Opinion
Menanti Tuah Spirit #313 dan Amnesti Pajak

Monday, 27 March 2017

Menanti Tuah Spirit #313 dan Amnesti Pajak

Aksi massa skala besar terjadi di seluruh Indonesia pada Jumat (31/3). Aksi serempak ini bukan semata soal politik tetapi lebih pada permasalahan pajak. Karena itu, konsentrasi massa terpusat di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia.

Tanggal 31 Maret seolah menjadi angka keramat yang punya makna yang cukup dalam bagi wajib pajak orang pribadi (WPOP) maupun fiskus.

Tanggal tersebut menjadi batas akhir pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) WPOP setiap tahunnya. Dan seolah menjadi tradisi, WPOP baru berbondong-bondong ke KPP untuk menyerahkan SPT pada hari-hari terakhir.

Dalam berbagai kesempatan, DJP sering kali menjadikan ketidakpatuhan WP sebagai penyebab tak tercapainya target penerimaan pajak.

Dari 20,16 juta WP yang menjadi target, hanya 12,7 juta WP yang patuh melaporkan SPT pada tahun lalu. Sementara tahun ini, sampai dengan 28 Maret 2017, tercatat baru 7,2 juta WP yang melaporkan SPT.

DJP sebenarnya sudah menyediakan sarana penyampaian SPT secara elektronik (e-Filing) sejak 2013.

Namun, sistemnya kerap bermasalah sehingga banyak WPOP yang kembali memilih penyampaian SPT secara manual, yakni dengan mendatangi langsung KPP.

Kendala sistem itulah yang selalu menjadi pertimbangan DJP “memperpanjang” masa pelaporan SPT PPh WPOP dalam beberapa tahun terakhir.

Sebenarnya, adalah hak wajib pajak untuk melapor - kan SPT kapan pun selama masih dalam rentang waktu yang diatur dalam UndangUndang KUP.

Bahkan, sah-sah saja jika misalnya se lu ruh wajib pajak ramai-ramai melaporkan SPT pada hari terakhir.

Dengan demikian, tidak ada alasan bagi DJP untuk tidak bisa mengantisipasi membludaknya pelaporan SPT oleh WP, baik secara langsung maupun via e-Filing.

Aksi #313 tahun ini terasa lebih besar gaungnya karena 31 Maret 2017 juga menjadi hari terakhir pelaksanaan program pengampunan pajak (tax amnesty).

Genap sembilan bulan sudah pemerintah berbaik hati memberikan pengampunan sanksi administrasi dan sanksi pidana bagi wajib pajak yang selama ini lalai atau belum patuh melaporkan harta tambahannya.

Wajar jika DJP kembali memberikan toleransi keterlambatan penyampaian SPT PPh WPOP hingga 21 April 2017.

Ada tiga tujuan tax amnesty yang menjadi target pemerintah, yaitu untuk memperkuat basis pajak, mendorong repatriasi aset hingga Rp1.000 triliun, dan meningkatkan penerimaan pajak yang antara lain melalui uang tebusan sebesar Rp165 triliun.

Realisasinya berdasarkan data sementara DJP, selama sembilan bulan tax amnesty berjalan: uang tebusan yang masuk ke kas negara sebesar Rp114 triliun atau 69% dari target. Adapun nilai aset yang direpatriasi wajib pajak sebesar Rp147 triliun atau 14,7% dari target. Uang tebusan tersebut disetorkan oleh 965.983 wajib pajak atas deklarasi harta mencapai Rp4.865,68 triliun.

Keberhasilan tax amnesty tidak bisa hanya diukur dari nominal uang tebusan dan repatriasi aset. Untuk mengukur sukses atau tidaknya program ini justru harus dilihat dari hasil pengelolaan dan optimalisasi data harta wajib pajak, yang dibuktikan dengan peningkatan penerimaan pajak secara berkesinambungan.

SANKSI

Satu hal yang pasti adalah, habis sudah toleransi negara terhadap ketidakpatuhan perpajakan. Pintu maaf dan pengampunan sudah tertutup per 1 April 2017. Dengan demikian, wajib pajak yang tidak memanfaatkan kebijakan tax amnesty harus siap menghadapi konsekuensi yang lebih tegas di era penegakan hukum perpajakan.

Pemerintah bahkan sudah menyiapkan ketentuan dan prosedur baru pemeriksaan harta WP, terutama bagi WP yang tidak mengikuti tax amnesty.

Beleid baru itu merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 18 Undang-Undang No. 11/2016 tentang Pengampunan Pajak.

Nantinya, jika petugas pajak menemukan harta tambahan yang diperoleh dalam kurun waktu 1 Januari 1985 sampai dengan Desember 2015, maka harta tersebut akan dihitung sebagai tambahan penghasilan pada tahun ditemukannya harta dan akan dikenakan PPh plus sanksi administrasi sampai dengan 200% dari pajak terutang.

Selain itu, Pemerintah Indonesia juga telah berkomitmen untuk menerapkan pertukaran informasi keuangan secara otomatis antaryurisdiksi atau Automatic Exchange of Information (AEoI) guna melacak asetaset yang disembunyikan oleh kaum superkaya di negara-negara surga pajak.

Komitmen global ini juga akan melengkapi upaya pemerintah mencegah dan mendeteksi penghindaran pajak yang dilakukan oleh korporasi melalui aggressive tax planning dan juga profit shifting.

Seperti kita tahu, pada pengujung tahun lalu ter bit PMK Nomor 213/ PMK.03/2016, yang mengatur format baru dokumentasi transfer pricing bagi wajib pajak yang melakukan transaksi afiliasi.

Aturan yang mengadopsi BEPS Action 13 itu mensyaratkan tiga jenis dokumen transfer pricing yang harus dilaporkan oleh grup usaha tertentu, yang meliputi: Master File, Local File, dan Country by Country Report (CbCR).

Dengan berlakunya format baru dokumentasi transfer pricing mulai tahun pa jak 2016, maka ongkos kepatuhan wajib pajak dipastikan meningkat. Terutama untuk menyiapkan master file dan local file di tahun perdana, yang praktis hanya memberikan wajib pajak waktu empat bulan sejak tahun bukunya berakhir.

Tak hanya itu, pemerintah juga akan mengharuskan wajib pajak yang melakukan tax planning untuk melaporkan skema perencanaan pajaknya kepada otoritas pajak.

Rancangan aturan ini merupakan implementasi dari BEPS Action 12 mengenai mandatory disclosure rules (MDR). Ada atau tidak adanya semua aturan itu, sebenarnya taat terhadap ketentuan merupakan suatu keharusan bagi wajib pajak maupun fiskus.

Paket regulasi perpajakan yang ada selama ini sebenarnya sudah cukup jelas membagi wilayah “halal” dan “haram” di sektor perpajakan. Inti dari semua kebijakan itu adalah kejujuran, karena menjadi kunci utama perbaikan basis data dan sistem perpajakan nasional.

Tak hanya WP dituntut jujur untuk melaporkan SPT secara benar, fiskus pun harus profesional dan tertib dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan publik.

Apresiasi patut diberikan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang mengharamkan pertemuan fiskus dengan wajib pajak di luar kantor. Ia juga melarang fiskus melakukan pemeriksaan berdasarkan temuan yang tidak jelas.

Intinya, pemeriksa pajak harus memiliki data yang valid agar WP tidak merasa dihadapkan pada pemeriksaan yang sifatnya semena-mena atau tidak berdasar.

Untuk memastikan prosedur itu dijalankan dengan benar, seluruh areal kerja fiskus akan dipasang kamera pengawas.

Pada prinsipnya, semua kebijakan dan upaya perbaikan sistem perpajakan bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela (voluntary compliance) wajib pajak dan profesionalisme fiskus.

“Patuh” bagi wajib pajak tidak hanya sekedar menyampaikan SPT, tetapi yang lebih penting adalah melaporkan seluruh harta dan penghasilannya dalam SPT tersebut dengan sejujur-jujurnya.

Kembali pada hiruk-pikuk yang terjadi pada 31 Maret lalu, spirit #313 dan tax amnesty diharapkan bisa menjadi simbol kebangkitan perpajakan nasional. 

 

Ditulis oleh: Wahyu Nuryanto, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute

Telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia pada hari Senin, 3 April 2017: http://koran.bisnis.com/read/20170403/270/642089/menanti-tuah-spirit-313-dan-amnesti-pajak



Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.