Opinion

Jangan Terjebak Perang Tarif!



Jangan Terjebak Perang Tarif!

Rencana aksi penanganan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang digagas oleh OECD dan G20 tampaknya tidak efektif meredam perang tarif global.

Sebab, Amerika Serikat (AS) akan melakukan reformasi perpajakan besar-besaran untuk kurun tahun 2018-2025 menyusul disahkannya Undang-Undang (UU) Pemotongan Pajak dan Penciptaan Lapangan Kerja (the Tax Cuts and Jobs Act). Beberapa poin utama kebijakan dalam UU itu antara lain memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) korporasi dari level tertinggi 35% menjadi 21% untuk pendapatan di atas US$10 juta. Sedangkan untuk tarif PPh individu diturunkan dari level tertinggi 39,6% menjadi 37%.

Implementasi dari UU ini dapat mendorong negara lain untuk melakukan kebijakan serupa yang pada akhirnya memicu terjadinya perang tarif pajak atau “race to the bottom.”

Pemangkasan pajak individu di AS juga dibarengi dengan perubahan lapisan penghasilan yang dikenakan tarif pajak tertinggi, dari US$418.000 (single) dan US$471.000 (menikah dengan pencatatan digabung) menjadi US$500.000 (single) dan US$ 600.000 (menikah dengan pencatatan digabung).

Beleid baru ini juga menegaskan, wajib pajak yang merepatriasi aset berupa dana tunai atau aset setara kas yang bersumber dari keuntungan luar negeri dikenakan tarif 15,5%. Tarif pajaknya menjadi lebih murah, yakni hanya 8% jika penghasilan dari luar negeri itu diinvestasikan kembali di dalam negeri.

Tak hanya itu, Pemerintahan Trump juga mengubah sistem pajak AS dari worldwide income menjadi territorial income dan menghapus ketentuan alternative pajak minimum bagi korporasi (Shuster, 2017).

Kebijakan ini diklaim Presiden Donald Trump sebagai pemotongan pajak terbesar sepanjang sejarah Negeri Paman Sam. Reformasi pajak AS kali ini merupakan terobosan radikal sekaligus kontroversial yang dilakukan Trump guna mengembalikan kejayaan ekonomi AS yang dalam satu dekade terakhir tersungkur akibat krisis keuangan tahun 2008.

Latar belakang

Sejak krisis Subprime Mortgage, ekonomi AS mengalami resesi hebat. Ekonomi anjlok, Dollar kabur, dan pengangguran merajalela. Trump, yang berlatar-belakang pengusaha sempat ikut serta mengalihkan sebagian modalnya ke sektor properti di Indonesia.

Respons pertama yang dilakukan pemerintahan perdana Barack Obama kala itu untuk menanggulangi krisis adalah dengan menggelontorkan kebijakan stimulus besar-besaran berupa pemotongan pajak (tax rebates) sebesar US$800 per rumah tangga atau senilai total US$150 miliar. Sementara The Fed sebagai otoritas moneter mengimbanginya dengan memangkas suku bunga acuan hingga mendekati nol persen guna meningkatkan daya beli masyarakat AS.

Setelah empat tahun berjalan, AS mengubah arah kebijakannya dengan sedikit demi sedikit mengurangi porsi stimulus (Tapering off). Secara bertahap, The Fed melakukan pembelian aset-aset keuangan (quantitative easing) dan menaikkan kembali suku bunga acuan. Butuh satu dekade untuk memperbaiki keadaan, meski belum sepenuhnya pulih sampai sekarang.

Lambatnya pemulihan ekonomi AS, yang ditandai dengan inflasi rendah dan pengangguran yang masih tinggi (Appelbaum, 2017), menjadi isu panas yang mewarnai kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS 2016. Seolah tak mau kalah dengan pendahulunya, Trump pun dalam kampanyenya menjanjikan pemangkasan pajak terbesar dalam sejarah AS. Bahkan, Ia menawarkan keringanan pajak bagi perusahaan multinasional yang membawa pulang modalnya.

Risiko Perang Tarif dan Dilema Sovereignty

Isu perang tarif pajak sejatinya bukan kabar baru. Wacana ini sudah mengemuka sejak beberapa tahun terakhir seiring dengan maraknya aksi penghindaran pajak dengan modus mengalihkan keuntungan ke negara bertarif pajak rendah ataupun yurisdiksi bebas pajak (tax haven).

Di sisi lain, hampir seluruh negara dihadapkan pada kebutuhan pendanaan pembangunan yang makin besar pasca-diguncang krisis keuangan global. Reformasi sistem perpajakan, yang salah satunya dengan menurunkan tarif pajak, menjadi salah satu opsi yang paling diperhitungkan banyak negara guna merangsang investasi masuk sekaligus meningkatkan basis pajak. Selain beragam insentif dan keringanan pajak yang lazim diterapkan penyelenggara negara. Amerika Serikat, Australia, India, Filipina, China, Korea Selatan, dan Malaysia masuk dalam deretan negara yang sangat berhasrat untuk memangkas tarif pajaknya. Pun Indonesia ikut tergoda untuk menurunkan tarih PPh badan mendekati level tarif negara tetangga di kawasan Asean.

Setiap negara pada hakekatnya punya hak dan kedaulatan (sovereignty) untuk mengelola sistem perpajakannya sendiri. Namun, mengingat pentingnya kerjasama ekonomi dan investasi, baik secara bilateral maupun multilateral, maka perlu penerapan sistem pajak yang berkeadilan, termasuk soal tarif pajak. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty merupakan contoh kongkret kerjasama bilateral dalam konteks praktik perpajakan internasional. Kembali soal pemangkasan tarif pajak, dalam jangka pendek kebijakan ini sangat mungkin berdampak positif terhadap peningkatan daya beli, investasi, dan perekonomian suatu negara. Namun dalam jangka panjang, pemotongan pajak yang membabi buta tanpa diimbangi dengan optimalisasi sumber penerimaan baru justru menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meluluhlantakan perekonomian.

Dalam kasus Amerika, Pemerintahan Trump seharusnya sadar akan konsekuensi dari pemotongan tarif besar-besaran. Sebab, kebijakan ini akan menggerus penerimaan negara hingga US$1,5 triliun dalam satu dekade ke depan. Di sisi lain, ada kebutuhan anggaran yang cukup besar setiap tahunnya untuk membayar jaminan sosial dan kesehatan dari jutaan rakyat Amerika yang akan memasuki masa pensiun. Pada tahun 2017, sekitar 45 juta orang Amerika menerima cek pensiun Jaminan Sosial. Jumlahnya diprediksi meningkat menjadi 60 juta orang pada tahun 2027. Konsekuensinya, jika pada tahun ini defisit fiskal AS dianggarkan sebesar US$487 miliar, maka dalam sepuluh tahun ke depan diprediksi bakal melonjak tiga kali lipat (Harwood, 2017). Apabila risiko tidak diantisipasi dan dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin penarikan utang skala besar akan kembali menjerumuskan Negeri Paman Sam dalam jurang krisis keuangan baru yang lebih dalam.

Ini baru satu negara, dan Amerika pula. Dalam konteks globalisasi, krisis ekonomi Amerika sama dengan krisis ekonomi dunia. Bayangkan jika banyak negara berlompa-lomba menerapkan kebijakan yang sama. Dapat dipastikan risikonya akan semakin besar lagi.

Wajar jika pemimpin negara-negara G20 menaruh perhatian yang besar terhadap upaya meredam kompetisi pajak global. Tapi hanya sebatas perhatian, yang jika dibulatkan menjadi komitmen penolakan perang tarif pun tak akan kuasa melawan kedaulatan suatu negara. Kalaupun melanggar, seperti AS misalnya, paling-paling hanya dikucilkan dari pergaulan global, yang suatu saat bisa saja mesra lagi demi kepentingan ekonomi.

Karenanya penting bagi negara-negara G20 untuk melakukan upaya bersama guna menghentikan kompetisi pajak global yang sifatnya membahayakan. Masalahnya, kesepakatan atau komitmen global untuk menghentikan perang tarif tidak cukup untuk menghadapi kedaulatan suatu negara. Jika terjadi pelanggaran, sanksi tersebut hanya merupakan isolasi dari masyarakat global, yang dapat dihapus sewaktu-waktu dengan pertimbangan kepentingan ekonomi.

Risiko lain yang juga seharusnya dipertimbangkan oleh Amerika adalah dampak perubahan sistem pemajakan, dari worldwide income menjadi territorial income. Alih-alih mendorong investasi melalui pemangkasan tarif pajak, yang terjadi justru bisa sebaliknya yakni merangsang investor lokal untuk menanamkan modalnya di luar negeri. Sebab, sistem pemajakan territorial income hanya akan memajaki penghasilan yang diterima wajib pajak di dalam negeri, sedangkan yang bersumber dari luar negeri dibebaskan dari pajak. Selain juga, kebijakan ini akan menegasikan fungsi dari Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty.

Jangan Latah

Setiap kebijakan selalu menuai pro dan kontra. Dalam konteks perang tarif, Indonesia sebagai negara berdaulat sah-sah saja jika ingin mengikuti jejak Amerika. Terlebih, terbuka ruang saat ini untuk melakukan reformasi sistem perpajakan termasuk kemungkinan menurunkan tarif melalui revisi paket Undang-Undang perpajakan yang kini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018.

Namun, Indonesia sebaiknya tak perlu latah mengikuti kebijakan Paman Sam. Pertimbangkan secara serius aspirasi para pembayar pajak. Apakah betul yang membuat mereka tidak patuh semata-mata karena tarif pajak yang ketinggian? Atau jangan-jangan, ini soal sistem perpajakan yang ribet, peraturan perpajakan yang multitafsir, dan sulit dipahami oleh Wajib Pajak yang mayoritas masyarakat awam.

Jika persoalannya yang kedua, mau tarif pajak diturunkan serendah apapun kalau persoalan administrasi dan pelayanan pajak tidak disimplifikasi, jangan harap terbangun pemahaman dan kesadaran rakyat untuk membayar pajak.

*Versi singkat artikel ini telah terbit di www.jakartaglobe.id, Rabu, 18 Januari 2018.

 

https://mucglobal.com/upload/taxguide/files/TaxGuide2018-11-Indonesia.pdf

Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP

Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.
dari server baru