Hitung Pajak, Tidak Semua Pengusaha Wajib Siapkan Laporan Keuangan
Informasi yang akurat harus menjadi dasar wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, baik orang pribadi maupun badan. Terutama, informasi yang terkait dengan kondisi finansial wajib pajak, seperti penghasilan, biaya dan harta yang diperoleh.
Karena itu, penting bagi wajib pajak untuk mendokumentasikan setiap transaksi ke dalam pembukuan.
Pembukuan merupakan proses pencatatan yang dilakukan secara teratur. Tujuannya untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang terdiri dari harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa.
Produk akhir dari proses pembukuan disebut laporan keuangan yang terdiri dari neraca (balance sheet), laporan laba rugi dan arus kas.
Baca Juga: DJP Sederhanakan Penyampaian SPT Badan, Pengusaha dan Pekerja Bebas
WP Wajib Lakukan Pembukuan
Tidak hanya penting, membuat pembukuan sifatnya wajib bagi setiap wajib pajak sebagai dasar menghitung PPh terutang. Hal ini sebagaimana tertuang di dalam Pasal 28 Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
Ketentuan mengenai pembukuan dan pencatatan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 54/PMK.03/2021. Beleid ini melengkapi aturan mengenai pembukuan dan pencatatan yang sebelumnya sudah diatur dalam PMK namun bersifat spesifik, yaitu PMK No. 196/PMK.03/2007.
Adapun aturan tersebut terakhir diubah dengan PMK No. 123/PMK.03/2019 tentang Pembukuan dalam Bahasa Asing dan Mata Uang Selain Rupiah, serta PMK No. 197/PMK.03/2007 tentang Bentuk dan Tata Cara Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi.
Baca Juga: Fasilitas PPh Final UMKM 0,5% Diperluas
Pengusaha yang Boleh Buat Pencatatan
Sesuai PMK 54/PMK.03/2021, wajib pajak tertentu diberikan kebebasan untuk membuat pembukuan atau hanya sekadar pencatatan.
Informasi yang disampaikan dalam pencatatan tidak selengkap pembukuan, karena hanya terkait dengan peredaran usaha bruto yang diterima. Sehingga bisa dikatakan, data yang ada di dalam pencatatan merupakan bagian informasi yang harus ada di dalam pembukuan. Meskipun informasinya tidak selengkap pembukuan, pencatatan harus dilakukan secara teratur.
Wajib pajak yang boleh melakukan pencatatan, yaitu individu yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dan individu yang kegiatan usaha atau pekerjaan bebasnya dikenai PPh Final atau bukan objek pajak dengan omzet maksimal Rp 4,8 Miliar.
Namun, di samping itu pencatatan juga boleh dilakukan oleh individu yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas (misalnya individu yang bekerja sebagai karyawan saja).
Wajib pajak dapat melakukan pencatatan secara elektronik maupun manual. Selain itu perlu diingat, wajib pajak juga harus menyimpan semua buku, catatan dan dokumen yang menjadi dasar pencatatannya selama 10 tahun di Indonesia.
Baca Juga: DJP Tak Periksa Restitusi Pajak Royalti WP Pekerja Bebas
WP Pengguna NPPN
Penggunaan NPPN oleh wajib pajak orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerja bebas bertujuan untuk mempermudah penghitungan pajak terutang.
Sebab, dengan NPPN wajib pajak bisa mengetahui besarnya penghasilan neto yang menjadi dasar penghitungan PPh. Mengingat, tidak memiliki catatan atas biaya yang dikeluarkan terkait pekerjaan atau usahanya.
Besaran NPPN ditetapkan berbeda sesuai daerah tempat domisili wajib pajak. Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-17/PJ/2015, besaran NPPN diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama terdiri dari 10 kota besar di Indonesia, kelompok kedua, provinsi lain selain 10 kota besar pada kelompok pertama dan kelompok terakhir untuk yang berada di daerah lainnya.
Untuk dapat menggunakan NPPN, pelaku usaha maupun pekerja bebas harus mengajukan pemberitahuan kepada DJP, paling lambat tiga bulan sejak terdaftar pada akhir tahun pajak tergantung mana yang lebih dahulu. Jika tidak, akan dianggap menggunakan pembukuan.
WP Pelaku Usaha dan Pekerja Bebas Tanpa NPPN
Sementara bagi wajib pajak orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerja bebas namun penghasilan yang diperolehnya merupakan objek PPh final dan bukan objek pajak, tidak perlu menggunakan NPPN.
Sehingga, karena tidak menggunakan NPPN, PPh terutangnya dihitung berdasarkan pada nilai penghasilan bruto.
Syaratnya, jumlah penghasilan yang diterimanya dalam satu tahun maksimal Rp 4,8 miliar. Hal ini tertuang di dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c PMK No. 54/PMK.03/2021.
WP Bukan Pekerja Bebas atau Pelaku Usaha
Bagi WP yang bukan pelaku usaha ataupun pekerja bebas, misalnya individu yang hanya bekerja sebagai karyawan, boleh melakukan pencatatan.
Pencatatan yang dibuat meliputi, penghasilan bruto yang dikenai PPh non final, serta biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut.
Selain itu, jika ada, penghasilan bruto yang bukan objek pajak atau yang dikenai PPh final juga dimasukkan dalam pencatatan.
Kabar baiknya, berdasarkan Lampiran PER-04/PJ/2009, bagi Wajib Pajak orang pribadi yang penghasilannya hanya berasal dari pemberi kerja, menyimpan dokumen berupa formulir 1721-A1/1721-A2 (bukti potong PPh 21) sudah dapat dianggap melakukan pencatatan. (ASP/CND)