Memahami 4 Jenis Sanksi Dalam Pajak
Salah satu alasan mengapa kita harus menjalankan kewajiban perpajakan dengan benar adalah agar terhindar dari sanksi. Setiap kesalahan, meskipun sifatnya administratif, berisiko diganjar dengan sanksi. Apalagi, jika kesalahannya bersifat substantif, risiko sanksi yang akan diterima bisa lebih berat.
Secara spesifik ada empat jenis sanksi yang mengancam dikenakan kepada wajib pajak atas kesalahan yang dilakukan. Pertama, sanksi administratif berupa bunga. Kedua, sanksi administratif berupa denda. Ketiga sanksi administratif berupa kenaikan.
Kemudian, jenis sanksi yang terakhir sanksi berupa hukuman pidana. Berbeda dari tiga jenis sanksi sebelumnya, sanksi pidana bukan termasuk sanksi administratif.
Secara umum, ketentuan mengenai pemberian sanksi pajak tersebut diatur di dalam Undang-undang (UU) No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), sebagaimana yang telah diubah beberapa kali. Di antaranya, melalui UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
Untuk itu, penting bagi wajib pajak untuk memahami perbedaan dari setiap jenis sanksi tersebut. Dengan begitu, wajib pajak bisa semakin patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakan. Supaya terhindar dari risiko terkena sanksi yang berat.
Baca Juga: Tak Ada Penjara, Pahami Sanksi Pajak Baru di UU HPP!
1. Sanksi Bunga
Sanksi bunga dikenakan atas pelanggaran yang dilakukan wajib pajak terkait dengan keterlambatan membayar pajak terutang. Besarnya sanksi bunga tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan serta berapa lama keterlambatan dilakukan.
Semakin lama pembayaran pajak dilakukan nilai sanksi bunga yang harus dibayar akan semakin besar. Sanksi bunga dihitung per bulan mulai dari jatuh tempo pembayaran sampai tanggal pembayaran pajak namun dibatasi maksimal 24 bulan. Besaran tarif bunga ditetapkan berbeda setiap bulannya, tergantung Keputusan Menteri Keuangan.
Berikut ini rincian kesalahan yang dikenakan sanksi berupa bunga, sebagaimana diatur di dalam UU KUP:
No |
Pasal |
Pelanggaran |
1 |
8 ayat (2) dan (2a) |
Pembetulan SPT Masa dan SPT Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar |
2 |
9 ayat (2a) dan (2b) |
Terlambat membayar pajak masa dan tahunan |
3 |
13 ayat (2) |
Kekurangan membayar pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar karena berdasarkan hasil pemeriksaan ditemui pajak yang tidak atau kurang dibayar dan diterbitkan NPWP atau dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan |
4 |
13 ayat (2a) |
Diterbitkan SKPKB karena berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui PKP tidak melakukan penyerahan BKP/JKP atau ekspor BKP/JKP dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) UU PPN |
4 |
14 ayat (3) |
Diterbitkan STP karena PPh tahun berjalan tidak/kurang bayar atau dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung |
5 |
19 ayat (2) |
Mengangsur atau menunda pembayaran pajak |
6 |
19 ayat (3) |
Kurangan bayar pajak karena diperbolehkan menunda penyampaian SPT dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang |
2. Sanksi Denda
Sanksi denda dikenakan karena adanya pelanggaran terkait kewajiban pelaporan oleh wajib pajak. Berbeda dengan sanksi bunga yang ditetapkan perbulan, sanksi denda tidak tergantung pada lamanya keterlambatan terjadi.
Selain itu, penetapannya bervariasi tergantung jenis kesalahannya. Untuk kesalahan tertentu dikenakan sanksi denda sebesar nilai nominal tertentu. Namun, untuk kesalahan lainnya ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau dari jumlah pajak yang kurang bayar.
Berikut adalah rincian kesalahan beserta sanksi denda yang akan dikenakannya, sesuai UU KUP:
No |
Pasal |
Pelanggaran |
Sanksi |
1 |
7 ayat (1) |
Terlambat menyampaikan SPT masa |
|
2 |
7 ayat (1) |
Terlambat menyampaikan SPT Tahunan |
|
3 |
8 ayat (3) |
Pengungkapan Ketidakbenaran |
100 % dari kurang bayar pajak |
4 |
14 ayat (4) |
|
1% dari DPP |
5 |
25 ayat (9) |
Keberatan ditolak atau dikabulkan sebagian |
30% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan |
6 |
27 ayat (5d) |
Banding ditolak atau dikabulkan sebagian |
60% dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. |
3. Sanksi Kenaikan
Sanksi kenaikan dikenakan karena wajib pajak memberikan informasi salah, sebagai dasar penghitungan pembayaran pajaknya. Jika dibandingkan kedua jenis sanksi administratif sebelumnya, yaitu denda dan bunga, sanksi kenaikan relatif lebih besar.
Dalam UU KUP, ada beberapa ketentuan yang mengatur terkait pengenaan sanksi berupa kenaikan. Pertama, Pasal 13 ayat (3) yang mengatur tentang tambahan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 75%.
Tambahan tersebut dikenakan terhadap jumlah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang tidak atau kurang bayar. Serta atas pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) yang kurang atau tidak disetor.
Kedua, sanksi terkait Pasal 15 ayat (2), berupa tambahan kenaikan sanksi sebesar 100% dari pajak yang kurang bayar, karena adanya kekurangan pajak berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).
Ketiga, Pasal 17 ayat (5) dan Pasal 17D ayat (5) berupa sanksi kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pembayaran pajak. Hal ini berlaku jika Wajib Pajak dengan kriteria tertentu atau yang memenuhi persyaratan tertentu telah memperoleh pengembalian pendahuluan, atas kelebihan pajak. Namun berdasarkan diketahui terdapat pajak yang kurang dibayar sehingga diterbitkan SKPKB.
4. Sanksi Kriminal
Sanksi pidana pajak dikenakan karena wajib pajak dianggap melakukan pelanggaran yang menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Meski demikian, pelaksanaan sanksi pidana di Indonesia mengedepankan prinsip ultimum remedium. Maksudnya, penegakan hukum pidana menjadi upaya terakhir yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Sehingga, dengan mengedepankan prinsip tersebut, pemerintah lebih mengedepankan pemulihan kerugian keuangan negara hingga perkara berkekuatan hukum tetap (incracht).
Baca Juga: Unsur ‘Setiap Orang’ dan Ultimatum Remedium dalam Pidana Pajak
Intinya, wajib pajak diberikan kesempatan untuk mengembalikan kerugian pendapatan negara dengan membayar pokok pajak dan sanksi, sebagai pertimbangan untuk dituntut tanpa dijatuhkan pidana penjara.
Konsep ultimum remedium ini kemudian diperkuat di dalam UU HPP. Diantaranya, selain dengan meniadakan pidana penjara, UU HPP juga mengubah besaran sanksi yang harus dibayar pelaku pidana pajak.
Maksudnya, pelaksanaan penyidikan pajak, yang bisa berujung hukuman pidana penjara, dapat dihentikan apabila Wajib Pajak melunasi pajak terutang ditambah sanksi administrasi yang timbul.
Berikut ini besaran ketentuan sanksi terkait pidana pajak yang diatur di dalam UU HPP:
No |
Pasal |
Pelanggaran |
Sanksi |
1 |
39 |
Setiap orang dengan sengaja melakukan:
|
pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun |
2 |
39A |
Setiap orang dengan sengaja:
|
pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 6 tahun |
Demikian, empat jenis sanksi dalam perkara pajak yang perlu untuk dipahami wajib pajak agar terhindari dari risiko pajak yang lebih besar di kemudian hari. (ASP/CHY)