentang bagaimana sebuah negara memungut iuran dari warganya. Di Indonesia, konsep itu kemudian dituangkan dalam berbagai aturan, mulai dari level Undang-Undang hingga regulasi yang paling teknis.
Secara konsep, aturan pajak di Indonesia mengikat setiap individu atau dengan kata lain, aturan pajak merupakan sebuah aturan yang sangat privat. Namun demikian, dalam implementasinya aturan kewajiban membayar pajak tidak sama rata untuk semua individu.
Ada beberapa faktor pembeda antara kewajiban perpajakan seseorang dengan orang lainnya, seperti kemampuan ekonomi hingga beban yang harus ditanggungnya. Salah satu yang mempengaruhi variable itu adalah keluarga. Kewajiban perpajakan seorang invidu yang berkeluarga akan berbeda dengan kewajiban individu yang belum berkeluarga. Oleh karenanya, sistem perpajakan di Indonesia mengenal istilah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Pada dasarnya PTKP merupakan pengurang penghasilan neto untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi wajib pajak orang pribadi. Kemudian, PTKP dapat diartikan juga besarnya penghasilan yang menjadi batasan tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi.
Nilai PTKP berdasarkan peraturan perpajakan di Indonesia yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut:
- Sebesar Rp54.000.000 untuk diri wajib pajak orang pribadi;
- Sebesar Rp4.500.000 untuk tambahan wajib pajak yang kawin;
- Rp54.000.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU PPh; dan
- Rp4.500.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.
Keluarga Berencana
Berdasarkan uraian di atas, bisa kita lihat bahwa PTKP memiliki posisi strategis dalam kebijakan pemerintah. Tidak hanya dalam hal penerimaan negara, tetapi juga terkait kepentingan ekonomi secara umum melalui pendekatan demografi. Mengapa demikian?
Kalau kita lihat, konsep PTKP ini erat kaitannya dengan salah satu program yang populer di era 90-an, yaitu Keluarga Berencana (KB). Namun demikian, program ini sebetulnya pertama kali muncul pada tahun 1959 yang dipelopori oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang kemudian menjadi suatu gerakan nasional pada tanggal 29 Juni 1970, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Keluarga Nasional.
Program KB yang dikenal saat itu berupa kebijakan pemerintah agar masing-masing keluarga memiliki maksimal 2 anak. Ini merupakan upaya pemerintah mengendalikan pertumbuhan penduduk, agar struktur demografi Indonesia berada dalam kurva yang ideal. Sementara KB menurut versi pajak jumlahnya sedikit lebih banyak yaitu maksimal 3 anak.
Status | Belum Menikah |
Sudah Menikah |
||||
Anak 0 | Anak 1 | Anak 2 | Anak 3 | Anak 4 | ||
Orang Pribadi | 54.000.000 | 54.000.000 | 54.000.000 | 54.000.000 | 54.000.000 | 54.000.000 |
Sudah Menikah | - | 4.500.000 | 4.500.000 | 4.500.000 | 4.500.000 | 4.500.000 |
Anak 1 | - | - | 4.500.000 | 4.500.000 | 4.500.000 | 4.500.000 |
Anak 2 | - | - | - | 4.500.000 | 4.500.000 | 4.500.000 |
Anak 3 | - | - | - | - | 4.500.000 | 4.500.000 |
Anak 4 | - | - | - | - | 4.500.000 | 4.500.000 |
TOTAL | 54.000.000 | 58.500.000 | 63.000.000 | 67.500.000 | 72.000.000 | 72.000.000 |
Coba kita kembali lihat struktur PTKP di atas, seorang wajib pajak bisa memanfaatkan Penghasilan Tidak Kena Pajak jika memiliki maksimal 3 anak. Ketika wajib pajak tersebut memiliki lebih dari 3 anak, maka secara perpajakan hanya 3 orang saja yang tetap diperhitungkan dalam PTKP.
Dengan aturan ini, diharapkan seorang memaksimalkan penghasilan yang menjadi batasan tidak kena pajak dalam penghitungan Pajak Penghasilannya. Jadi, buat kamu yang masih lajang atau sedang dalam program memiliki anak, penting kiranya untuk merencanakan sedini mungkin jumlah anak yang ingin kamu miliki, tentu disertai perhitungan kemampuan ekonomi dan kemampuan membayar pajaknya.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.