Bank Dunia: Pembebasan PPN Sebaiknya Dihapus
JAKARTA. Bank Dunia menyarankan pemerintah Indonesia untuk menghapus fasilitas pengecualian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang dan jasa.
Bank Dunia menganggap pemberian fasilitas itu dapat meningkatkan kesenjangan ekonomi di Indonesia. Selain itu, kebijakan ini juga bisa menekan angka kemiskinan di Indonesia.
Pasalnya, pembebasan PPN tidak hanya dinikmati oleh rumah tangga miskin, tetapi juga dinikmati oleh rumah tangga yang lebih kaya dengan jumlah yang lebih banyak.
Hal itu disampaikan Bank Dunia dalam laporan terbarunya berjudul "Indonesia Poverty Assessment- Pathways towards Economic Security" yang dirilis pada Senin (8/5).
Baca Juga: Skema Fasilitas PPN Disederhanakan
Di dalam laporan itu Bank Dunia menyebut pemberian fasilitas itu telah menggerus sepertiga dari potensi penerimaan PPN. Jumlah itu juga setara dengan 0,7% dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan penghapusan fasilitas pembebasan PPN itu, Indonesia juga akan memiliki tambahan penerimaan negara. Tambahan penerimaan tersebut nantinya bisa digunakan untuk mendanai program bantuan sosial bagi masyarakat miskin.
Baca Juga: Potensi Masalah di Balik Perluasan Objek PPN
Pajak Tembakau, Alkohol dan Gula
Selain itu, untuk meningkatkan ruang fiskal Indonesia, Bank Dunia juga menyarankan pemerintah untuk meningkatkan pajak atas alkohol dan tembakau, serta mengenakan pajak atas minuman berpemanis.
Pasalnya tembakau, alkohol dan minuman berpemanis dianggap memiliki dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat. Implikasinya, akan mendorong anggaran biaya kesehatan masyarakat.
Pengenaan pajak atas ketiga produk tersebut dianggap akan menekan konsumsinya. Selain itu, pemerintah juga akan mendapatkan tambahan penerimaan.
Baca Juga: Menyoal Perluasan Basis Pajak: Penurunan Treshold PPN vs PPh Final UMKM
Dorong Implementasi Pajak Karbon
Bank Dunia juga mendorong pemerintah Indonesia untuk segera melaksanakan pengenaan pajak atas karbon. Sebab, pajak karbon dinilai dapat meningkatkan penerimaan dan membuat investasi di sektor karbon tinggi menjadi kurang menarik.
Sehingga, daya saing ekspor Indonesia akan meningkat. Terutama ekspor yang berkaitan dengan negara-negara yang mengenakan tarif impor untuk produk-produk berkandungan karbon tinggi, seperti Uni Eropa.
Namun demikian, kebijakan di dibidang fiskal ini tidak dapat berdiri sendiri. Untuk menekan angka kemiskinan dan mempersempit ketimpangan ekonomi.
Beberapa kebijakan lain yang harus dilakukan seperti penghapusan subsidi energi dan pertanian, meningkatkan investasi di bidang infrastruktur, mendorong peran masyarakat dalam sistem keuangan digital hingga meningkatkan kapasitas administrasi daerah dalam menyerap anggaran belanja. (ASP)