2023, Pemerintah Bersiap Pungut Cukai Plastik dan Minuman Manis
Pemerintah tidak hanya memastikan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (rokok) tetapi juga bersiap mengenakan cukai atas plastik dan minuman berpemanis mulai tahun depan.
Rencana penambahan barang kena cukai tersebut diungkap langsung oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani ketika menerima kunjungan MUC Tax Guide di ruang kerjanya, Kamis (27/10/2022).
“Tahun 2023 kami tetap siapkan regulasinya (cukai plastik), termasuk juga cukai minuman berpemanis,” tegas Askolani.
Mantan Direktur Jenderal Anggaran tersebut mengungkapkan, rencana pengenaan cukai plastik sebenarnya sudah dirancang sejak tahun 2020. Namun eksekusinya tertunda karena pandemi memukul perekonomian masyarakat dan industri. “Sampai tahun 2022 belum bisa kami eksekusi.”
Untuk itu, lanjutnya, pihaknya telah bersiap dan bersiaga jika pemerintah memutuskan untuk mulai membelakukan cukai plastik dan minuman berpemanis pada tahun depan. Akan tetapi, semua akan tergantung situasi dan kondisi ekonomi global dan domestik.
“Sama kaya 2022, sudah kami siapkan tapi momentumnya kurang pas. Jadi sangat tergantung kondisi 2023,” tegas Askolani.
Sebelumnya, Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan rerata kenaikan tarif cukai hasil tembakau sekitar 10% mulai tahun 2-23 dan 2024.
Rinciannya, tarif cukai Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan I dan II naik sekitar 11,5%-11,75%; Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan I dan II naik 11%-12%; serta Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan I, II dan II naik sekitar 5%. Pemerintah juga akan menaikkan tarif cukai rokok elektrik dan produk hasil pengolahan tembakau lainnya masing-masing sekitar 15% dan 6% selama lima tahun ke depan.
Baca juga: Pemerintah Putuskan Tahun 2023 dan 2024 Tarif Cukai Rokok Naik 10%
Askolani menjelaskan, pemerintah sudah punya formula perhitungan dan selalu mempertimbangkan banyak factor sebelum menyesuaikan tarif cukai. Antara lain dengan mendengarkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk World Health Organization (WHO), yang fokus terhadap masalah kesehatan.
“Kalau pertimbangnya dari sisi kesehatan maka tarif harus dinaikan setinggi-tingginya. Tapi kan kami harus melihat juga dari sisi industrinya,” jelasnya.
Menurut Askolani, yang membedakan industri rokok di Indonesia dengan di negara lain adalah karakteristik produksinya yang massif dan padat karya. Bahkan, industri rokok di Indonesia punya pengaruh penting terhadap kelangsungan pertanian tembakau, serapan tenaga kerja dan pendapatan petani dan buruh yang terlibat. “Kalau pertimbangannya hanya dari sisi industri maka harapannya kenaikan tarif tidak terlalu tinggi,” Katanya. (AGS)