Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.010/2021

Thu, 01 April 2021

Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.010/2020 Tentang Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai Pada Kawasan Ekonomi Khusus

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33/PMK.010/2021

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 237/PMK.010/2020 TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN,
KEPABEANAN, DAN CUKAI PADA KAWASAN EKONOMI KHUSUS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai perlakuan perpajakan, kepabeanan, dan cukai di Kawasan Ekonomi Khusus telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.010/2020 tentang Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus;
  2. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum dan menyelaraskan ketentuan perpajakan, kepabeanan, dan cukai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus, perlu melakukan penyesuaian terhadap perlakuan perpajakan, kepabeanan, dan cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.010/2020 tentang Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus;

Mengingat :

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
  6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
  7. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  8. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066);
  9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Indonesia Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183) sebagaimana beberapa kali telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6621);
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6652);
  12. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 180/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga National Single Window (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1825);
  14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);
  15. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.010/2020 tentang Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1685);


MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 237/PMK.010/2020 TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN, KEPABEANAN, DAN CUKAI PADA KAWASAN EKONOMI KHUSUS.


Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.010/2020 tentang Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1685), diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan angka 4 sampai dengan angka 7, angka 13, angka 19, angka 20, angka 21, angka 23 Pasal 1 diubah, angka 22 dan angka 25 dihapus, di antara angka 24 dan angka 25 disisipkan 1 (satu) angka yaitu angka 24a, dan di antara angka 26 dan angka 27 disisipkan 1 (satu) angka yaitu angka 26a, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
2. Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
3. Dewan Nasional adalah dewan yang dibentuk di tingkat nasional untuk menyelenggarakan KEK.
4. Dewan Kawasan adalah dewan yang dibentuk di tingkat provinsi atau lebih dari satu provinsi untuk membantu Dewan Nasional dalam penyelenggaraan KEK.
5. Administrator KEK adalah unit kerja yang bertugas menyelenggarakan perizinan berusaha, perizinan lainnya, pelayanan, dan pengawasan di KEK.
6. Badan Usaha adalah badan usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha KEK.
7. Pelaku Usaha adalah pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usaha di KEK.
8. Pembangunan adalah pendirian kawasan, perusahaan, atau pabrik baru untuk menghasilkan barang dan/atau jasa.
9. Pengembangan adalah pengembangan kawasan, perusahaan, atau pabrik yang telah ada, meliputi penambahan, modernisasi, rehabilitasi, dan/atau restrukturisasi dari alat-alat produksi termasuk mesin untuk tujuan peningkatan jumlah, jenis, dan/atau kualitas hasil produksi barang dan/atau jasa.
10. Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
11. Kegiatan Utama adalah bidang usaha beserta rantai produksinya yang menjadi fokus kegiatan KEK dan ditetapkan oleh Dewan Nasional.
12. Kegiatan Lainnya adalah bidang usaha di luar Kegiatan Utama di KEK.
13. Kegiatan Usaha Utama adalah bidang usaha dan jenis produksi sebagaimana tercantum dalam izin prinsip, izin investasi, pendaftaran penanaman modal, atau Perizinan Berusaha pada saat pengajuan permohonan pengurangan Pajak Penghasilan badan atau fasilitas Pajak Penghasilan.
14. Penanaman Modal adalah investasi berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama, baik untuk penanaman modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada.
15. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
16. Aktiva Tetap Berwujud adalah aktiva berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dibangun dan/atau dirakit lebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan, dan tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan atau dipindahtangankan.
17. Aktiva Tak Berwujud adalah aktiva tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang digunakan dalam operasi perusahaan, dan tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan atau dipindahtangankan.
18. Pajak Dalam Rangka Impor yang selanjutnya disingkat PDRI adalah Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 22.
19. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah kawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
20. Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas, Tempat Penimbunan Berikat, dan Kawasan Ekonomi Khusus.
21. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
22. Dihapus.
23. Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission yang selanjutnya disebut OSS adalah perizinan berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada Pelaku Usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi.
24. Barang Modal adalah harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, termasuk pengeluaran berkaitan dengan perolehan barang modal yang dikapitalisasi ke dalam harga perolehan barang modal tersebut.
24a. Barang Konsumsi adalah barang/bahan baku habis pakai yang digunakan oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha jasa untuk kegiatan yang menghasilkan jasa di KEK.
25. Dihapus
26. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara Online Single Submission yang selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal.
26a. Sistem Aplikasi KEK adalah sistem elektronik yang terdiri dari Sistem Indonesia National Single Window, Sistem Komputer Pelayanan Bea dan Cukai, dan aplikasi lain yang mengotomasikan proses bisnis kegiatan pemasukan, perpindahan, dan pengeluaran barang ke dan dari KEK.
27. Sistem Indonesia National Single Window yang selanjutnya disingkat SINSW adalah sistem elektronik yang mengintegrasikan sistem dan/atau informasi berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan, dokumen kekarantinaan, dokumen perizinan, dokumen kepelabuhanan/kebandarudaraan, dan dokumen lain, yang terkait dengan ekspor dan/atau impor, yang menjamin keamanan data dan informasi serta memadukan alur dan proses informasi antar sistem internal secara otomatis.
28. Saat Mulai Berproduksi Komersial adalah saat pertama kali hasil produksi atau jasa dari Kegiatan Usaha Utama dijual atau diserahkan, atau digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut.
29. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.
30. Pemberitahuan Pabean Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat PPKEK adalah pemberitahuan pabean untuk kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KEK.
31. Pemberitahuan Jasa Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat PJKEK adalah pemberitahuan yang digunakan dalam pemanfaatan jasa ke dan dari KEK.
32. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
33. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
34. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
   
2. Ketentuan ayat (3) Pasal 2 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Terhadap Badan Usaha dan Pelaku Usaha di KEK diberikan fasilitas berupa:
  1. Pajak Penghasilan;
  2. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
  3. bea masuk dan PDRI; dan/atau
  4. cukai.
(2) Bidang usaha yang memperoleh fasilitas di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. bidang usaha yang merupakan Kegiatan Utama KEK; dan
  2. bidang usaha yang merupakan Kegiatan Lainnya di luar Kegiatan Utama KEK.
(3) Untuk mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Usaha harus memenuhi syarat sebagai berikut:
  1. merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri, baik pusat maupun cabang, yang melakukan kegiatan usaha KEK;
  2. memiliki penetapan sebagai Badan Usaha untuk membangun dan/atau mengelola KEK dari Dewan Nasional, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan kewenangannya;
  3. mempunyai batas yang jelas sesuai dengan tahapan Pembangunan KEK; dan
  4. memiliki Perizinan Berusaha.
(4) Untuk mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha harus memenuhi syarat umum sebagai berikut:
  1. merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri, baik pusat maupun cabang, yang melakukan kegiatan usaha di KEK; dan
  2. memiliki Perizinan Berusaha.
   
3. Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 3 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

(1) Untuk mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, Badan Usaha atau Pelaku Usaha di KEK dalam kegiatan pemasukan, perpindahan dan pengeluaran barang wajib melalui Sistem Aplikasi KEK.
(2) Untuk mendapatkan fasilitas penangguhan bea masuk, Badan Usaha atau Pelaku Usaha wajib mendayagunakan sistem persediaan berbasis teknologi informasi (IT inventory).
(3) Sistem Aplikasi KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan prinsip:
  1. dokumen tunggal (single document);
  2. melalui sistem elektronik;
  3. integrasi dengan sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT inventory);
  4. standardisasi dan pertukaran data SINSW dengan Sistem Komputer Pelayanan Bea dan Cukai; dan
  5. integrasi SINSW dengan sistem perpajakan.
(4) Badan Usaha atau Pelaku Usaha di KEK yang telah menyelesaikan masa Pembangunan atau Pengembangan, harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada Saat Mulai Berproduksi Komersial.
   
4. Ketentuan ayat (5) Pasal 11 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11

(1) Pemberian fasilitas Pajak Penghasilan di KEK diputuskan oleh Menteri.
(2) Penetapan keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6) atau pengajuan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan secara luring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
(3) Keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk dan atas nama Menteri.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6) atau Pasal 10 diterima secara lengkap dan benar.
(5) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a paling sedikit meliputi:
  1. nomor dan tanggal keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan di KEK;
  2. identitas Badan Usaha atau Pelaku Usaha yang meliputi:
    1. nama Badan Usaha atau Pelaku Usaha;
    2. Nomor Pokok Wajib Pajak Badan Usaha atau Pelaku Usaha; dan
    3. alamat Badan Usaha atau Pelaku Usaha;
  3. persentase besaran dan jangka waktu fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan di KEK;
  4. ketentuan mengenai pembebasan dari pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan;
  5. rincian Penanaman Modal yang memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan yang meliputi:
    1. nomor induk berusaha dan tanggal diterbitkannya nomor induk berusaha;
    2. tanggal izin prinsip, izin Penanaman Modal, pendaftaran Penanaman Modal, atau Perizinan Berusaha;
    3. lokasi usaha;
    4. rencana nilai Penanaman Modal dan rincian;
    5. bidang usaha;
    6. Kegiatan Usaha Utama;
    7. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI);
    8. jenis produksi; dan
    9. cakupan produk;
  6. saat mulai berlakunya dan berakhirnya fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan di KEK;
  7. ketentuan pemenuhan kewajiban perpajakan;
  8. kondisi tertentu lainnya yang harus dipenuhi antara lain pemenuhan pembukuan terpisah atas Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas dengan Penanaman Modal yang telah mendapatkan fasilitas atau yang tidak mendapatkan fasilitas; dan
  9. ketentuan pencabutan, pengenaan sanksi administratif, dan/atau penyesuaian fasilitas.
(6) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk fasilitas Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi:
  1. nomor dan tanggal keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan;
  2. identitas Pelaku Usaha meliputi:
    1. nama Pelaku Usaha;
    2. Nomor Pokok Wajib Pajak Pelaku Usaha; dan
    3. alamat Pelaku Usaha;
  3. rincian fasilitas Pajak Penghasilan yang diberikan;
  4. rincian Penanaman Modal yang memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan meliputi:
    1. nomor induk berusaha dan tanggal diterbitkannya nomor induk berusaha;
    2. tanggal izin prinsip, izin Penanaman Modal, pendaftaran Penanaman Modal, atau Perizinan Berusaha;
    3. lokasi usaha atau proyek yang diajukan fasilitas;
    4. perincian rencana nilai Penanaman Modal;
    5. bidang usaha;
    6. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI); dan
    7. cakupan produk;
  5. saat mulai berlaku dan berakhirnya fasilitas Pajak Penghasilan;
  6. ketentuan larangan:
    1. Aktiva Tetap Berwujud yang memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian fasilitas atau dialihkan, kecuali diganti dengan aktiva berwujud lainnya; dan
    2. Aktiva Tak Berwujud yang memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian fasilitas atau dialihkan, kecuali diganti dengan aktiva tak berwujud lainnya;
  7. ketentuan kewajiban:
    1. kewajiban pelaporan realisasi Penanaman Modal dan realisasi produksi; dan
    2. kewajiban memberitahukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum melakukan penggantian Aktiva Tetap Berwujud yang memperoleh fasilitas; dan
  8. ketentuan pencabutan fasilitas Pajak Penghasilan yang telah diberikan dan pengenaan sanksi administratif.
(7) Pelaksanaan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan di KEK yang dilaksanakan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan per triwulan.
(8) Pemberian keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal.
   
5. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22

Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut atas:
  1. penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud tertentu dari TLDDP, kawasan bebas, dan TPB kepada Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha;
  2. impor Barang Kena Pajak Berwujud tertentu ke KEK oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha;
  3. impor barang konsumsi ke KEK Pariwisata oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha;
  4. penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud tertentu antar Badan Usaha, antar Pelaku Usaha, atau antar Badan Usaha dengan Pelaku Usaha;
  5. penyerahan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud termasuk jasa persewaan tanah dan/atau bangunan di KEK oleh Pelaku Usaha dan/atau Badan Usaha kepada Pelaku Usaha lainnya dan/atau Badan Usaha di KEK yang sama atau KEK lainnya;
  6. penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu dan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha dari TLDDP atau selain TLDDP kepada Badan Usaha/Pelaku Usaha; dan
  7. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam KEK oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha.
   
6. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 23 diubah, ketentuan ayat (3) Pasal 23 dihapus, dan ditambahkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (4), sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23

(1) Barang Kena Pajak Berwujud tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 huruf a, huruf b, dan huruf d berupa:
  1. barang modal termasuk tanah dan/atau bangunan, peralatan/mesin dan suku cadang yang diperlukan untuk proses produksi pengolahan, barang modal termasuk tanah dan/atau bangunan yang diperlukan untuk Pembangunan dan/atau Pengembangan KEK sesuai dengan bidang usahanya;
  2. bahan baku, bahan pembantu, dan barang lain yang diolah, dirakit dan/atau dipasang pada barang lain untuk kegiatan manufaktur, logistik, dan/atau penelitian dan pengembangan;
  3. bahan baku, bahan pembantu, peralatan dan barang lain yang diperlukan bagi kegiatan yang menghasilkan jasa kena pajak dan/atau kegiatan pengembangan teknologi; dan/atau
  4. barang yang diperuntukkan bagi kegiatan penyimpanan, perakitan, penyortiran, pengepakan, pendistribusian, perbaikan, dan perekondisian permesinan yang digunakan bidang usaha industri manufaktur dan logistik, serta perbaikan dan perawatan (maintenance, repair and overhaul) untuk kapal dan pesawat terbang.
(2) Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 huruf f diberikan sesuai bidang usahanya berupa:
  1. jasa maklon;
  2. jasa perbaikan dan perawatan termasuk maintenance, repair and overhaul (MRO) untuk kapal dan pesawat terbang;
  3. jasa pengurusan transportasi terkait barang untuk tujuan ekspor;
  4. jasa konstruksi yang meliputi perencanaan, perancangan, pelaksanaan Pembangunan, dan pengawasan Pembangunan di KEK, termasuk konsultansi konstruksi yang meliputi pengkajian, perencanaan, dan perancangan konstruksi;
  5. jasa teknologi dan informasi;
  6. jasa penelitian dan pengembangan;
  7. jasa persewaan alat angkut berupa persewaan pesawat udara dan/atau kapal laut untuk kegiatan penerbangan atau pelayaran internasional;
  8. jasa konsultansi bisnis dan manajemen, jasa konsultansi hukum, jasa konsultansi desain arsitektur dan interior, jasa konsultansi sumber daya manusia, jasa konsultansi keinsinyuran, jasa konsultansi pemasaran, jasa akuntansi atau pembukuan, jasa audit laporan keuangan, dan jasa perpajakan;
  9. jasa perdagangan berupa jasa mencarikan penjual barang di dalam Daerah Pabean untuk tujuan ekspor;
  10. jasa interkoneksi, penyelenggaraan satelit dan/atau komunikasi/konektivitas data; dan
  11. jasa lainnya yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
(3) Dihapus.
(4) Barang konsumsi sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 huruf c meliputi:
  1. Barang Konsumsi yang diperlukan oleh Pelaku Usaha di KEK Pariwisata sebagai bahan baku usaha untuk menghasilkan jasa;
  2. waktu penggunaannya relatif singkat serta akan hilang keberadaan dan/atau fungsinya bila sudah dipergunakan, yang digunakan dalam proses produksi yang menghasilkan jasa; dan
  3. tidak ditujukan untuk penggunaan di luar KEK.
   
7. Ketentuan Pasal 27 ayat (7) dihapus, sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27

(1) Dalam hal Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) berasal dari luar Daerah Pabean, Pelaku Usaha wajib melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang pada saat impor atau pemanfaatannya tidak dipungut.
(2) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang wajib dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung berdasarkan Harga Jual dan/atau Penggantian pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari KEK ke TLDDP.
(3) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilunasi paling lambat pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak atau pengeluaran Barang Kena Pajak dari KEK.
(4) Saat pengeluaran Barang Kena Pajak dari KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan tanggal persetujuan pengeluaran barang dalam dokumen kepabeanan.
(5) Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas:
  1. impor Barang Kena Pajak, dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak, Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak (SSPCP), dan/atau bukti pungutan pajak yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; atau
  2. pemanfaatan Jasa Kena Pajak, dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Surat Setoran Pajak.
(6) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, diisi dengan mencantumkan keterangan berupa Kode Akun Pajak 411212 (Pajak Pertambahan Nilai Impor) dan Kode Jenis Setoran 121 (pembayaran PPN Impor yang semula mendapatkan fasilitas).
(7) Dihapus.
   
8. Ketentuan Pasal 28 ayat (7) dihapus, sehingga sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28

(1) Dalam hal Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) berasal dari TLDDP, Kawasan Bebas, dan/atau TPB, Pelaku Usaha wajib melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang pada saat perolehannya tidak dipungut.
(2) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang wajib dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung berdasarkan Harga Jual dan/atau Penggantian pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari KEK ke TLDDP.
(3) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilunasi paling lambat pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak atau pengeluaran Barang Kena Pajak dari KEK.
(4) Saat pengeluaran barang dari KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan tanggal persetujuan pengeluaran barang dalam dokumen kepabeanan.
(5) Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan surat setoran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Surat Setoran Pajak.
(6) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diisi dengan mencantumkan keterangan berupa Kode Akun Pajak 411211 (Pajak Pertambahan Nilai dalam negeri) dan Kode Jenis Setoran 121 (pembayaran PPN yang semula mendapatkan fasilitas).
(7) Dihapus.
   
9. Ketentuan Pasal 35 ayat (7) dihapus, sehingga Pasal 35 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35

(1) Pelaku Usaha yang melakukan pengeluaran barang yang bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak ke TLDDP, wajib melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terkait dengan Barang Kena Pajak yang dikeluarkan yang pada saat impor, pemanfaatan, atau penyerahannya tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
(2) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang wajib dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan Harga Jual, Penggantian, atau Nilai Impor pada saat pemasukan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak ke KEK.
(3) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilunasi paling lambat pada saat pengeluaran Barang Kena Pajak dari KEK.
(4) Saat pengeluaran barang dari KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tanggal persetujuan pengeluaran barang dalam dokumen kepabeanan.
(5) Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam hal Barang Kena Pajak:
  1. berasal dari TLDDP, KEK, TPB, atau Kawasan Bebas, dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Surat Setoran Pajak; atau
  2. berasal dari luar Daerah Pabean, dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak (SSPCP), dan/atau bukti pungutan pajak yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(6) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, diisi dengan mencantumkan keterangan berupa:
  1. dalam hal barang berasal dari luar Daerah Pabean, Kode Akun Pajak 411212 (Pajak Pertambahan Nilai impor) dan Kode Jenis Setoran 121 (pembayaran PPN yang semula mendapatkan fasilitas); atau
  2. dalam hal barang berasal dari TLDDP, Kode Akun Pajak 411211 (Pajak Pertambahan Nilai dalam negeri) dan Kode Jenis Setoran 121 (pembayaran PPN yang semula mendapatkan fasilitas).
(7) Dihapus.
   
10. Diantara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 35A, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35A

(1) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak, SSPCP, dan/atau bukti pungutan pajak yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas pelunasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5), Pasal 28 ayat (5), dan Pasal 35 ayat (5) yang dilampiri dengan:
  1. Pemberitahuan Pabean untuk pengeluaran Barang Kena Pajak;
  2. invoice atau kontrak, untuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan tanpa melalui mekanisme pengeluaran Barang Kena Pajak; atau
  3. invoice atau kontrak, untuk penyerahan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak tidak berwujud,
merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(2) PPKEK yang dilampiri dengan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak, SSPCP, dan/atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PPKEK tersebut, atas impor Barang Kena Pajak ke KEK yang tidak diberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(3) Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, kepabeanan dan/atau cukai.
   
11. Ketentuan ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 36 diubah, di antara ayat (5) dan ayat (6) Pasal 36 disisipkan 3 (tiga) ayat yaitu ayat (5a), ayat (5b) dan ayat (5c), serta ayat (6) dan ayat (8) Pasal 36 dihapus, sehingga Pasal 36 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36

(1) Lokasi yang ditetapkan sebagai KEK harus memiliki batas yang jelas sesuai tahapannya, yang dapat berupa batas alam atau batas buatan.
(2) Untuk kepentingan pengawasan, sebagian atau seluruh KEK dapat ditetapkan sebagai Kawasan Pabean.
(3) Lokasi yang ditetapkan sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. terdapat kegiatan lalu lintas barang ekspor dan/atau barang impor; dan
  2. memiliki batas-batas yang jelas dan terdapat pintu masuk atau pintu keluar yang ditentukan untuk melakukan pengawasan terhadap barang yang masih terkandung kewajiban penerimaan negara.
(4) Penetapan sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri.
(5) Penetapan sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan berdasarkan usulan dari Administrator KEK setelah menerima permohonan dari Badan Usaha.
(5a) Usulan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilampiri dengan rekomendasi dari:
  1. Kepala Kantor Pabean yang mengawasi KEK, dalam hal ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri; atau
  2. Kepala Bidang yang menangani kepabeanan, dalam hal ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri.
(5b) Usulan penetapan sebagai kawasan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat informasi paling sedikit mengenai:
  1. identitas Badan Usaha yang mengajukan permohonan;
  2. penetapan Badan Usaha sebagai pengelola KEK;
  3. penetapan pembentukan KEK;
  4. lokasi KEK;
  5. gambar denah lokasi dengan batas-batas, pintu masuk dan pintu keluar kawasan yang dimintakan penetapan sebagai Kawasan Pabean; dan
  6. keterangan bahwa pada lokasi yang direkomendasikan sebagai Kawasan Pabean terdapat kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang yang masih terkandung kewajiban penerimaan negara.
(5c) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri memberikan persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak usulan dari Administrator KEK diterima lengkap.
(6) Dihapus.
(7) Badan Usaha yang mengelola KEK ditetapkan sebagai pengelola Kawasan Pabean.
(8) Dihapus.
(9) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KEK dilakukan pemeriksaan pabean berdasarkan manajemen risiko.
(10) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KEK, sepanjang menyangkut pemberian fasilitas tidak dipungut PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, pengawasannya menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Pajak.
   
12. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 38A, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38A

(1) Pemasukan Barang Modal untuk Pembangunan atau Pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf a dan Pasal 38 ayat (2) huruf a dapat dilakukan oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha melalui penyedia barang (vendor).
(2) Dalam hal Badan Usaha atau Pelaku Usaha melakukan pemasukan Barang Modal dari luar Daerah Pabean melalui penyedia barang (vendor) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penunjukan penyedia barang (vendor) sebagai penyedia Barang Modal harus berdasarkan kontrak kerja sama pengadaan Barang Modal.
(3) Dalam hal Badan Usaha atau Pelaku Usaha melakukan pemasukan Barang Modal melalui penyedia barang (vendor) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keputusan jumlah dan jenis barang oleh Administrator KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dan Pasal 38 ayat (4) harus memuat informasi paling sedikit mengenai:
  1. nama perusahaan penyedia barang (vendor);
  2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) penyedia barang (vendor); dan
  3. nomor dan jangka waktu kontrak kerja sama penyedia barang (vendor) dengan Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha.
(4) Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang tertera dalam keputusan jumlah dan jenis Barang Modal asal luar Daerah Pabean oleh Administrator KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertanggung jawab atas fasilitas perpajakan, kepabeanan dan cukai.
   
13. Di antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 6 (enam) pasal, yaitu Pasal 39A, Pasal 39B, Pasal 39C, Pasal 39D, Pasal 39E, dan Pasal 39F, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39A

(1) Pelaku Usaha yang memiliki kegiatan usaha lebih dari satu kategori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) harus mendayagunakan sistem persediaan berbasis teknologi informasi (IT inventory) yang dapat menggambarkan setiap kegiatan usahanya.
(2) Pelaku Usaha yang memiliki kegiatan usaha lebih dari satu kategori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) dalam lokasi yang sama, maka lokasi penimbunan barang harus terpisah dan memiliki batas yang jelas sesuai dengan kategori usahanya.


Pasal 39B

(1) Sistem persediaan berbasis teknologi informasi (IT Inventory) yang merupakan bagian terintegrasi dari Sistem Aplikasi KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c paling sedikit meliputi kriteria sebagai berikut:
  1. mampu mencatat pemasukan barang dan pengeluaran barang (termasuk bahan baku, bahan penolong, mesin, dan peralatan), penyesuaian (adjustment), barang jadi (finished good), barang hasil pencacahan (stock opname), barang reject serta barang sisa dan/atau scrap, yang disesuaikan dengan jenis kegiatan usaha di KEK oleh Pelaku Usaha;
  2. pencatatan dan/atau pembukuan mampu menggambarkan keterkaitan dengan dokumen kepabeanan dan/atau cukai;
  3. pencatatan dan/atau pembukuan dilakukan secara kontinu dan langsung setiap ada perubahan berupa perpindahan barang beserta dokumen pendukung, maupun berkala dengan jangka waktu sesuai sistem pengendalian internal Pelaku Usaha;
  4. mampu membuat dan menyampaikan data yang menggambarkan perpindahan barang maupun pengolahan barang yang mendapatkan fasilitas perpajakan, kepabeanan, dan cukai;
  5. mampu menampilkan data, riwayat aktivitas, dan perpindahan barang minimal dalam waktu 2 (dua) tahun periode sebelumnya.
(2) Informasi yang diperoleh dari sistem persediaan berbasis teknologi informasi (IT inventory) Pelaku Usaha dapat dimanfaatkan untuk;
  1. monitoring dan evaluasi kepabeanan dan/atau cukai;
  2. audit perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai; dan/atau
  3. pemeriksaan sewaktu-waktu.


Pasal 39C

(1) Untuk mendapatkan fasilitas penangguhan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Pelaku Usaha mengajukan permohonan penetapan pendayagunaan sistem persediaan berbasis teknologi informasi (IT inventory) kepada Kepala Kantor Pabean yang mengawasi KEK.
(2) Atas permohonan penetapan pendayagunaan sistem persediaan berbasis teknologi informasi (IT inventory) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pabean yang mengawasi KEK menerbitkan keputusan penetapan pendayagunaan sistem persediaan berbasis teknologi informasi (IT inventory) atas nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai.


Pasal 39D

(1) Penetapan pendayagunaan sistem persediaan berbasis teknologi informasi (IT inventory) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39C ayat (2) dibekukan dalam hal:
  1. Pelaku Usaha menunjukkan ketidakmampuan dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya, antara lain berupa:
    1. tidak melakukan kegiatan usahanya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan berturut-turut; dan/atau
    2. tidak melunasi utang kepabeanan dan cukai dalam jangka waktu yang ditentukan.
  2. Pelaku Usaha melakukan kegiatan yang menyimpang dari Perizinan Berusaha KEK yang diberikan berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
  3. tindak lanjut hasil pemeriksaan dan/atau hasil audit yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap Pelaku Usaha.
(2) Pembekuan penetapan pendayagunaan sistem persediaan berbasis teknologi informasi (IT inventory) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui keputusan Kepala Kantor Pabean yang mengawasi KEK atas nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
(3) Selama masa pembekuan, Pelaku Usaha:
  1. tidak diperbolehkan untuk memasukkan barang ke lokasi usahanya di KEK dengan menggunakan fasilitas perpajakan, kepabeanan, dan cukai; dan
  2. masih dapat melakukan kegiatan usahanya di KEK dan atas barang hasil kegiatan usaha dapat dikeluarkan dari KEK sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.


Pasal 39E

(1) Atas pembekuan penetapan pendayagunaan sistem persediaan berbasis teknologi informasi (IT inventory) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39D ayat (2), Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan pemberlakuan kembali dalam hal:
  1. Pelaku Usaha telah menunjukkan kemampuannya dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya, antara lain berupa:
    1. menjalankan kegiatan usahanya kembali; atau
    2. melunasi tagihan pungutan kepabeanan dan cukai yang terutang.
  2. Pelaku Usaha tidak terbukti melakukan kegiatan yang menyimpang dari Perizinan Berusaha KEK yang diberikan berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
  3. telah menindaklanjuti hasil pemeriksaan dan/atau hasil audit yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap Pelaku Usaha.
(2) Pemberlakuan kembali penetapan pendayagunaan sistem persediaan berbasis teknologi informasi (IT inventory) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui keputusan Kepala Kantor Pabean yang mengawasi KEK atas nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai.


Pasal 39F

(1) Penetapan pendayagunaan sistem persediaan berbasis teknologi informasi (IT inventory) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39C ayat (2) dicabut dalam hal:
  1. Pelaku Usaha tidak melakukan kegiatan usahanya dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan secara berturut-turut;
  2. Pelaku Usaha tidak mendapatkan pemberlakuan kembali setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembekuan;
  3. Izin Pelaku Usaha dari Administrator KEK dicabut dan/atau tidak berlaku lagi;
  4. Pelaku Usaha bertindak tidak jujur dalam usahanya, antara lain berupa menyalahgunakan fasilitas dan melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan, cukai, dan/atau perpajakan berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Pajak;
  5. Pelaku Usaha dinyatakan pailit; dan/atau
  6. Pelaku Usaha mengajukan permohonan pencabutan penetapan sistem persediaan berbasis teknologi informasi (IT inventory).
(2) Pencabutan penetapan sistem persediaan berbasis teknologi informasi (IT inventory) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui keputusan Kepala Kantor Pabean yang mengawasi KEK atas nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
(3) Dalam hal penetapan pendayagunaan sistem persediaan berbasis teknologi informasi (IT inventory) telah dilakukan pencabutan:
a. barang asal luar Daerah Pabean yang masih terutang atau masih menjadi tanggung jawab Pelaku Usaha harus;
  1. dikeluarkan ke TLDDP dengan membayar Bea Masuk, cukai, dan PDRI sepanjang telah memenuhi ketentuan kepabeanan di bidang impor dan ketentuan di bidang cukai;
  2. dikeluarkan kembali atau diekspor kembali ke luar Daerah Pabean; dan/atau
  3. dipindahtangankan kepada Badan Usaha atau Pelaku Usaha di lokasi KEK yang sama atau KEK lainnya, pengusaha di TPB dan/atau pengusaha di Kawasan Bebas,
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pencabutan penetapan,
b. barang asal TLDDP yang masih tersisa pada Pelaku Usaha harus:
  1. diekspor sesuai dengan ketentuan di bidang ekspor;
  2. dipindahtangankan kepada Badan Usaha atau Pelaku Usaha di lokasi KEK yang sama atau KEK lainnya, pengusaha di TPB dan/atau pengusaha di Kawasan Bebas; dan/atau
  3. dikeluarkan ke TLDDP dengan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pencabutan penetapan.
(4) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui maka atas barang dimaksud dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai.
   
14. Ketentuan ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 48 diubah, sehingga Pasal 48 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48

(1) Penggunaan Surat Keterangan Asal (SKA) yang diterbitkan oleh negara asal barang di luar negeri dapat diberlakukan pada saat pemasukan ke KEK.
(2) Penggunaan Surat Keterangan Asal (SKA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberlakukan pada saat pemasukan barang ke Pelaku Usaha Pengolahan dan/atau Pelaku Usaha Logistik, dan atas barang dimaksud diberlakukan tarif bea masuk sesuai dengan skema tarif preferensi pada saat dikeluarkan dari Pelaku Usaha Pengolahan dan/atau Pelaku Usaha Logistik ke TLDDP.
(3) Pengeluaran barang dari Pelaku Usaha Pengolahan dan/atau Pelaku Usaha Logistik ke TLDDP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan secara parsial dengan menggunakan pemotongan kuota.
(4) Besaran tarif bea masuk sesuai dengan skema tarif preferensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Menteri mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka perjanjian atau kesepakatan internasional.
(5) Tata cara pengenaan tarif bea masuk sesuai dengan skema tarif preferensi untuk KEK dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional.
(6) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat melakukan pengujian atas validitas penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA).
   
15. Ketentuan ayat (3) dan ayat (5) Pasal 51 diubah, sehingga Pasal 51 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 51

(1) Perpindahan Barang antar Pelaku Usaha dalam satu KEK diberikan fasilitas berupa:
  1. penangguhan bea masuk dan tidak dipungut PD RI; dan
  2. pembebasan cukai, sepanjang barang tersebut merupakan bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan barang kena cukai.
(2) Pemberian fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor dan perpindahan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf e.
(3) Perpindahan barang antar Pelaku Usaha di KEK dilakukan dengan dokumen perpindahan barang yang berfungsi sebagai surat jalan melalui Sistem Aplikasi KEK.
(4) Dalam hal pengeluaran barang oleh Pelaku Usaha di KEK tidak terjadi penyerahan Barang kepada Pelaku Usaha lainnya di KEK, tanggung jawab bea masuk, cukai, dan/atau PDRI yang melekat pada barang yang telah dikeluarkan sementara tersebut, menjadi tanggung jawab Pelaku Usaha di KEK penerima barang terhitung sejak barang diterima oleh Pelaku Usaha penerima barang sampai dengan barang tersebut diterima kembali oleh Pelaku Usaha di KEK pengirim barang.
(5) Dokumen perpindahan barang dianggap sebagai dokumen kepabeanan yang datanya tersambung secara langsung (real time) dan menjadi data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
   
16. Ketentuan ayat (11) huruf b dan huruf c Pasal 55 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 55

(1) Pemasukan dan/atau pengeluaran barang ke dan dari KEK dilakukan dengan menggunakan PPKEK atau dokumen kepabeanan lain yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(2) Dalam hal barang yang dimasukkan dan/atau dikeluarkan ke dan dari KEK berupa barang kena cukai, pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga sebagai pemberitahuan mutasi barang kena cukai dan dinyatakan sebagai dokumen cukai, kecuali pemasukan dan/atau pengeluaran dari dan ke TLDDP.
(3) Kewajiban pembuatan PPKEK dalam hal:
  1. pemasukan barang dari luar Daerah Pabean dan dari TLDDP; dan/atau
  2. pengeluaran barang dari KEK,
dilakukan oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK.
(4) Pemasukan barang ke Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK dari:
  1. TPB, dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari TPB ke TPB lain; atau
  2. Kawasan Bebas, dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean untuk pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TPB, Kawasan Bebas Lainnya, dan KEK;atau
  3. Badan Usaha atau Pelaku Usaha di KEK lain, dilakukan dengan menggunakan dokumen PPKEK untuk pengeluaran barang dari KEK asal.
(5) Untuk pemasukan barang impor melalui perusahaan jasa titipan, pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh perusahaan pengurusan jasa kepabeanan.
(6) Dalam hal pemasukan barang ke KEK dengan fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI kedapatan barang yang dimasukkan lebih dari keputusan mengenai pemberian fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI atas kelebihan tersebut dilakukan pemungutan bea masuk dan PDRI.
(7) Dalam hal ditemukan jumlah barang yang diimpor dengan fasilitas penangguhan bea masuk kedapatan tidak sesuai dengan yang diberitahukan dalam dokumen PPKEK, dilakukan penelitian lebih lanjut oleh unit pengawasan.
(8) Dalam hal ditemukan jumlah barang yang diimpor dengan fasilitas penangguhan bea masuk yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam dokumen PPKEK dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha wajib membayar bea masuk atas barang impor yang kurang pada saat dibongkar dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Dalam hal ditemukan jumlah barang impor dengan fasilitas penangguhan bea masuk yang dibongkar lebih dari yang diberitahukan dalam dokumen PPKEK dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(10) Badan Usaha dan Pelaku Usaha, dapat melakukan pembetulan dan/atau pembatalan PPKEK yang telah mendapat nomor dan tanggal pendaftaran dengan persetujuan Kepala Kantor Pabean.
(11) Persetujuan pembetulan dan/atau pembatalan PPKEK sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dapat diberikan dengan ketentuan:
  1. untuk PPKEK pemasukan dari TLDDP, sebelum sebagian atau seluruh barang tercatat pada gate in pintu masuk KEK;
  2. untuk PPKEK pemasukan dari Luar Daerah Pabean, sebelum sebagian atau seluruh barang tercatat pada gate out dari Kawasan Pabean di pelabuhan bongkar;
  3. untuk PPKEK pengeluaran, sebelum sebagian atau seluruh barang tercatat pada gate out pintu keluar KEK;
  4. kesalahan tersebut bukan merupakan temuan Pejabat; atau
  5. belum mendapatkan penetapan Pejabat.
(12) Pembetulan PPKEK sebagaimana dimaksud pada ayat (11) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. dilakukan atas kesalahan dalam pengisian atau penulisan sehingga PPKEK tidak memuat keterangan yang lengkap, jelas, dan benar; dan
  2. untuk pemasukan barang dari TLDDP, pembetulan PPKEK disampaikan kepada Pengusaha Kena Pajak di TLDDP yang menyerahkan Barang Kena Pajak.
(13) Pembatalan PPKEK sebagaimana dimaksud pada ayat (10), untuk pemasukan barang dari TLDDP harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. dilakukan apabila terdapat pembatalan pemasukan Barang Kena Pajak berasal dari TLDDP; dan
  2. disampaikan kepada Pengusaha Kena Pajak di TLDDP yang menyerahkan Barang Kena Pajak.
   
17. Diantara Pasal 55 dan Pasal 56 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 55A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 55A

Kewajiban pembuatan PPKEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) diisi sesuai dengan elemen data yang tercantum dalam huruf D1 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
   
18. Ketentuan Pasal 58 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 58

Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha KEK wajib:
  1. memasang tanda nama perusahaan sebagai Badan Usaha atau Pelaku Usaha di KEK;
  2. menyediakan sarana dan prasarana untuk penyelenggaraan pertukaran data secara elektronik untuk Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK yang diawasi oleh Kantor Pabean yang menerapkan Sistem Aplikasi KEK;
  3. mendayagunakan teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT inventory) yang merupakan subsistem dari sistem informasi akuntansi yang akan menghasilkan informasi laporan keuangan dan dapat diakses untuk kepentingan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak;
  4. mendayagunakan Closed Circuit Television (CCTV) untuk pengawasan pemasukan dan pengeluaran barang yang dapat diakses secara langsung (realtime) dan daring (online) oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak serta memiliki data rekaman paling sedikit 7 (tujuh) hari sebelumnya;
  5. memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) dalam hal jenis barang yang ditimbun berupa Barang Kena Cukai (BKC) sebagaimana diatur dalam perundang-undangan di bidang cukai;
  6. melakukan pencacahan (stock opname) terhadap barang-barang yang ditimbun di Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK bersama-sama dengan Pejabat Bea dan Cukai dari Kantor Pabean yang mengawasi, paling sedikit 1 (satu) kali pencacahan (stock opname) dalam kurun waktu 1 (satu) tahun;
  7. menyimpan dan menatausahakan barang yang ditimbun di dalam Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK secara tertib, sehingga dapat diketahui jenis, spesifikasi, jumlah pemasukan, dan pengeluaran sediaan barang secara sistematis secara elektronik, serta posisinya jika dilakukan pencacahan (stock opname);
  8. menyimpan dan memelihara dengan baik buku dan catatan serta dokumen yang berkaitan dengan kegiatan usahanya dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun;
  9. menyelenggarakan pembukuan berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
  10. mengajukan perubahan (update) data jika terdapat data yang berubah terkait perizinan Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK;
  11. memberikan akses terhadap data dan dokumen seluruh kegiatan Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK yang dibutuhkan dalam rangka pemeriksaan pabean oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan
  12. menyerahkan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha KEK jika dilakukan audit oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
   
19. Ketentuan ayat (1) sampai dengan ayat (4) Pasal 67 diubah dan ketentuan ayat (5) sampai dengan ayat (9) Pasal 67 dihapus, sehingga Pasal 67 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 67

(1) Pelaku Usaha di KEK Pariwisata dapat diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai atas pemasukan Barang Modal dan/atau Barang Konsumsi bagi kegiatan:
  1. penyediaan akomodasi;
  2. pusat pertemuan dan konferensi;
  3. marina dan/atau dermaga khusus kapal wisata;
  4. bandara khusus wisata;
  5. jasa transportasi wisata;
  6. Pengembangan resort dan hunian;
  7. jasa makanan dan minuman;
  8. pusat perbelanjaan;
  9. pusat hiburan dan rekreasi;
  10. pusat edukasi dan/atau pelatihan;
  11. pusat dan sarana olahraga;
  12. pusat kesehatan;
  13. pusat perawatan lanjut usia (retirement center); dan/atau
  14. kegiatan lain yang mendukung pariwisata yang ditetapkan oleh Dewan Nasional.
(2) Fasilitas kepabeanan dan/atau cukai di KEK Pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
  1. pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI atas pemasukan Barang Konsumsi untuk Pelaku Usaha jasa; dan/atau
  2. penangguhan bea masuk untuk pemasukan barang yang akan dijual di toko atau pusat perbelanjaan di KEK Pariwisata.
(3) Pemasukan barang dengan menggunakan dokumen ATA/CPD Camet dapat dilakukan di KEK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(4) Perlakuan fasilitas tidak dipungut PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a khusus untuk Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor barang konsumsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c.
(5) Dihapus.
(6) Dihapus.
(7)  Dihapus.
(8) Dihapus.
(9) Dihapus.
   
20. Diantara Pasal 67 dan Pasal 68 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 67A, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 67A

(1) Barang Konsumsi yang diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI atas pemasukan untuk Pelaku Usaha jasa sebagaimana dimaksud pada Pasal 67 ayat (2) huruf a dari luar Daerah Pabean, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. sesuai dengan bidang usahanya;
  2. dimasukkan dalam jumlah yang wajar sesuai dengan kebutuhan usahanya; dan
  3. digunakan untuk kegiatan produksi jasa di KEK.
(2) Jenis Barang Konsumsi untuk Pelaku Usaha jasa yang dapat diberikan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI, dicantumkan dalam daftar barang yang ditetapkan oleh Dewan Nasional.
(3) Jenis dan jumlah Barang Konsumsi untuk Pelaku Usaha jasa yang boleh diimpor, ditetapkan oleh Administrator KEK dengan menggunakan skema/kriteria yang ditetapkan oleh Dewan Nasional.
(4) Dalam hal Barang Konsumsi untuk Pelaku Usaha jasa berupa barang kena cukai, harus dilunasi cukainya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai pada saat pemasukkannya.
(5) Ketentuan larangan impor dan ekspor di KEK berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang larangan dan pembatasan impor dan ekspor.
(6) Pemasukan Barang Konsumsi untuk Pelaku Usaha jasa dari luar Daerah Pabean ke KEK belum diberlakukan ketentuan pembatasan dan tata niaga di bidang impor kecuali ditentukan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Barang Konsumsi asal luar Daerah Pabean hanya dapat dikeluarkan dari KEK Pariwisata dalam hal status KEK dicabut dan tetap melunasi Bea Masuk, PDRI, dan/atau cukai bagi barang kena cukai.
   
21. Ketentuan ayat (6) dan ayat (7) Pasal 68 diubah, sehingga Pasal 68 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 68

(1) Pelaku Usaha di KEK Pariwisata yang berbentuk toko atau pusat perbelanjaan dapat menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang asal TLDDP untuk dijual ke wisatawan asing dan/atau domestik di lokasi KEK Pariwisata.
(2) Barang asal luar Daerah Pabean yang dijual di toko atau pusat perbelanjaan di KEK Pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan fasilitas penangguhan bea masuk dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. telah memenuhi perizinan sebagai Pelaku Usaha Logistik dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2);
  2. dalam satu lokasi toko atau pusat perbelanjaan memiliki ruang/tempat penimbunan barang dan ruang/tempat penjualan yang terpisah; dan
  3. barang yang dijual di toko atau pusat perbelanjaan harus diserahkan di ruang/tempat penjualan.
(3) Pemasukan barang asal Luar Daerah Pabean dengan diberikan fasilitas penangguhan bea masuk, harus ditimbun di ruang/tempat penimbunan barang di toko atau pusat perbelanjaan di KEK Pariwisata, dan sudah dipenuhi ketentuan pembatasannya saat pemasukannya.
(4) Pengeluaran barang asal luar Daerah Pabean dari ruang/tempat penimbunan barang ke ruang/tempat penjualan di toko atau pusat perbelanjaan di KEK Pariwisata, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai pengeluaran barang dari Pelaku Usaha di KEK ke TLDDP dan pemenuhan kewajiban kepabeanannya dapat dilakukan secara berkala.
(5) Barang Kena Cukai asal luar Daerah Pabean yang ditujukan untuk dijual oleh toko atau pusat perbelanjaan di KEK Pariwisata, harus dilakukan pelunasan cukainya dilakukan pada saat pemasukan ke KEK.
(6) Pelaku Usaha jasa dapat membeli Barang Konsumsi sebagai bahan baku usaha untuk Pelaku Usaha jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf a dari toko atau pusat perbelanjaan di KEK Pariwisata, dan atas pembelian tersebut diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan PDRI setelah memenuhi persyaratan kuota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67A ayat (3).
(7) Pengeluaran Barang Konsumsi dari ruang/tempat penimbunan toko atau pusat perbelanjaan di KEK Pariwisata ke lokasi Pelaku Usaha Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilakukan sesuai ketentuan perpindahan barang antar Pelaku Usaha KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51.
   
22. Di antara Pasal 76 dan Pasal 77 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 76A, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 76A

(1) Dalam hal Badan Usaha atau Pelaku Usaha KEK berasal dari sebagian atau keseluruhan wilayah Kawasan Bebas, selama masa transisi dari Kawasan Bebas ke KEK berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari KEK ke Kawasan Bebas atau ke KEK dari Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
  2. atas penyerahan tanah dan/atau bangunan dan persewaan tanah dan/atau bangunan di KEK kepada pembeli, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan
  3. Badan Usaha atau Pelaku Usaha di KEK tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jangka Waktu yang ditetapkan oleh Dewan Nasional KEK.
(3) Dikecualikan dari pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, atas penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri dan jasa telekomunikasi selain yang menggunakan jaringan tetap (fixed line) dari dan ke Kawasan Bebas dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
(4) Tata cara pemasukan dan pengeluaran barang oleh Pelaku Usaha yang bukan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mengikuti ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai KPBPB.
   
23. Ketentuan ayat (1) Pasal 77 diubah, sehingga Pasal 77 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 77

(1) Untuk mendukung kelancaran pelayanan kepabeanan sebelum diberlakukannya Sistem Aplikasi KEK, diatur ketentuan sebagai berikut:
  1. Pelaku Usaha yang sudah beroperasi komersial, sejak berlakunya Peraturan Menteri ini sampai dengan diberlakukannya SINSW dan penggunaan dokumen PPKEK, kegiatan pemasukan dan/atau pengeluaran barang ke dan dari KEK dilakukan dengan menggunakan sistem dan dokumen TPB setelah ditetapkan sebagai Kawasan Pabean; dan/atau
  2. Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang masih dalam proses Pembangunan, pemasukan barang dari luar Daerah Pabean diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang impor umum; dan/atau
  3. Pelaku Usaha KEK yang berasal dari Kawasan Bebas, sejak berlakunya Peraturan Menteri ini sampai dengan diberlakukannya Sistem Aplikasi KEK dan penggunaan dokumen PPKEK, kegiatan pemasukan dan/atau pengeluaran barang ke dan dari KEK dilakukan dengan menggunakan sistem dan dokumen Kawasan Bebas.
(2) Badan Usaha dan Pelaku Usaha yang sudah beroperasi di lokasi KEK wajib mendayagunakan IT inventory dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak menggunakan fasilitas kepabeanan dan perpajakan.
   
24. Di antara lampiran Huruf D dan Huruf E disisipkan 1 (satu) lampiran yaitu lampiran Huruf D1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
   
25. Lampiran Huruf E Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.010/2020 tentang Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus dihapus.


Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 2021
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 2021
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 256

Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.