Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.03/2017

Wed, 04 October 2017

Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 Tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 131/PMK.03/2017 

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN 
NOMOR 76/PMK.03/2013 TENTANG PENATAUSAHAAN PAJAK BUMI DAN 
BANGUNAN SEKTOR PERTAMBANGAN UNTUK PERTAMBANGAN MINYAK
BUMI, GAS BUMI, DAN PANAS BUMI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

 
Menimbang : 

  1. bahwa ketentuan mengenai Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03.2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi;
  2. bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan kepastian hukum untuk percepatan pelaksanaan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi yang dilakukan melalui pemindahbukuan atau mekanisme lain, serta guna melakukan penyesuaian terminologi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, perlu melakukan penyempurnaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi;


Mengingat : 

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 573) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 223);

MEMUTUSKAN:


Menetapkan : 

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 76/PMK.03/2013 TENTANG PENATAUSAHAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERTAMBANGAN UNTUK PERTAMBANGAN MINYAK BUMI, GAS BUMI, DAN PANAS BUMI. 
 

Pasal I


Beberapa ketentuan daiam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 573) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 223), diubah sebagai berikut:

1.Ketentuan angka 4 dan angka 13 Pasal 1 diubah, dan ditambahkan 3 (tiga) angka yakni angka 17, angka 18, dan angka 19, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai, berikut:

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
  2. Pajak Bumi dan Bangunan yang selaniutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Paiak Bumi dan Bangunan.
  3. PBB sektor pertambangan untuk pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang selaniutnya disebut PBB Migas adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi.
  4. PBB sektor pertambangan untuk pertambangan Panas Bumi yang selanjutnya disebut PBB Panas Bumi adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan pengusahaan Panas Bumi.
  5. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah formulir yang dipergunakan oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak.
  6. Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat LSPOP adalah formulir yang dipergunakan oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data rinci objek pajak.
  7. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB yang terutang kepada Wajib Pajak.
  8. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat SKP PBB adalah Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  9. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan apabila tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti.
  10. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi.
  11. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak bumi dan gas bumi.
  12. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan minyak bumi dan gas bumi, termasuk antara lain gas metan batubara (coal bed methan).
  13. Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses pengusahaan.
  14. Penatausahaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pendaftaran objek pajak, pengadministrasian objek pajak, penilaian NJOP, perhitungan, penetapan, pembayaran, dan penagihan PBB Migas dan PBB Panas Bumi.
  15. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka Desentralisasi.
  16. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri dan penerimaan bukan pajak.
  17. Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.
  18. Rekening Departemen Keuangan k/Hasil Minyak Perjanjian Karya Production Sharing yang selanjutnya disebut Rekening Minyak dan Gas Bumi adalah rekening dalam valuta USD untuk menampung seluruh penerimaan dan membayar pengeluaran terkait kegiatan usaha hulu migas.
  19. Rekening Penerimaan Panas Bumi yang selanjutnya disebut Rekening Panas Bumi merupakan rekening dalam rupiah yang digunakan untuk menampung penerimaan setoran bagian Pemerintah dan membayarkan pengeluaran kewajiban Pemerintah terkait dengan kegiatan usaha panas bumi.
  
2.  Ketentuan ayat (2) dan ayat (4) Pasal 2 diubah, sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

(1)Objek pajak PBB Migas yaitu bumi dan/atau bangunan, yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi.
(2)Objek pajak PBB Panas Bumi yaitu bumi dan/atau bangunan, yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan pengusahaan Panas Bumi.
(3)Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melîputi Wilayah Kerja atau wilayah sejenisnya dan wilayah di luar Wilayah Kerja atau wilayah sejenisnya yang merupakan satu kesatuan dan digunakan untuk kegiatan pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi.
(4) Kawasan yang digunakan untuk kegiatan pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Wilayah Kerja atau wilayah sejenisnya dan wilayah di luar Wilayah Kerja atau wilayah sejenisnya yang merupakan satu kesatuan dan digunakan untuk kegiatan pengusahaan Panas Bumi.
  
3. Ketentuan ayat (1) Pasal 6A diubah, sehingga Pasal 6A berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6A

(1)Subjek Pajak atau Wajib Pajak yang pada suatu tahun pajak mengajukan terminasi atas:
  1. Kontrak Kerja Sama pertambangan minyak bumi dan gas bumi; atau
  2. Izin Panas Bumi, kuasa pengusahaan sumber daya panas bumi, kontrak operasi bersama pengusahaan sumber daya panas bumi, dan/atau izin pengusahaan sumber daya panas bumi,
 harus menyampaikan pemberitahuan secara tertuhs ke Kantor Pelayanan Pajak dan dilampiri dokumen pendukung.
(2 )Pemberitahuan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat pada akhir tahun pajak pengajuan terminasi.
(3) Kantor Pelayanan Pajak meneliti pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan memberitahukan secara tertulis kepada Subjek Pajak atau Wajib Pajak mengenai terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan sebagai Subjek Pajak atau Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya pemberitahuan.
  
4. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga berbunyi sebagaiberikut:

Pasal 8

Direktorat Jenderal Pajak berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau badan atau instansi yang bidang tugas dan kewenangannya menyelenggarakan pengelolaan kegiatan usaha pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi, untuk:
  1. pelaksanaan sosialisasi mengenai tata cara pengisian dan pengembalian SPOP dan LSPOP PBB Migas dan PBB Panas Bumi kepada Subjek Pajak atau Wajib Pajak;
  2. percepatan pengembalian SPOP dan LSPOP PBB Migas dan PBB Panas Bumi;
  3. perolehan data yang terkait dengan pengisian SPOP dan LSPOP PBB Migas dan PBB Panas Bumi;
  4. pelaksanaan klarifikasi SPOP dan LSPOP PBB Migas dan PBB Panas Bumi;
  5. perolehan informasi yang terkait dengan keberadaan dan status Subjek Pajak atau Waíib Pajak;
  6. perolehan informasi yang terkait dengan pergantian operator dan terminasi atas Kontrak Kerja Sama pertambangan minyak bumi dan gas bumi;
  7. perolehan informasi yang terkait dengan pengalihan pengusahaan dan terminasi atas Izin Panas Bumi, kuasa pengusahaan sumber daya panas bumi, kontrak operasi bersama pengusahaan sumber daya panas bumi, dan/atau izin pengusahaan sumber daya panas bumi; dan/atau
  8. penyampaían SPPT PBB Migas kepada Subjek Pajak atau Wajib Pajak.
  
5. Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (8) Pasal 14 diubah dan ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (9), sehingga Pasal 14 berbunyi sebagal berikut:

Pasal 14

(1)Pembayaran PBB Migas melalui pemindahbukuan atau mekanisme lain berlaku untuk Wajib Pajak yang kontraknya ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
(2)Pembayaran PBB Panas Bumi melalui pemindahbukuan atau mekanisme lain berlaku untuk Wajib Pajak yang memiliki kuasa pengusahaan sumber daya panas bumi, kontrak operasi bersama pengusahaan sumber daya panas bumi, dan/atau izin pengusahaan sumber daya panas bumi, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
(3) Direktur Jenderal Pajak mengajukan permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat minggu kedua buian Juni.
(4)Besarnya permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi dihitung berdasarkan SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan/atau SKP PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(5)Permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi atas SKP PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri dari pokok pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan/atau selisih pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
(6)Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diajukan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) karena tidak termasuk dalam bagian pemerintah yang disetor oleh Wajib Pajak ke Rekening Minyak dan Gas Bumi dan Rekening Panas Bumi.
(7)Denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.
(8) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui mekanisme:
  1. pemindahbukuan dari Rekening Minyak dan Gas Bumi dan Rekening Panas Bumi ke kas negara pada Bank Persepsi melalui sistem penerimaan negara secara elektronik;
  2. pemindahbukuan dari Rekening Minyak dan Gas Bumi dan Rekening Panas Bumi ke RKUN; atau
  3. nontunai melalui reklasifikasi akun pendapatan penerimaan negara bukan pajak menjadi akun pendapatan perpajakan.
(9) Dalam hal pembayaran melalui mekanisme sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak dapat dilaksanakan, pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi dapat dilakukan melalui mekanisme pembayaran tertentu yang disetujui oleh Menteri Keuangan.
  
6.  Ketentuan Pasal 17 diubah,sehingga berbunyi sebagal berikut:

Pasal 17

(1)Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), Direktur Jenderal Anggaran mengajukan permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
(2)Permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) dan ayat (9).
(3) Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi dari Direktur Jenderal Pajak.
(4)Permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diiakukan dalam 4 (empat) tahap.
(5)Dalam hal permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi dilaksanakan secara bertahap, Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan besaran dan waktu pembayaran untuk setiap tahap kepada Direktur Jenderal Pajak.
(6)Pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilunasi paling lambat minggu kedua bulan Desember.
  
7.  Ketentuan ayat (5) Pasal 18 diubah, sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1)Dalam hal dokumen permintaan pembayaran PBB Migas per Wajib Pajak dan PBB Panas Bumi per Wajib Pajak sebagaimana dimaksud daiam Pasal 15 ayat (1) tidak lengkap, Direktur Jenderal Anggaran mengembalikan Daftar Ketetapan PBB serta salinan SPPT dan/atau SKP PBB yang tidak lengkap kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat minggu kedua bulan Agustus tahun pengajuan permintaan pembayaran,dengan disertai alasan pendukung.
(2)Direktur Jenderal Pajak melengkapi Daftar Ketetapan PBB serta salinan SPPT dan/atau SKP PBB yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat minggu ketiga bulan November tahun pengajuan permintaan pembayaran.
(3) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengajuan permintaan pembayaran atas Daftar Ketetapan PBB serta salinan SPPT dan/atau SKP PBB yang telah dilengkapi dilakukan pada tahun berikutnya.
(4)Dalam hal kelengkapan Daftar Ketetapan PBB serta salinan SPPT dan/atau SKP PBB yang disampaikan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah minggu ketiga bulan November masih belum lengkap, Direktur Jenderal Anggaran mengembalikan dokumen dimaksud untuk kemudian diajukan kembalí oleh Direktur Jenderal Pajak pada tahun berikutnya.
(5)Berdasarkan Daftar Ketetapan PBB serta salinan SPPT dan/atau SKP PBB yang telah dilengkapi oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan paling lama 5 (lima) hari kerja untuk tahap pertama setelah diterimanya Daftar Ketetapan PBB serta salinan SPPT dan/atau SKP PBB secara lengkap dari Direktur Jenderal Pajak dan sesuai dengan tanggal penahapan untuk tahap berikutnya.
  
8.Ketentuan ayat (1) Pasal 20 diubah dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20

(1)Berdasarkan permintaan pembayaran dari Direktur Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sesuai dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) dan ayat (9).
(2)Dihapus.
  
9. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 23 diubah dan ayat (4) dihapus, sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23

(1)Pembayaran PBB Migas yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak berlaku untuk Wajib Pajak yang kontraknya ditandatangani setelah berlakunyaPeraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
(2)Pembayaran PBB Panas Bumi yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak berlaku untuk Wajib Pajak yang memiliki Izin Panas Bumi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
(3) Pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan oleh Wajib Pajak melalul Bank Persepsi.
(4)Dihapus.
(5)Pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
  
10.  Ketentuan ayat (1) Pasal 24 dihapus, sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24
 
(1)Dihapus.
(2)Pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dicatat sebagai penerimaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi dengan kode akun PBB Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Energi Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai bagan akun standar.



Pasal II


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 

Agar setiap orang mengetahuinya,memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2017
MENTERI KEUANGAN 
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI



Diundangkan di Jakarta 
pada tanggai 4 Oktober 2017
DIREKTUR JENDERAL 
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASAS MANUSIA 
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WDODO EKATJAHJANA




BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 1381



Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.