News
Prinsip Pemerataan Kepemilikan Disepakati

Wednesday, 25 January 2017

Prinsip Pemerataan Kepemilikan Disepakati

Pemerintah berencana menggunakan skema pajak progresif sebagai instrumen untuk pemerataan kepemilikan tanah di Indonesia, apalagi saat ini marak aksi investasi lewat pembelian tanah tetapi dibiarkan menganggur.

Menko Perekonomian Darmin Nasution mengaku memang ada rencana kebijakan tersebut. Namun, hingga saat ini dia belum mau menjelaskan lebih detail terkait dengan jenis pajak yang akan digunakan sebagai instrumen tersebut.

“Kami belum mau ngomong itu. Saya belum cek betul apakah harus masuk ke undang-undang atau bisa dengan UU yang ada. Saya belum bisa jawab,” ujarnya pada saat ditemui di kantornya, Selasa (24/1).

 

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil hanya mengatakan selama ini ada permasalahan dari sisi tabungan masyarakat. Dengan investasi di tanah, harga memang cenderung mahal dari waktu ke waktu, padahal dari sisi fungsi dan peruntukannya tidak jelas.

Pada saat yang bersamaan, masih banyak masyarakat yang masih kesulitan mencari tanah untuk tempat tinggal. Oleh karena itu, tuturnya, pemerintah akan memformulasikan kebijakan agar menekan pola investasi yang berlebihan di pertanahan.

“Sehingga nanti yang beli tanah enggak dimanfaatkan maka akan kita pajakin, progresif juga,” katanya tanpa menjelaskan lebih terperinci terkait dengan instrumen ini.

Ditemui terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku rencana kebijakan ini memang sejalan dengan arahan dari Presiden Joko Widodo terkait dengan pentingnya tanah dalam aktivitas dan kondisi perekonomian.

Pasalnya, tanah sangat berkaitan erat dengan hal-hal strategis seperti masalah kesenjangan, produktivitas, maupun penerimaan negara.

“Ini sudah diinstruksikan Presiden. Menteri Sofyan Djalil dan Menko Perekonomian sedang menggodok dan kita terus bekerja sama untuk bisa melakukan dan menuangkannya dalam kebijakan,” tuturnya.

Namun, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara menjelaskan belum ada pembicaraan detail. Otoritas Fiskal memahami arah kebijakan agar tanah lebih produktif dengan pemberian insentif ataupun disinsentif.

“Detailnya belum, kami baru dengar prinsipnya. Nanti kami coba detailkan pakai mekanisme apa, jenisnya bagaimana, nanti kami diskusi dengan temanteman ATR,” katanya.

PAJAK PENGHASILAN

Ketika dimintai tanggapan terkait dengan rencana kebijakan ini, Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mengatakan arah kebijakan tersebut sudah tepat.

Menurut dia, dengan payung hukum yang ada saat ini, penggunaan instrumen pajak penghasilan (PPh) untuk transaksi pengalihan bisa dipakai. Jika instrumen itu yang dipakai, menurutnya ada dua skema yang bisa diterapkan.

Pertama, basis kepemilikan. Skema ini bisa ditempuh dengan mengenakan tarif yang lebih tinggi untuk kepemilikan kedua, jika dijual sebelum periode tertentu misalnya minimal 5 tahun.

Kedua, basis pengusahaan. Tanah yang tidak dihuni atau menganggur bisa dikenai tarif lebih besar. Oleh karena itu, pihaknya meminta agar ada threshold untuk menjaga keadilan. Hal ini juga mampu menciptakan pemerataan.

“Pajak optimalkan sebagai instrumen kebijakan, untuk pemerataan atau redistribusi supaya tercipta keadilan. Jadi PPh fi nal progresif,” jelasnya.

Seperti diketahui, dalam pasal 4 UU PPh, penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estat, dan persewaan tanah dan/atau bangunan dikenai PPh bersifat final.

Saat ini, ada Peraturan Pemerintah No. 34/2016 tentang PPh Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/ atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya.

Dalam aturan yang secara simultan mencabut Peraturan Pemerintah No. 71/2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah No. 48/1994, besaran pajak penghasilan selain rumah sederhana (RS) atau rumah susun sederhana (RSS) diatur sebesar 2,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Sementara itu, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa RS dan RSS yang dilakukan oleh WP yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak dikenakan tarif PPh 1%. Selain itu, atas pengalihan hak kepada pemerintah, BUMN yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah, atau BUMD yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah dikenai tarif 0%. Menurut Yustinus, pajak bumi dan bangunan juga bisa dipakai sebagai instrumen. Namun, PBB hanya bisa untuk sektor per kebunan, kehutanan, dan per tambangan (PBB P3). “PBB hanya bisa yang P3 kecuali ubah UU PDRD ,” imbuhnya.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P. Roeslani mengatakan langkah pemerintah itu merupakan salah satu cara agar tidak terjadi konsentrasi kepemilikan tanah oleh satu pihak. Dia meyakini pengenaan pajak itu bisa mencegah aksi spekulan dan sekaligus menambah produktivitas aset sehingga menggerakkan perekonomian.

Staf Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi mengatakan pengenaan pajak progresif tanah akan diimplementasikan ke seluruh Indonesia, termasuk pada tanah-tanah yang dimiliki oleh perusahaan negara.

http://koran.bisnis.com/read/20170125/433/622556/prinsip-pemerataan-kepemilikan-disepakati

Related Articles

News

Industri Penerima Diskon PPh Bertambah

News

Pemda Dilarang Pungut Pajak Kendaraan Bermotor Alat Berat

News

DPR Desak Pemerintah Segera Kenakan Cukai Atas Plastik


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.