Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER - 23/PJ/2020

Mon, 28 December 2020

Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER - 23/PJ/2020

TENTANG

BENTUK DAN TATA CARA PEMBUATAN BUKTI PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN UNIFIKASI SERTA BENTUK, ISI, TATA CARA PENGISIAN, DAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN UNIFIKASI
 
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

  
Menimbang :
  1. bahwa ketentuan mengenai bentuk, isi, tata cara pengisian, dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi serta bentuk Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Unifikasi telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2019 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi serta Format Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi;
  2. bahwa untuk lebih memberikan kemudahan, kepastian hukum, dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dalam pembuatan bukti pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan serta penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi, perlu dilakukan penggantian atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2019 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi serta Format Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 dan ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi;
 
Mengingat :
  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162);
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1974);
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 174) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 180);
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 248);
  6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2019 tentang Tata Cara Penyampaian, Penerimaan, dan Pengolahan Surat Pemberitahuan;
 
 
MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG BENTUK DAN TATA CARA PEMBUATAN BUKTI PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN UNIFIKASI SERTA BENTUK, ISI, TATA CARA PENGISIAN, DAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN UNIFIKASI.
 
 
BAB I
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1
  
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang KUP, adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020.
  2. Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh, adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020.
  3. Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disingkat PPh, adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
  4. Pemotong dan/atau Pemungut PPh yang diwajibkan membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi dan Surat Pemberitahuan Masa PPh Unifikasi, yang selanjutnya disebut Pemotong/Pemungut PPh, adalah Wajib Pajak, selain instansi pemerintah, yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diwajibkan untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh serta telah ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
  5. Nomor Pokok Wajib Pajak, yang selanjutnya disingkat NPWP, adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
  6. Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disingkat KPP, adalah Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong/Pemungut PPh terdaftar.
  7. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi, yang selanjutnya disebut SPT Masa PPh Unifikasi, adalah Surat Pemberitahuan Masa yang digunakan oleh Pemotong/Pemungut PPh untuk melaporkan kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan PPh, penyetoran atas pemotongan dan/atau pemungutan PPh, dan/atau penyetoran sendiri atas beberapa jenis PPh dalam 1 (satu) Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  8. Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi adalah dokumen dalam format standar atau dokumen lain yang dipersamakan, yang dibuat oleh Pemotong/Pemungut PPh sebagai bukti atas pemotongan/pemungutan PPh dan menunjukkan besarnya PPh yang telah dipotong/dipungut.
  9. Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar adalah Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi berbentuk formulir kertas atau Dokumen Elektronik dalam format standar sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
  10. Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi adalah dokumen berupa formulir kertas atau Dokumen Elektronik yang memuat data atau informasi pemotongan atau pemungutan PPh tertentu. dan kedudukannya dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar.
  11. Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Pembetulan adalah Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi yang dibuat untuk membetulkan kekeliruan pengisian Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi yang telah dibuat sebelumnya dan telah dilaporkan di SPT Masa PPh Unifikasi.
  12. Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Pembatalan adalah Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi yang dibuat untuk membatalkan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi yang telah dibuat sebelumnya dan telah dilaporkan di SPT Masa PPh Unifikasi.
  13. Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
  14. Aplikasi Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh Unifikasi Elektronik, yang selanjutnya disebut Aplikasi e-Bupot Unifikasi, adalah perangkat lunak yang disediakan di laman milik Direktorat Jenderal Pajak atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang dapat digunakan untuk membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi, serta mengisi, dan menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi.
  15. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
  16. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau penyelenggara sertifikasi elektronik.
  17. Surat Setoran Pajak, yang selanjutnya disingkat SSP, adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
  18. Bukti Penerimaan Negara, yang selanjutnya disingkat BPN, adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi atas transaksi penerimaan negara yang mencantumkan NTPN dan NTB/NTP serta elemen lainnya yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau dokumen yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) atas transaksi penerimaan negara yang berasal dari potongan SPM yang mencantumkan NTPN dan NPP.
  19. Pemindahbukuan adalah suatu proses memindahbukukan penerimaan pajak untuk dibukukan pada penerimaan pajak yang sesuai.
  20. Bukti Pemindahbukuan, yang selanjutnya disebut Bukti Pbk, adalah bukti yang menunjukkan bahwa telah dilakukan Pemindahbukuan.
  21. Surat Keterangan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, yang selanjutnya disebut Surat Keterangan PP No. 23 Tahun 2018, adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak yang menerangkan bahwa Wajib Pajak dikenai PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
 

BAB II
KEWAJIBAN PEMOTONG/PEMUNGUT PPh
 
Pasal 2 
 
(1)Pemotong/Pemungut PPh yang melakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh wajib membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi, menyerahkannya kepada pihak yang dipotong dan/atau dipungut, dan melaporkannya kepada Direktorat Jenderal Pajak menggunakan SPT Masa PPh Unifikasi.
(2)SPT Masa PPh Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi beberapa jenis PPh, yaitu:
  1. PPh Pasal 4 ayat (2);
  2. PPh Pasal 15;
  3. PPh Pasal 22;
  4. PPh Pasal 23; dan
  5. PPh Pasal 26.
    (3)Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi dan SPT Masa PPh Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
    1. formulir kertas; atau
    2. Dokumen Elektronik, yang dibuat dan disampaikan melalui Aplikasi e-Bupot Unifikasi.
    (4)Pemotong/Pemungut PPh menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta lampirannya sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara penyampaian, penerimaan, dan pengolahan Surat Pemberitahuan.
    (5)Pemotong/Pemungut PPh tidak wajib menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi dalam hal pada suatu Masa Pajak:
    1. tidak terdapat objek pemotongan dan/atau pemungutan yang harus diterbitkan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi; dan
    2. tidak terdapat pelunasan PPh terutang atas suatu transaksi/kegiatan, yang dilakukan dengan cara penyetoran sendiri.
     
     
    Pasal 3
     
    (1)Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi dan SPT Masa PPh Unifikasi berbentuk formulir kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a digunakan oleh Pemotong/Pemungut PPh yang memenuhi kriteria:
    1. membuat tidak lebih dari 20 (dua puluh) Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi dalam 1 (satu) Masa Pajak; dan
    2. membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi dengan dasar pengenaan PPh tidak lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk setiap Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi dalam 1 (satu) Masa Pajak.
    (2)Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi dan SPT Masa PPh Unifikasi berbentuk Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b digunakan oleh Pemotong/Pemungut PPh yang memenuhi kriteria:
    1. membuat lebih dari 20 (dua puluh) Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi dalam 1 (satu) Masa Pajak;
    2. terdapat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi dengan nilai dasar pengenaan PPh lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Masa Pajak;
    3. membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi untuk objek pajak PPh Pasal 4 ayat (2) atas bunga deposito/tabungan, diskonto SBI, giro, dan transaksi penjualan saham;
    4. telah menyampaikan SPT Masa Elektronik; atau
    5. terdaftar di KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, atau KPP Madya.
    (3)Pemotong/Pemungut PPh yang diwajibkan membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi dan SPT Masa PPh Unifikasi yaitu Pemotong/Pemungut PPh yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dan telah ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
    (4)Dalam hal Pemotong/Pemungut PPh yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) menyampaikan SPT Masa PPh:
    1. tidak menggunakan formulir SPT Masa PPh Unifikasi; dan/atau
    2. tidak melalui Aplikasi e-Bupot Unifikasi,
    SPT Masa PPh tersebut tidak diterima dan Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan bukti penerimaan SPT.

     
    BAB III
    BUKTI PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN UNIFIKASI
     
    Pasal 4
     
    (1)Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri dari:
    1. Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar; dan
    2. Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi.
    (2)Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi tidak perlu dibuat dalam hal jumlah PPh yang dipotong/dipungut pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil.
    (3)Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dibuat dalam hal:
    1. jumlah PPh yang dipotong/dipungut nihil karena adanya Surat Keterangan Bebas;
    2. transaksi dilakukan dengan Wajib Pajak yang memiliki Surat Keterangan PP No. 23 Tahun 2018 yang terkonfirmasi;
    3. PPh Pasal 26 dipotong berdasarkan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang ditunjukkan dengan adanya tanda terima Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
    4. PPh terutang yang ditanggung Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
    5. PPh yang dipotong atau dipungut dan/atau disetor sendiri diberikan fasilitas PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (4)SSP tetap dibuat dalam hal terjadi transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
        
     
    Pasal 5
     
    (1)Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a terdiri dari:
    1. Bukti Pemotongan/Pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 22, serta PPh Pasal 23; dan
    2. Bukti Pemotongan PPh Pasal 26.
    (2)Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
    1. nomor Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar;
    2. jenis pemotongan/pemungutan PPh;
    3. identitas pihak yang dipotong/dipungut berupa:
      1. NPWP, Nomor Induk Kependudukan, dan/atau Tax Identification Number, dan
      2. nama;
    4. Masa Pajak dan Tahun Pajak;
    5. kode objek pajak;
    6. dasar pengenaan pajak;
    7. tarif;
    8. PPh yang dipotong/dipungut/ditanggung Pemerintah;
    9. dokumen yang menjadi dasar pemotongan/pemungutan PPh;
    10. identitas Pemotong/Pemungut PPh, berupa NPWP dan nama Pemotong/Pemungut PPh, serta nama penanda tangan;
    11. tanggal Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar ditandatangani; dan
    12. tanda tangan dalam hal Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar berbentuk formulir kertas atau kode verifikasi dalam hal Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar berbentuk formulir Dokumen Elektronik.
    (3)Satu Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk:
    1. 1 (satu) pihak yang dipotong dan/atau dipungut;
    2. 1 (satu) kode objek pajak; dan
    3. 1 (satu) Masa Pajak.
    (4)Dalam hal pada suatu Masa Pajak terdapat 2 (dua) atau lebih transaksi pemotongan/pemungutan PPh atas pihak yang sama dan dengan kode objek pajak yang sama, Pemotong/Pemungut PPh dapat membuat 1 (satu) Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar atas transaksi dimaksud.
    (5)Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar yang diterbitkan melalui Aplikasi e-Bupot Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b ditandatangani dengan Tanda Tangan Elektronik.
    (6)Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai:
    1. contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A; dan
    2. tata cara pembuatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B,
    yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
       
      
    Pasal 6
     
    (1)Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b merupakan dokumen yang digunakan oleh Pemotong/Pemungut PPh untuk melakukan pemotongan PPh atas:
    1. penghasilan berupa bunga deposito/tabungan, diskonto Sertifikat Bank Indonesia dan jasa giro;
    2. penghasilan berupa bunga/diskonto obligasi dan Surat Berharga Negara; dan
    3. penghasilan dari transaksi penjualan saham yang meliputi saham pendiri, bukan saham pendiri, dan saham milik perusahaan modal ventura.
    (2)Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat oleh Pemotong/Pemungut PPh menggunakan sarana yang dimiliki oleh Pemotong/Pemungut PPh.
    (3)Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dokumen buku tabungan, rekening koran, rekening kustodian, rekening efek, dan dokumen lain yang setara, baik berbentuk formulir kertas maupun Dokumen Elektronik.
    (4)Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
    1. nama pihak yang dipotong;
    2. nomor unik transaksi yang berkaitan dengan penghasilan yang dilakukan pemotongan atau pemungutan; dan
    3. jumlah PPh yang dipotong.
        
     
    Pasal 7
     
    (1)Dalam pembuatan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi, pihak yang dipotong dan/atau dipungut berkewajiban memberikan informasi identitas berupa:
    a.bagi Wajib Pajak dalam negeri, yaitu:
    1. NPWP; atau
    2. Nomor Induk Kependudukan, bagi orang pribadi yang tidak memiliki NPWP;
    atau
    b.bagi Wajib Pajak luar negeri, yaitu Tax Identification Number atau identitas perpajakan lainnya,
    kepada Pemotong/Pemungut PPh.
    (2)Dalam hal Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ingin menerapkan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Wajib Pajak luar negeri dimaksud harus memberikan tanda terima Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
     
     
    BAB IV
    SPT MASA PPh UNIFIKASI
     
    Pasal 8
     
    (1)SPT Masa PPh Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri dari formulir:
    1. Induk SPT Masa PPh Unifikasi;
    2. Daftar Rincian Pajak Penghasilan yang Disetor Sendiri;
    3. Daftar Objek Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pihak Lain; dan
    4. Daftar Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi beserta Daftar Surat Setoran Pajak, Bukti Penerimaan Negara, Bukti Pemindahbukuan PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26.
    (2)SPT Masa PPh Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
    1. Masa Pajak dan Tahun Pajak;
    2. status SPT normal atau pembetulan;
    3. identitas Pemotong/Pemungut PPh;
    4. jenis PPh;
    5. jumlah dasar pengenaan pajak;
    6. jumlah nilai PPh yang dipotong, dipungut, ditanggung Pemerintah, dan/atau PPh yang disetor sendiri;
    7. jumlah total PPh;
    8. jumlah total PPh yang disetor pada SPT yang dibetulkan;
    9. jumlah PPh yang kurang (lebih) disetor karena pembetulan;
    10. nama dan tanda tangan Pemotong/Pemungut PPh atau kuasa; dan
    11. tanggal SPT Masa PPh Unifikasi dibuat.
    (3)SPT Masa PPh Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
    1. dibuat sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C; dan
    2. diisi sesuai petunjuk sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D,
    yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
       
     
    Pasal 8
     
    (1)Pemotong/Pemungut PPh wajib melakukan:
    1. penyetoran PPh yang telah dipotong/dipungut paling lama 10 (sepuluh) hari setelah Masa Pajak berakhir;
    2. penyetoran PPh terutang yang disetorkan sendiri paling lama 15 (lima belas) hari setelah Masa Pajak berakhir;
    3. penyampaian SPT Masa PPh Unifikasi paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
    (2)Dalam hal SPT Masa PPh Unifikasi tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Pemotong/Pemungut PPh dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang KUP, berupa denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah), yang dikenakan sebagai satu kesatuan dan tidak dihitung bagi tiap-tiap jenis PPh.
    (3)Jumlah pajak yang disetorkan setelah tanggal jatuh tempo penyetoran dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang KUP.
     
     
    Pasal 10
     
    (1)Untuk dapat menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi dengan menggunakan Aplikasi e-Bupot Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b, Pemotong/Pemungut PPh harus memiliki Sertifikat Elektronik.
    (2)Pemotong/Pemungut PPh yang:
    1. belum memiliki Sertifikat Elektronik; atau
    2. memiliki Sertifikat Elektronik namun masa berlakunya telah berakhir,
    harus menyampaikan permintaan Sertifikat Elektronik yang dilakukan sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak mengenai petunjuk teknis pelaksanaan administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
     
     
    BAB V
    PEMBETULAN, PEMBATALAN, DAN/ATAU PENAMBAHAN BUKTI PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN UNIFIKASI, SERTA PEMBETULAN SPT MASA PPh UNIFIKASI

    Pasal 11
      
    (1)Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi yang telah dilaporkan dalam SPT Masa PPh Unifikasi dapat dilakukan:
    1. pembetulan, dalam hal terdapat kekeliruan dalam pengisian Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi atau terdapat transaksi retur; atau
    2. pembatalan, dalam hal terdapat transaksi yang dibatalkan.
    (2)Pemotong/Pemungut PPh dapat membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi tambahan atas objek pajak yang belum dilaporkan dalam SPT Masa PPh Unifikasi.
    (3)Pembetulan atau pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta pembuatan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka terhadap jenis pajak dan Masa Pajak yang bersangkutan.
    (4)Pembetulan atau pembatalan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan serta penambahan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan dalam pembetulan SPT Masa PPh Unifikasi.
    (5)Pembuatan, pembetulan, dan pembatalan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
      
      
    Pasal 12
      
    (1)Pemotong/Pemungut PPh dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT Masa PPh Unifikasi yang telah disampaikan, untuk 1 (satu) atau beberapa jenis PPh di dalamnya.
    (2)Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memberi tanda pada tempat yang disediakan dalam SPT Masa PPh Unifikasi.
    (3)Pembetulan SPT Masa PPh Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka terhadap jenis pajak dan Masa Pajak yang bersangkutan.
    (4)Dalam hal SPT Masa PPh Unifikasi yang dibetulkan berbentuk formulir kertas, pembetulan SPT Masa PPh Unifikasi harus disampaikan berbentuk formulir kertas.
    (5)Dalam hal SPT Masa PPh Unifikasi yang dibetulkan berbentuk Dokumen Elektronik, pembetulan SPT Masa PPh Unifikasi harus disampaikan dalam berbentuk Dokumen Elektronik melalui Aplikasi e-Bupot Unifikasi.
    (6)Dalam hal Pemotong/Pemungut PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) melakukan pembetulan dan/atau penambahan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 yang menyebabkan Pemotong/Pemungut PPh memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Pemotong/Pemungut PPh wajib menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi berbentuk Dokumen Elektronik sejak Masa Pajak berikutnya setelah Masa Pajak disampaikannya pembetulan dan/atau penambahan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi dimaksud.
    (7)Pembetulan SPT Masa PPh Unifikasi dilakukan sesuai tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
       
       
    Pasal 13
     
    (1)Dalam hal pembetulan SPT Masa PPh Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 mengakibatkan adanya pajak yang kurang dibayar, Pemotong/Pemungut PPh terlebih dahulu melunasi jumlah pajak yang kurang dibayar tersebut sebelum menyampaikan pembetulan dimaksud.
    (2)Jumlah pajak yang kurang disetor akibat pembetulan SPT Masa PPh Unifikasi yang disetorkan setelah tanggal jatuh tempo penyetoran dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2a) Undang-Undang KUP.
    (3)Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan/pemungutan PPh yang mengakibatkan jumlah PPh yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada PPh yang seharusnya dipotong atau dipungut, serta Pemotong/Pemungut PPh:
    1. melakukan pembetulan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi menjadi sesuai dengan jumlah PPh yang seharusnya dipotong atau dipungut; dan
    2. melakukan pembetulan SPT Masa Unifikasi sehingga mengakibatkan kelebihan penyetoran PPh,
    kelebihan penyetoran PPh tersebut dapat diminta kembali oleh Pemotong/Pemungut PPh dengan mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang atau Pemindahbukuan, ke KPP sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
     
     
    BAB VI
    KETENTUAN PERALIHAN
     
    Pasal 14
      
    Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:
    1. pembetulan SPT Masa PPh untuk Masa Pajak sebelum Pemotong/Pemungut PPh ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), dilakukan berdasarkan dengan:
      1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 Ayat (2), Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau Pasal 26 serta Bukti Pemotongan/Pemungutannya; dan
      2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2017 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau Pasal 26 Serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau Pasal 26;
    2. Penetapan pemotong dan/atau pemungut PPh berdasarkan PER-20/PJ/2019 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi serta Format Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi tetap berlaku dan pelaksanaan selanjutnya dilakukan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal ini.
      
     
    BAB VII
    KETENTUAN PENUTUP
     
    Pasal 15
     
    Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2019 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi serta Format Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
    Pasal 16

    Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
     
     
     

    Ditetapkan di Jakarta
    pada tanggal 28 Desember 2020
    DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

    ttd.

    SURYO UTOMO


    Global Recognition
    Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
    Contact Us

    Jakarta
    MUC Building
    Jl. TB Simatupang 15
    Jakarta Selatan 12530

    +6221-788-37-111 (Hunting)

    +6221-788-37-666 (Fax)

    Surabaya
    Graha Pena 15th floor
    Jl. Ahmad Yani 88
    Surabaya 60231

     

    Subscribe

    For more updates and information, drop us an email or phone number.



    © 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.