Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2017

Wed, 21 June 2017

Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, yang Tidak Benar

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 81/PMK.03/2017

TENTANG

PENGURANGAN DENDA ADMINISTRASI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN
PENGURANGAN ATAU PEMBATALAN SURAT PEMBERITAHUAN
PAJAK TERUTANG, SURAT KETETAPAN PAJAK PAJAK BUMI
DAN BANGUNAN, SURAT TAGIHAN PAJAK PAJAK BUMI
DAN BANGUNAN, YANG TIDAK BENAR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa ketentuan tentang pengurangan denda administrasi pajak bumi dan bangunan, pengurangan atau pembatalan surat pemberitahuan pajak terutang, surat ketetapan pajak pajak bumi dan bangunan yang tidak benar, dan pembatalan surat tagihan pajak pajak bumi dan bangunan, yang tidak benar, telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang Tidak Benar;
  2. bahwa sesuai ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang, Direktur Jenderal karena jabatan dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa denda dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
  3. bahwa sesuai ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang, Direktur Jenderal karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
  4. bahwa sesuai ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang, Direktur Jenderal karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan surat tagihan pajak;
  5. bahwa sesuai ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, atas permintaan Wajib Pajak Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan denda administrasi karena hal-hal tertentu;
  6. bahwa berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan telah dialihkan sebagai pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota;
  7. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, yang Tidak Benar;


Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);



MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGURANGAN DENDA ADMINISTRASI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN PENGURANGAN ATAU PEMBATALAN SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERUTANG, SURAT KETETAPAN PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN, SURAT TAGIHAN PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN, YANG TIDAK BENAR.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PBB adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  2. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PBB yang meliputi sektor perkebunan, sektor perhutanan, sektor pertambangan, dan sektor lainnya.
  3. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB yang terutang kepada Wajib Pajak.
  4. Surat Ketetapan Pajak PBB yang selanjutnya disingkat SKP PBB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya pokok PBB atau selisih pokok PBB, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah PBB yang terutang.
  5. Surat Tagihan Pajak PBB yang selanjutnya disingkat STP PBB adalah surat tagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang PBB.
  6. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat KPP adalah Kantor Pelayanan Pajak tempat objek pajak PBB terdaftar.



BAB II
PENGURANGAN DENDA ADMINISTRASI PBB

Pasal 2


(1)Direktur Jenderal Pajak atas permintaan Wajib Pajak dapat mengurangkan denda administrasi PBB karena hal-hal tertentu.
(2)Denda administrasi PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) yang dihitung dari pokok pajak yang tercantum dalam SKP PBB; atau
  2. denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan yang tercantum dalam STP PBB.
(3)Hal-hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: 
  1. kealpaan Wajib Pajak;
  2. bukan kesalahan Wajib Pajak;
  3. Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas pada:
    1. akhir tahun buku sebelum tahun pengajuan permintaan pengurangan denda administrasi PBB, dalam hal Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan; atau
    2. akhir tahun kalender sebelum tahun pengajuan permintaan pengurangan denda administrasi PBB, dalam hal Wajib Pajak melakukan pencatatan;
  4. terjadi bencana alam atau kejadian luar biasa lainnya sehingga Wajib Pajak tidak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya; atau
  5. hal-hal lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
(4)Kesulitan likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan kondisi ketidakmampuan Wajib Pajak dalam membayar utang jangka pendeknya dengan kas yang diperoleh dari kegiatan usaha.
(5)Bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, atau tanah longsor.
(6)Kejadian luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d antara lain kebakaran, huru-hara, atau kerusuhan.



Pasal 3


(1)Pengurangan denda administrasi PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diajukan dengan menyampaikan permintaan pengurangan denda administrasi PBB kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP.
(2)Permintaan pengurangan denda administrasi PBB yang tercantum dalam SKP PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dapat diajukan sepanjang SKP PBB tersebut:
  1. tidak diajukan keberatan;
  2. diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan;
  3. diajukan keberatan tetapi dicabut oleh Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak telah menyetujui permohonan pencabutan Wajib Pajak tersebut;
  4. tidak diajukan permohonan pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang PBB atau diajukan permohonan pengurangan PBB tetapi dianggap bukan sebagai permohonan;
  5. tidak diajukan permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar atau diajukan permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar tetapi dianggap bukan sebagai permohonan; atau
  6. tidak diajukan permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar atau diajukan permohonan pembatalan tetapi dianggap bukan sebagai permohonan.
(3)Permintaan pengurangan denda administrasi PBB yang tercantum dalam STP PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dapat diajukan sepanjang:
  1. SPPT atau SKP PBB tidak diajukan keberatan;
  2. SPPT atau SKP PBB diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan;
  3. SPPT atau SKP PBB diajukan keberatan tetapi dicabut oleh Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak telah menyetujui permohonan pencabutan Wajib Pajak tersebut;
  4. SPPT atau SKP PBB tidak diajukan permohonan pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang PBB atau diajukan permohonan pengurangan PBB tetapi dianggap bukan sebagai permohonan;
  5. SKP PBB tidak diajukan permintaan pengurangan denda administrasi PBB atau diajukan permintaan pengurangan denda administrasi PBB atas SKP PBB tetapi dianggap bukan sebagai permintaan;
  6. SPPT atau SKP PBB tidak diajukan permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar atau diajukan permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar tetapi dianggap bukan sebagai permohonan; atau
  7. SPPT, SKP PBB atau STP PBB tidak diajukan permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar atau diajukan permohonan pembatalan tetapi dianggap bukan sebagai permohonan.
(4)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak berlaku dalam hal objek pajak terkena bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) atau kejadian luar biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6).
(5)Untuk dapat mengajukan permintaan pengurangan denda administrasi PBB terhadap objek pajak yang terkena bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) atau kejadian luar biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6), Wajib Pajak harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. mencabut pengajuan Keberatan PBB, Banding, atau Peninjauan Kembali;
  2. mencabut permohonan Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan PBB Yang Tidak Benar, atau pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang PBB,
dalam hal atas pengajuan atau permohonan dimaksud belum diterbitkan keputusan atau putusan.
(6)Permintaan pengurangan denda administrasi PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. 1 (satu) permintaan untuk 1 (satu) SKP PBB atau STP PBB;
  2. permintaan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  3. mengemukakan besarnya denda administrasi PBB yang dimintakan pengurangan dengan disertai alasan;
  4. Wajib Pajak telah melunasi PBB yang tidak atau kurang dibayar yang menjadi dasar penghitungan denda administrasi yang tercantum dalam SKP PBB atau STP PBB; dan
  5. ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal surat permintaan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat permintaan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
(7)Surat permintaan pengurangan denda administrasi PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.



Pasal 4


(1)Surat permintaan pengurangan denda administrasi PBB disampaikan dengan cara:
  1. langsung;
  2. dikirim melalui pos dengan bukti pengiriman surat secara tercatat; atau
  3. dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(2)Penyampaian surat permintaan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan bukti penerimaan surat oleh pegawai yang ditunjuk di KPP.
(3)Bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c, merupakan bukti penerimaan surat permintaan.
(4)Tanggal yang tercantum pada bukti penerimaan surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan tanggal surat permintaan diterima.



Pasal 5


Direktur Jenderal Pajak melakukan pengujian, penelitian, dan memberikan keputusan atas permintaan pengurangan denda administrasi PBB.


Pasal 6


(1)Direktur Jenderal Pajak melakukan pengujian terhadap pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) sampai dengan ayat (5) atas permintaan pengurangan denda administrasi PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
(2)Dalam hal permintaan pengurangan denda administrasi PBB telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti permintaan pengurangan denda administrasi PBB dimaksud dengan melakukan penelitian.
(3)Dalam hal permintaan pengurangan denda administrasi PBB tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak mengembalikan permintaan tersebut dengan menyampaikan surat yang berisi alasan pengembalian permintaan pengurangan denda administrasi PBB.
(4)Dalam hal permintaan pengurangan denda administrasi PBB dikembalikan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6), permintaan pengurangan denda administrasi PBB dianggap bukan sebagai permintaan sehingga Wajib Pajak dapat mengajukan kembali permintaan tersebut setelah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6).
(5)Terhadap permintaan pengurangan denda administrasi PBB yang dikembalikan karena tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) sampai dengan ayat (5), Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permintaan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
(6)Surat pengembalian permintaan pengurangan denda administrasi PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.



Pasal 7


(1)Dalam rangka melakukan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan kepada Wajib Pajak melalui:
  1. penyampaian surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan; dan/atau
  2. peninjauan di lokasi objek pajak, tempat kedudukan Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu yang meliputi kegiatan identifikasi, pengukuran, pemetaan, dan/atau penghimpunan data, keterangan, dan/atau bukti, mengenai objek pajak yang diajukan pengurangan denda administrasi PBB.
(2)Wajib Pajak harus memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan dikirim.
(3)Dalam hal diperlukan Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan kepada Wajib Pajak dengan menyampaikan surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan.
(4)Wajib Pajak harus memberikan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan yang diminta dalam jangka waktu paling lama sebagaimana disebut dalam surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan.
(5)Surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C dan surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(6)Dalam rangka permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan melalui peninjauan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Direktur Jenderal Pajak terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
(7)Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruh permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3), Direktur Jenderal Pajak melakukan pemrosesan lebih lanjut terhadap permintaan pengurangan denda administrasi PBB sesuai dengan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan yang diterima dan/atau yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(8)Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat dengan menggunakan contoh format yang tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


  

Pasal 8


(1)Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pengurangan denda administrasi PBB dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal surat permintaan pengurangan denda administrasi PBB diterima.
(2)Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa mengabulkan seluruhnya, mengabulkan sebagian, atau menolak permintaan Wajib Pajak.
(3)Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan pengurangan denda administrasi PBB, permintaan yang diajukan dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan pengurangan denda administrasi PBB sesuai dengan permintaan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu dimaksud berakhir.
(4)Dalam hal terdapat permintaan keterangan secara tertulis dari Wajib Pajak mengenai keputusan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk mengabulkan sebagian atau menolak permintaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5)Surat keputusan pengurangan denda administrasi PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.



Pasal 9


Terhadap SKP PBB atau STP PBB yang telah diajukan permintaan pengurangan denda administrasi PBB dan telah diterbitkan surat keputusan pengurangan denda administrasi PBB tidak dapat diajukan lagi permintaan pengurangan denda administrasi PBB untuk SKP PBB atau STP PBB yang sama.


Pasal 10


(1)Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan terhadap surat permintaan pengurangan denda administrasi PBB sebelum surat keputusan pengurangan denda administrasi PBB diterbitkan.
(2)Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  2. disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP; dan
  3. ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat pencabutan ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat pencabutan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)Direktur Jenderal Pajak memberikan jawaban atas surat pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum surat keputusan pengurangan denda administrasi PBB diterbitkan.
(4)Dalam hal Wajib Pajak melakukan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak tidak berhak untuk mengajukan kembali permintaan pengurangan denda administrasi PBB untuk SKP PBB atau STP PBB yang sama.
(5)Surat pencabutan permintaan pengurangan denda administrasi PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(6)Surat jawaban atas pencabutan permintaan pengurangan denda administrasi PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.



BAB III
PENGURANGAN SPPT ATAU SKP PBB YANG TIDAK BENAR

Pasal 11


(1)Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar.
(2)Pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan dalam hal terdapat ketidakbenaran materi dalam penetapan besarnya PBB yang terutang pada SPPT atau SKP PBB.

   

Pasal 12


(1)Permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak dan disampaikan melalui Kepala KPP.
(2)Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan dalam hal:
  1. SPPT atau SKP PBB tidak diajukan keberatan;
  2. SPPT atau SKP PBB diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan;
  3. SPPT atau SKP PBB tidak diajukan permohonan pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang PBB;
  4. SKP PBB tidak diajukan permintaan pengurangan denda administrasi PBB; atau
  5. SPPT atau SKP PBB tidak diajukan permohonan pembatalan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar.
(3)Permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan dalam hal SPPT atau SKP PBB tersebut diajukan keberatan tetapi dicabut oleh Wajib Pajak.
(4)Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) SPPT atau SKP PBB;
  2. permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  3. mencantumkan besarnya pengurangan SPPT atau SKP PBB yang dimohonkan dengan disertai alasan;
  4. dilampiri fotokopi SPPT atau SKP PBB yang dimohonkan pengurangan; dan
  5. ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
(5)Permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali untuk SPPT atau SKP PBB yang sama.
(6)Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar yang kedua, permohonan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pertama dikirim, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak.
(7)Permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar yang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tetap diajukan terhadap besarnya ketetapan yang tercantum dalam SPPT atau SKP PBB yang telah diajukan dalam permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar yang pertama.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) berlaku juga untuk permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar yang kedua.
(9)Surat permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (6) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


     

Pasal 13


(1)Surat permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar disampaikan dengan cara:
  1. langsung;
  2. dikirim melalui pos dengan bukti pengiriman surat secara tercatat; atau
  3. dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(2)Penyampaian surat permohonan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan bukti penerimaan surat oleh pegawai yang ditunjuk di KPP.
(3)Bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c, merupakan bukti penerimaan surat permohonan.
(4)Tanggal yang tercantum pada bukti penerimaan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan tanggal surat permohonan diterima.



Pasal 14


Direktur Jenderal Pajak melakukan pengujian, penelitian, dan memberikan keputusan atas permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).


Pasal 15


(1)Direktur Jenderal Pajak melakukan pengujian terhadap permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. menguji pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) sampai dengan ayat (4), untuk permohonan yang pertama; atau?
  2. menguji pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan ayat (6), untuk permohonan yang kedua.
(2)Dalam hal permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar dimaksud dengan melakukan penelitian.
(3)Dalam hal permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak mengembalikan permohonan tersebut dengan menyampaikan surat yang berisi alasan pengembalian permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar.
(4)Dalam hal permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar dikembalikan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. untuk permohonan yang pertama, dianggap bukan sebagai permohonan sehingga Wajib Pajak masih dapat mengajukan permohonan paling banyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5); atau
  2. untuk permohonan yang kedua, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan sepanjang jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (6) belum terlampaui.
(5)Terhadap permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar yang dikembalikan karena tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:
  1. Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3), untuk permohonan yang pertama; atau
  2. Pasal 12 ayat (2), ayat (3), dan ayat (6), untuk permohonan yang kedua,
Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
(6)Surat pengembalian permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.



Pasal 16


(1)Dalam rangka melakukan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan kepada Wajib Pajak melalui:
  1. penyampaian surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan; dan/atau
  2. peninjauan di lokasi objek pajak, tempat kedudukan Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu yang meliputi kegiatan identifikasi, pengukuran, pemetaan, dan/atau penghimpunan data, keterangan, dan/atau bukti, mengenai objek pajak yang diajukan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar.
(2)Wajib Pajak harus memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan dikirim.
(3)Dalam hal diperlukan, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan kepada Wajib Pajak dengan menyampaikan surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan.
(4)Wajib Pajak harus memberikan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan yang diminta dalam jangka waktu paling lama sebagaimana disebut dalam surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan.
(5)Surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K dan surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(6)Dalam rangka permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan melalui peninjauan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Direktur Jenderal Pajak terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
(7) Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruh permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3), Direktur Jenderal Pajak melakukan pemrosesan lebih lanjut terhadap permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar sesuai dengan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan yang diterima dan/atau yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(8) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat dengan menggunakan contoh format yang tercantum dalam Lampiran huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


    

Pasal 17


(1)Dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar diterima, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar.
(2)Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa mengabulkan seluruhnya, mengabulkan sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
(3)Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan, permohonan yang diajukan dianggap dikabulkan.
(4)Dalam hal permohonan yang diajukan dianggap dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir.
(5)Dalam hal terdapat permintaan keterangan secara tertulis dari Wajib Pajak mengenai keputusan yang diberikan, Direktur Jenderal Pajak memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk mengabulkan sebagian atau menolak permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6)Surat keputusan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf N yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.



Pasal 18


(1)Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) sebelum surat keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) diterbitkan.
(2)Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  2. disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP; dan
  3. ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat pencabutan ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat pencabutan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
(3)Direktur Jenderal Pajak harus memberikan jawaban atas surat pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sebelum surat keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) diterbitkan.
(4)Dalam hal Wajib Pajak melakukan pencabutan terhadap surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak tidak berhak untuk mengajukan kembali permohonan yang sama dengan jenis permohonan yang dicabut.
(5)Surat pencabutan permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf O yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(6)Surat jawaban atas pencabutan permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.



BAB IV
PEMBATALAN SPPT, SKP PBB, ATAU STP PBB
YANG TIDAK BENAR

Pasal 19


(1)Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar.
(2)Pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal SPPT, SKP PBB, atau STP PBB tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan seharusnya tidak diterbitkan.



Pasal 20


(1)Permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak dan disampaikan melalui Kepala KPP.
(2)Permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan dalam hal:
  1. SPPT atau SKP PBB tidak diajukan keberatan;
  2. SPPT atau SKP PBB tidak diajukan permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar;
  3. SPPT atau SKP PBB tidak diajukan permohonan pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang PBB; atau
  4. SKP PBB atau STP PBB tidak diajukan permintaan pengurangan denda administrasi PBB.
(3)Permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) SPPT, SKP PBB, atau STP PBB;
  2. permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  3. mencantumkan alasan permohonan;
  4. dilampiri asli SPPT, SKP PBB, atau STP PBB, yang dimohonkan pembatalan; dan
  5. ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
(4)Permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.
(5)Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar yang kedua, permohonan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pertama dikirim, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak.
(6)Permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar yang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tetap diajukan terhadap SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang telah diajukan dalam permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar yang pertama.
(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga untuk permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar yang kedua.
(8)Surat permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf Q yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.



Pasal 21


(1)Surat permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar disampaikan dengan cara:
  1. langsung;
  2. dikirim melalui pos dengan bukti pengiriman surat secara tercatat; atau
  3. dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(2)Penyampaian surat permohonan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan bukti penerimaan surat oleh pegawai yang ditunjuk di KPP.
(3)Bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c, merupakan bukti penerimaan surat permohonan.
(4)Tanggal yang tercantum pada bukti penerimaan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan tanggal surat permohonan diterima.



Pasal 22


Direktur Jenderal Pajak melakukan pengujian, penelitian, dan memberikan keputusan atas permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1).


Pasal 23


(1)Direktur Jenderal Pajak melakukan pengujian terhadap permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. menguji pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3), untuk permohonan yang pertama; atau
  2. menguji pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), untuk permohonan yang kedua.
(2)Dalam hal permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar dimaksud dengan melakukan penelitian.
(3)Dalam hal permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak mengembalikan permohonan tersebut dengan menyampaikan surat yang berisi mengenai pengembalian permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar.
(4)Dalam hal permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar dikembalikan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. untuk permohonan yang pertama, dianggap bukan sebagai permohonan sehingga Wajib Pajak masih dapat mengajukan permohonan paling banyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5); atau
  2. untuk permohonan yang kedua, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan sepanjang jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) belum terlampaui.
(5)Terhadap permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar yang dikembalikan karena tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:
  1. Pasal 20 ayat (2), untuk permohonan yang pertama; atau
  2. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (5), untuk permohonan yang kedua,
Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1).
(6)Surat pengembalian permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf R yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


 

Pasal 24


(1)Dalam rangka melakukan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan kepada Wajib Pajak melalui:
  1. penyampaian surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan; dan/atau
  2. peninjauan di lokasi objek pajak, tempat kedudukan Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu yang meliputi kegiatan identifikasi, pengukuran, pemetaan, dan/atau penghimpunan data, keterangan, dan/atau bukti, mengenai objek pajak yang diajukan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar.
(2)Wajib Pajak harus memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan dikirim.
(3)Dalam hal diperlukan, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan kepada Wajib Pajak dengan menyampaikan surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan.
(4)Wajib Pajak harus memberikan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan yang diminta dalam jangka waktu paling lama sebagaimana disebut dalam surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan.
(5)Surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf S dan surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf T, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(6)Dalam rangka permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan melalui peninjauan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Direktur Jenderal Pajak terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
(7)Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruh permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3), Direktur Jenderal Pajak melakukan pemrosesan lebih lanjut terhadap permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar sesuai dengan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan yang diterima dan/atau yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(8)Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat dengan menggunakan contoh format yang tercantum dalam Lampiran huruf U yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


    

Pasal 25


(1)Dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar.
(2)Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa mengabulkan atau menolak permohonan Wajib Pajak.
(3)Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan, permohonan yang diajukan dianggap dikabulkan.
(4)Dalam hal permohonan yang diajukan dianggap dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir.
(5)Dalam hal terdapat permintaan keterangan secara tertulis dari Wajib Pajak mengenai keputusan yang diberikan, Direktur Jenderal Pajak memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6)Surat keputusan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf V, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


   

Pasal 26


(1)Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) sebelum surat keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) diterbitkan.
(2)Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  2. disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP; dan
  3. ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat pencabutan ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat pencabutan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)Direktur Jenderal Pajak harus memberikan jawaban atas surat pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sebelum surat keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) diterbitkan.
(4)Dalam hal Wajib Pajak melakukan pencabutan terhadap surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak tidak berhak untuk mengajukan kembali permohonan yang sama dengan jenis permohonan yang dicabut.
(5)Surat pencabutan permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf W yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(6)Surat jawaban atas pencabutan permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.



BAB V
PENGURANGAN ATAU PEMBATALAN
SECARA JABATAN

Pasal 27


(1)Direktur Jenderal Pajak karena jabatan dapat:
  1. mengurangkan denda administrasi PBB;
  2. mengurangkan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar; atau
  3. membatalkan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar.
(2)Pengurangan denda administrasi PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan dalam hal denda administrasi PBB tersebut dikenakan bukan karena kesalahan Wajib Pajak.
(3)Pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan dalam hal terdapat ketidakbenaran materi dalam penetapan besarnya PBB yang terutang pada SPPT atau SKP PBB.
(4)Pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan dalam hal SPPT, SKP PBB, atau STP PBB tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan seharusnya tidak diterbitkan.



Pasal 28


Pengurangan atau pembatalan secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dilakukan berdasarkan data dan/atau informasi yang diketahui, diperoleh, atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak.


Pasal 29


(1)Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian atas pengurangan atau pembatalan secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1).
(2)Dalam rangka melakukan penelitian meneliti data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan kepada Wajib Pajak melalui:
  1. penyampaian surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan; dan/atau
  2. peninjauan di lokasi objek pajak, tempat kedudukan Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu yang meliputi kegiatan identifikasi, pengukuran, pemetaan, dan/atau penghimpunan data, keterangan, dan/atau bukti, mengenai objek pajak.
(3)Surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf Y yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4)Dalam rangka permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan melalui peninjauan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Direktur Jenderal Pajak terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
(5)Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan menggunakan contoh format yang tercantum dalam Lampiran huruf Z yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.



Pasal 30


(1)Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pengurangan atau pembatalan secara jabatan berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1).
(2)Surat keputusan pengurangan atau pembatalan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf AA yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.



BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 31


Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini:

  1. terhadap permintaan pengurangan denda administrasi PBB, permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi PBB, permohonan pengurangan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar, atau permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar, yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum diterbitkan surat keputusan, diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang Tidak Benar (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147); dan
  2. terhadap pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi PBB, pengurangan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar, atau pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar, secara jabatan yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum diterbitkan surat keputusan, diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang Tidak Benar (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147).



BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 32


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang Tidak Benar, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 33


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Juni 2017
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 874

Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.