Mari Kawal Kebijakan PPN!
Karsino Miarso,
Rencana kebijakan perpajakan pemerintah kembali menjadi polemik. Kali ini terkait rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang kebutuhan pokok serta sejumlah sektor jasa strategis, seperti jasa pendidikan dan kesehatan. Kehebohan seharusnya tidak perlu terjadi kalau saja transparansi dan sosialisasi dikedepankan dan bukan malah menjadikannya sebagai komoditas politik dalam ruang sempit.
Kalimat terakhir penulis tekankan karena upaya menyederhanakan ketentuan PPN dalam bungkus Omnibus Law ini seolah dikirim tergesa-gesa ke Senayan. Kalau kita lihat sebelumnya, omnibus law selalu muncul tiba-tiba, kurang transparan dan pembahasannya kerap menyelak daftar antrian Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Jangan harap publik bebas mengakses rancangan omnibus law, jika tidak ada media massa yang membocorkan atau media sosial yang memviralkan. Klarifikasi dari otoritas dan juru bicara pemerintah seperti biasa baru muncul belakangan setelah isunya terlanjur liar. Karenanya, wajar dan sangat pantas kalau ini mendapat sorotan publik yang tengah didera berbagai persoalan ekonomi dan sosial akibat pandemi.
Baca juga: PPN Atas Penyerahan Konsinyasi vs Penyerahan Kepada Pedagang Perantara
Padahal, kalau saja pemerintah mau buka-bukaan sejak awal dan menjelaskan dengan bahasa paling sederhana, rakyat pasti bisa mengerti. Terutama terkait maksud dan tujuan dicoretnya bahan kebutuhan pokok, serta jasa pendidikan dan kesehatan dari daftar barang dan jasa tidak kena PPN.
Maksud Tersembunyi
Masalah muncul ketika rakyat—dengan akses dan pengetahuan terbatas—menganalisis sendiri butir-butir Pasal 4A UU PPN yang dihapus dalam draft RUU KUP. Terutama terkait barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan dan jasa kesehatan yang dicoret dari daftar barang dan jasa tidak dikenakan PPN.
Siapapun yang awam pajak sudah pasti akan menyimpulkan bahwa pemerintah akan memajaki barang dan jasa tersebut. Tidak ada yang salah dengan kesimpulan tersebut. Dan tampaknya memang benar rencananya akan seperti itu.
Meskipun ada maksud lain yang tersembunyi—yang bisa jadi mulia—dibalik usulan kebijakan tersebut, upaya reformasi perpajakan jilid sekian ini sepertinya ingin menyederhanakan ketentuan PPN. Yakni, dengan memperjelas definisi Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) yang selama ini rancu dan multitafsir.
Dalam hal ini, barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN kemungkinan akan dipersempit menjadi dua kelompok.
Pertama, barang dan jasa yang telah menjadi objek pajak daerah, seperti pajak hotel dan restoran, retribusi parkir, serta pajak hiburan.
Kedua, barang dan jasa yang secara permanen tidak akan menjadi objek PPN, seperti uang, surat berharga, jasa pemerintahan, jasa keagamaan, dan sebagainya.
Baca juga: Menaikkan Tarif PPN, Mengatasi Masalah (Bukan) Tanpa Masalah More
Terkait isu sensitif yang menjadi polemik, sepertinya pemerintah tidak akan sekejam itu memajaki barang dan jasa yang sangat dibutuhkan masyarakat, khususnya rakyat kecil.
Dalam beberapa kesempatan, Kementerian Keuangan juga sudah mengklarifikasi bahwa hanya bahan pokok, jasa pendidikan dan jasa kesehatan dengan kategori premium yang akan dipajaki. Itupun dengan mempertimbangkan lapisan tarif yang meringankan konsumen. Walaupun sampai sekarang tidak jelas juga definisi ”premium” itu apa. Janji tersebut hanya sebatas ucapan otoritas yang belum tertulis jelas dalam RUU KUP.
Mungkin, dan sepertinya, pemerintah akan mengakomodir janji tersebut dalam Pasal 16B UU PPN. Kalau demikian, berarti bahan kebutuhan pokok, jasa pendidikan dan jasa kesehatan akan dimasukkan dalam barang atau jasa tertentu yang bersifat strategis, yang dapat diberikan fasilitas PPN tidak dipungut.
Artinya, bahan kebutuhan pokok, jasa pendidikan dan jasa kesehatan tetap dapat dikecualikan dari pengenaan PPN. Kemungkinan itu mungkin akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah.
Konsep PPN tidak dipungut ini sebenarnya mirip dengan perlakuan perpajakan atas pemakaian listrik, yang masuk kategori barang kena PPN. Namun, selama ini listrik perumahan dengan daya di bawah 6.600 watt diberikan fasilitas PPN dibebaskan. Kalau benar demikian, sebenarnya tidak masalah karena regulasinya menjadi lebih sederhana.
Kementerian Keuangan juga menegaskan bahwa pemajakan atas bahan kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan ”premium” tidak dalam waktu dekat atau baru akan diterapkan setelah kondisi ekonomi dan sosial kondusif.
Tampaknya, dengan usulan baru ini, pemerintah tengah berupaya memperkuat basis pajak yang berpotensi dikenakan PPN di masa mendatang atau pascapandemi. Terutama berasal dari barang dan jasa yang dikeluarkan dari daftar barang dan jasa tidak kena PPN.
Pentingnya Sosialisasi
Sayangnya, rencana ini tidak terkomunikasikan dengan baik ke masyarakat. Alih-alih mendapat dukungan, justru ditentang banyak kalangan yang terlanjur curiga dengan sikap pemerintah yang apa-apa serba rahasia. Terlebih isu ini muncul di tengah kondisi masyarakat yang tengah terbebani masalah kesehatan, ekonomi, dan sosial akibat pandemi COVID-19.
Pemerintah harus menghargai para pembayar pajak dengan mendengarkan aspirasi semua pihak dalam pengambilan kebijakan. Karenanya, transparansi dan akuntabilitas harus dikedepankan, mulai dari tahapan perencanaan, pembahasan, eksekusi, hingga evaluasi kebijakan. Kuncinya adalah komunikasi dan sosialisasi secara aktif ke semua lapisan masyarakat.
Meskipun terlambat, penulis mengapresiasi upaya pemerintah meluruskan isu yang terlanjut liar ini. Pemerintah sudah berjanji tidak akan serampangan memajaki bahan kebutuhan pokok, jasa pendidikan dan layanan kesehatan. Mari kita kawal dan pegang janji tersebut, karena kemungkinan sekecil apapun bisa saja mengubah sikap pengambil kebijakan di kemudian hari.
**) Versi singkat tulisan ini telah terbit di Kompas.com, 29 Juni 2021
Kompas.comDisclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.